Saya melihat Pak Andi menggambarkan kelas menengah, kelas kecil, Jakarta pula.
Coba Anda bayangkan tentang Indonesia, yang tidak hanya Jakarta. Dan setengahnya
itu perempuan. Anda dapat tarik garis seperti apa perempuan Indonesia,
di rumah mereka, di lapangan kerja, di ladang, di sawah dll.

Anda sendiri mengakui sedikit wanita yang berada di jabatan puncak
(menggugurkan pernyataan sebelumnya). Lalu dikembalikan lagi pada
wanitanya. Ini reaksi yang banyak terjadi ketika ada persoalan dengan
perempuan, perempuanlah yang harus menjawab. Mungkin saya tanya lagi,
kenapa perempuan lebih memilih keluarga dan tidak lembur malam? Apa
pendapat Anda kebanyakan keluarga di Indonesia ketika istri lembur
dan pulang malam? sementara suami dan anak menunggu dia? Pasti yang
disalahkan perempuan lagi. "Tidak sesuai kodrat" lalu para perempua
itu bekerja dengan perasaan bersalah. bagi yang tidak kuat melayani
olok-olok lantas memilih berhenti bekerja. Atau tak kuat mengurus anak
sambil bekerja.

Mariana

Monday, July 16, 2007, 10:05:16 AM, you wrote:

> Secara kualitas pekerjaan laki-laki juga kebanyakan tidak di posisi 
> pengambil keputusan, Bu. Sama saja. Kalau kita bicara perempuan 
> kebanyakan, ya bandingkanlah dengan laki-laki kebanyakan. 

> Rata-rata laki-laki yang kerja di kantor itu cuma penghuni cubicle 
> saja. Kerja 40 jam seminggu selama 40 tahun, menjalankan perintah 
> atasan. Yang menjadi "pengambil keputusan" itu adalah sebagian kecil 
> lelaki (dan sebagian kecil wanita) yang bersedia bekerja keras dan 
> bersaing menuju puncak dan tidak menghabiskan waktunya di mailing 
> list seperti saya ini. 

> Kenapa lebih sedikit wanita yang berada di jabatan puncak? Tanyakan 
> sama wanitanya, Bu. Saya sudah belasan tahun bekerja di beberapa 
> perusahaan dan belum pernah mendengar ada orang ditolak promosinya 
> atau dibedakan bayarannya karena jenis kelaminnya. Bisa jadi buruh 
> perempuan membawa pulang uang lebih sedikit dari buruh laki-laki. 
> Tapi itu biasanya karena mereka ini tidak suka mengambil lembur 
> karena tidak mau pulang malam.

> Di sisi lain, seringkali saya perhatikan wanita yang pinter-pinter 
> itu memutuskan untuk keluar dari persaingan menuju puncak karir 
> karena merasa ada panggilan yang lebih kena di hatinya yaitu memberi 
> perhatian lebih ke keluarganya. Kenapa begitu? Mungkin ada baiknya 
> dipelajari juga dan ditanyakan kepada yang mengambil keputusan 
> demikian. 

> Perempuan juga bukannya tidak mengambil keputusan di dalam rumah 
> tangga. Cuma saja mereka seringkali membuat semua keputusan bersama 
> itu dibuat seakan-akan suaminyalah yang pengambil keputusan 
> terakhir. Padahal para suami yang kasihan itu sudah tahu bahwa kalau 
> ada dua pilihan A atau B, maka isterinya sudah memberi tanda-tanda 
> bahwa keputusannya harus A. Kalau sampai keputusannya B, maka 
> tanggung sendirilah akibatnya...(umpamanya dicela-cela latah tanpa 
> sebab seperti di bawah)

> Andi


Kirim email ke