Saya atas nama Yayasan Centra Klub Rumah Anak. sangat
mendukung pernyataan di bawah ini.

Salam damai, Ratih


--- heru suprapto <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> 
> 
> ALIANSI RAKYAT MISKIN (ARM)
> 
> 
> JCSC, UPC, SRMK,
> JRMK, Arus Pelangi, GMKI Jakarta, LBH APIK Jakarta,
> SEBAJA, LBH Jakarta, FITRA,
> KKJB, SOMASI UNJ, FMN-R, FMN, KM-UIJ, PDRM Aceh,
> Institute for Ecosoc Rights,
> PRP, ABM, KONTRAS, Sanggar Alam Kita, SOS Bumi
> Taruna, 
> 
> 
>  
> 
> 
> Sekretariat: Jl.
> Otto Iskandar Dinata I Gg. Penghulu No.11 Rt.10
> Rw.10 Kampung Melayu-Jakarta
> Timur 13330; 081382917852 (Heru Suprapto); email:
> [EMAIL PROTECTED]
> 
> 
>  
> 
> 
> 
> 
> 
> PERNYATAAN SIKAP
> 
> 
> Hari Anak Nasional 23 Juli 2007
> 
> 
>  
> 
> 
> Pemerintahan SBY-JK Gagal Memenuhi Hak-hak Anak-anak
> Miskin Indonesia
> 
> 
>  
> 
> 
> Sudah
> seribu hari pemerintahan SBY-JK berjalan namun
> anak-anak miskin Indonesia masih
> saja menderita. Selama seribu hari itu dan seribu
> hari sebelumnya memang ada
> beberapa kebijakan dan regulasi yang dibuat
> pemerintah untuk melaksanakan
> perlindungan anak. Tapi, sampai saat ini pada
> tataran praksis segala regulasi
> dan kebijakan tersebut masih belum berpihak kepada
> anak-anak miskin. Ambil
> contoh, terobosan dibuatnya UU No.23 tahun 2002
> tentang Perlindungan Anak masih
> belum dirasakan menjamin kelangsungan hidup layak
> bagi anak-anak miskin.
> Padahal, secara gamblang disebutkan bahwa di dalam
> UU tersebut setiap anak
> menjadi tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah dan
> Negara dalam mewujudkan hak
> anak untuk hidup, tumbuh kembang, berpartisipasi
> optimal, mendapat perlindungan
> dari kekerasan dan diskriminasi, mendapat identitas
> diri, memperoleh pelayanan
> dan fasilitas kesehatan serta jaminan sosial sesuai
> fisik, mental, spiritual,
> dan sosial, memperoleh pendidikan dan pengajaran
> dengan tanggungan biaya
> cuma-cuma untuk anak-anak kurang mampu dan
> terlantar, menyatakan pendapat,
> bermain dan berkreasi, membela diri dan memperoleh
> bantuan hukum, dan bebas
> berserikat dan berkumpul, termasuk kewajiban
> pemerintah mengawasi
> penyelenggaraan perlindungan anak.
> Substansi-substansi diatas sejalan dengan
> UUD perubahan keempat Pasal 34 yang menyatakan bahwa
> fakir miskin dan anak-anak
> terlantar dipelihara oleh negara bertanggung jawab
> menyediakan fasilitas
> pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum
> yang layak serta mengembangkan
> sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
> memberdayakan masyarakat yang
> lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
> kemanusiaan.
> 
> 
> Pengefektifan
> dari UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
> dibentuklah Komisi
> Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang disahkan dan
> keanggotaannya diangkat
> langsung oleh Presiden sampai saat ini belum
> menunjukkan kinerja riil dan
> optimal demi terselenggaranya perlindungan anak,
> terlebih anak-anak miskin.
> KPAI yang biaya operasionalnya pada 2007 dianggarkan
> sebesar Rp.16 milyar masih
> asyik mendompleng selebritas para figur publik yang
> anaknya memiliki masalah.
> Sementara itu dalam waktu yang bersamaan jumlah anak
> yang mencari uang di jalan
> mencapai lebih 80 ribu pada 2007 (wilayah
> Jabodetabek) sebagian besar
> diantaranya mengalami perlakuan kekerasan yang
> intensitasnya semakin meningkat
> tiap tahun dari aparat pemerintah, khususnya Polisi
> Pamong Praja (Pol. PP)
> ketika melakukan operasi penertiban. Mereka
> seringkali diperas, dirampas,
> dijambak, disundut rokok, diseret, dicekik, dipukul,
> ditendang, diinjak,
> dipaksa telanjang, dilecehkan, diperkosa, ditangkap,
> bahkan dianiaya hingga
> meninggal dunia, seperti alm. Irfan Maulana,
> empatbelas tahun, yang bekerja
> menjadi joki “three in one”. 
> 
> 
> Alokasi
> anggaran penertiban rakyat miskin, termasuk anak
> miskin daerah DKI Jakarta
> sebagai barometer pembangunan nasional mencapai Rp
> 303,2 milyar jauh lebih
> besar dari dinas pendidikan dasar sebesar Rp 188
> milyar. Bahkan lebih jauh lagi
> dibandingkan anggaran Puskesmas seluruh sebesar Rp
> 200 milyar dan seluruh rumah
> sakit sebesar Rp 122,4 milyar (Yenny Sucipto, 2007).
> 
> 
> Selain
> itu, ada ribuan anak terlantar karena rumah mereka
> digusur paksa oleh pemerintah
> kota atau
> terkena bencana rakusnya manusia kapitalistik,
> seperti korban lumpur Lapindo.
> Ribuan anak miskin menjadi korban pelecehan seksual
> (pedofilia) sejak 2000 di
> lebih dari 10 kota besar di Indonesia,
> beberapa korban dibunuh dengan cara mutilasi. Anak
> balita penderita busung
> lapar yang meninggal mencapai 293 jiwa pada 2005.
> Pada Januari – Oktober 2006
> tercatat 186 anak balita mati akibat busung lapar.
> Sementara jumlah penderita
> gizi buruk-busung lapar meningkat dari 1,67 juta
> pada 2005, menjadi 2,3 juta
> jiwa pada 2006 (Sri Palupi, 2007). Sementara itu,
> harga susu naik sampai
> Rp.5000 setiap kemasan, distribusi beras untuk
> rakyat miskin (raskin) tidak
> merata dan berkualitas rendah. Begitu pun, makin
> banyaknya anak-anak yang
> dilacurkan dan diperdagangkan.  Juga,
> makin banyaknya pekerja anak, yang bekerja di
> perusahaan atau pabrik atau di
> satu tempat dengan risiko besar   
> 
> 
> Pada
> sektor pendidikan, alokasi anggaran pendidikan hanya
> mencapai 11,85 % dari
> mandat UUD sebesar 20 % menunjukkan pemerintah
> selain melanggar konstitusi juga
> tidak peduli dengan akan banyaknya anak-anak miskin
> yang putus sekolah disaat
> keluarganya terbebani biaya ekonomi yang tinggi.
> Menurut data Balitbang
> Depdiknas (2007), pada 2006 jumlah siswa putus
> sekolah pada jenjang SD/MI tercatat
> sebanyak 846,6 ribu anak, SMP/MTs sebanyak 174,4
> ribu anak, dan SMA/SMK/MA
> sebanyak 178,6 ribu anak. Pada tahun yang sama, dari
> total lulusan SD/MI dari
> 4.072.508 anak, sebanyak 322,2 ribu anak tidak dapat
> melanjutkan ke jenjang
> SMP/MTs. Sementara itu, program Biaya Operasional
> Sekolah untuk menggratiskan
> biaya anak-anak miskin tidak berjalan dengan baik.
> Pada kenyataannya, banyak
> pungutan-pungutan biaya yang membebani anak-anak
> miskin untuk sekolah.  
> 
> 
> Pada
> sektor kesehatan, Masyarakat miskin belum sepenuhnya
> terjangkau oleh program
> asuransi kesehatan keluarga miskin atau askeskin.
> Prosedur administrasi dan
> verifikasi yang kurang aksesibel dan masih adanya
> tanggungan biaya pengobatan
> yang tinggi membuat anak-anak miskin lebih baik
> memilih menahan rasa sakit di
> tempat tinggalnya daripada harus berobat. Siti
> Fadila 

Kirim email ke