Oleh L Wilardjo
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0707/28/opini/3712061.htm
=======================

Pada masa Orde Lama ada beberapa semboyan yang dipopulerkan Bung
Karno. Misalnya, Vivere pericoloso (Hidup menyerempet-nyerempet
bahaya). Juga, Ever onward, never retreat atau Maju terus, pantang
mundur. Versi bahasa Jawanya ialah Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.

Semboyan-semboyan itu khas Bung Karno sehingga menjadi semacam
"penanda" beliau. Sekarang pun ada semboyan-semboyan penanda
(taglines). Kota Semarang melontarkan semboyan "Semarang pesona Asia",
sedangkan tagline SBY ialah "Bersama kita bisa!"

Optimisme menyesatkan

Klausa "Kita bisa" menunjukkan optimisme dan percaya-diri yang tinggi.
Pede yang amat kuat juga ada pada para pendukung rencana pembangunan
PLTN di Semenanjung Muria. Dr Ferhat Aziz, ahli nuklir di Batan,
misalnya, mengatakan, PLTN itu aman sebab "pengamanannya
berlapis-lapis." Lalu tambahnya, "Dijatuhi jet jumbo Boeing 747 pun
tidak apa-apa."

Benar, sistem pengamanan PLTN berlapis-lapis. Namun, jika pernyataan
itu dimaksudkan untuk menyiratkan bahwa PLTN tak mungkin salah dan
bermusibah (foolproof), itu menyesatkan. Tidak ada teknologi yang
tidak berisiko danâ€"seperti dikatakan hukum Murphyâ€""Apa saja yang bisa
ngadat, akan ngadat" (Anything that could go wrong, will). Makin
kompleks teknologinya, makin besar risikonya.

Maka teknologi canggih yang amat kompleks dan diterapkan dalam skala
besar bersifat transcientific. Artinya, risikonya tak dapat
diperhitungkan dengan tepat. Ilmu sudah tidak gadug. Gambaran rinci
potensi masalahnya tak tergapai lagi oleh ilmu. PLTN (seperti juga
teknologi-teknologi tinggi berskala besar lainnya) adalah transaintif.
Ini bukan "isapan jempol" pegiat anti-PLTN, tetapi kata ahli fisika
nuklir Amerika, Alvin Weinberg. Ahli fisika reaktor nuklir lain, Wolf
Haefele (Austria), menyebutnya memiliki "hipotetikalitas", sedangkan
ahli astrofisika dan fisika nuklir Jerman yang wafat beberapa waktu
lalu, CF von Weizsaecker, memakai istilah endekhomai, artinya "sama
sekali tak terduga" (contingent). Tak ada teknologiwan nuklir di
negara mana pun yang berani menjamin bahwa PLTN itu mutlak aman.

Kemampuan kungkungan reaktor PLTN untuk menahan hunjaman Boeing 747
juga patut diragukan. Pernyataan seorang pakar, seperti Dr Ferhat Aziz
itu, tentu ada dasarnya, yakni teori atau simulasi dengan program
komputer atau simulasi eksperimental, tetapi dengan skala jauh lebih
kecil.

Pernyataan itu belumâ€"dan tak akan pernahâ€"diuji secara empiris. Jika
seandainya pernyataan itu benar, akan tahankah kungkungan itu jika
diguncang gempa tektonik dengan kekuatan 7 atau lebih pada skala Richter?

"Keampuhan" Kartini

Ketika pada Mei tahun lalu terjadi gempa yang merusak Bantul, Yogya,
Klaten, Kulonprogo, dan sebagainya, para pendukung PLTN menyombongkan
fakta Reaktor Kartini di Yogyakarta tidak mengalami keretakan.
Taruhlah itu benar. UIN Sunan Kalijaga yang terletak di sebelah barat
reaktor di Babarsari itu rusak. Begitu pula Candi Prambanan di sebelah
timur Kartini. Namun, bahwa Kartini selamat, itu hanya nasib baik.
Kebetulan guncangan seismik tidak merambat dalam jalur yang melintasi
Kartini. Para pendukung PLTN baru bisa membanggakan ketangguhan
"Kartini" jika seluruh kompleks Batan di Babarsari rata tanah,
sedangkan Kartini tetap berdiri tegar.

Gempa di kawasan Niigata, Senin, 16 Juli 2007, yang "cuma" berkekuatan
6,8 pada skala Richter, ternyata mengakibatkan bocoran radioaktif dari
PLTN Kashiwazaki-Kaniwa. PLTN besar itu harus ditutup sekurangnya
selama setahun.

"Ketangguhan" SDM

Bencana alam lain, seperti banjir, longsor, dan badai, juga bisa
mengancam PLTN. Bahkan Amerika Serikat, yang kemampuan memprediksi
bencana alam unggul dan kepiawaiannya memitigasi akibat bencana amat
baik, masih kalang kabut saat menghadapi musibah PLTN, seperti tahun
1979 di TMI (kesalahan sistem) dan di Turkey Point tahun 1992 (banjir
akibat badai Andrew).

Pengendalian kritikalitas reaksi fisi nuklir berantai dan penyingkiran
bahang (heat) yang dibangkitkan dalam teras reaktor merupakan proses
yang rumit. Praktis tak ada ruang bagi keraguan atau kekeliruan.
Operator PLTN tak boleh lengah dan tak boleh salah. Bahkan jenjang
terendah dari tingkat keseriusan masalahâ€"yang disebut kejanggalan
(anomaly)â€"dapat meningkat menjadi kecelakaan (accident) jika tidak
langsung diatasi dengan cepat dan tepat.

Setiap generasi fisi hanya memerlukan waktu 10 nanosekon (seperseratus
juta detik). Padahal sebuah reaktor berkapasitas 1.400 MWe setiap
generasi neutronnya membelah puluhan miliar triliun inti U-235, sambil
"menciptakan" aneka radioisotop yang tak kurang dari jumlah itu, dan
banyak di antaranya berumur amat panjang. Energi yang dilepaskan pun
besar, setiap detik sekitar 4,2 miliar joule. Namun, ini tentu bukan
masalah bagi para pakar di Batan dan Departemen ESDM. Mereka merasa
bisa mengatasi masalah apa pun.

Migrasi plutonium

Pernyataan Kepala Batan Hudi Hastowo di Padamu Negeri-nya Miing juga
menyesatkan. Dikatakan, limbah PLTN yang mengandung plutonium dalam
kemasan pengamanannya, jika bocor, perambatan plutoniumnya hanya 3,0
meter. Tak dijelaskan, 3,0 meter itu dalam waktu berapa lama dan
kemasan pelindung macam apa yang dipakai. Juga tidak jelas, apakah itu
prediksi teoretis atau fakta empiris.

Di Maxey Fats, fasilitas pengelolaan limbah nuklir di AS yang
menampung plutonium terbanyak di seluruh dunia dibandingkan fasilitas
komersial lain, para pakar meramalkan plutonium itu hanya akan
merembet setengah inci (1,27 cm) dalam waktu 24.000 tahun. Ternyata
prediksi itu meleset dengan faktor satu juta. Hanya dalam 10 tahun,
plutonium dalam limbah PLTN merambat sejauh 2 mil (kira-kira 3,2 km).
Padahal plutonium itu radiotoksisitasnya "maut".

Tak belajar

Ada graffity di dinding dekat PLTN Gorleben-Jerman, "Die Menschen
lernen nur aus Katastrophen. Schade!" (Orang hanya belajar dari
malapetaka. Sayang, seribu sayang!) Coret-moret itu tidak tepat untuk
orang Indonesia sebab kita tidak belajar dari musibah. Aneka musibah
serupa terjadi dan terjadi berulang kali.

Kebakaran (baca: pembakaran) hutan yang menyebarkan asap sampai ke
negeri jiran terjadi setiap tahun. Kita sok pintar, gegabah, dan
jumawa. Kata ungkapan Jawa, kita rumangsa bisa tetapi ora bisa
rumangsa. Kita sok merasa bisa, tetapi tidak mau menyadari kekurangan.

L Wilardjo Fisikawan, Etikawan di UKSW Salatiga 

Kirim email ke