Waduuuuh kasian sekali anak2 itu, saya membayangkan mereka pastilah sangat 
kecewa.
Yang saya herankan itu masa sih ngurus visa yang nota bene untuk 
keberangkatan rombongan 
bisa2nya lambat penanganannya, dan saya kira kedutaan negara yang akan 
didatangi juga sudah
tau dong, kalau ini adalah acara besar yang akan diikuti oleh semua negara 
..... heran heran heran
deh.
Dan apakah betul kalau mengikuti kegiatan Pramuka sekarang harus bayar? 
dan biaya yang tidak
sedikit telah dikeluarkan oleh Tari dan peserta dari Ngawi itu, masuk akal 
ga???? aneh ..... aneh .... aneh
Inilah kalau korupsi sudah merajalela ............... 





"Agus Hamonangan" <[EMAIL PROTECTED]>
Sent by: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
07/28/2007 01:25 PM
Please respond to Forum-Pembaca-Kompas

 
        To:     Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
        cc: 
        Subject:        [Forum-Pembaca-KOMPAS] Mau Berjambore di London, Malah 
Telantar di Jakarta


Oleh M Clara Wresti
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0707/28/utama/3722228.htm
=====================

Mario (13) hanya bisa menunduk sedih di Bandara Soekarno-Hatta di
Tangerang, Kamis (26/7) malam. Semua teman dan pembina pramuka yang
berasal dari Riau telah berangkat menuju London untuk mengikuti
Jambore Pramuka Dunia Ke-21 di Essex, Inggris.

Mario tertinggal dari rombongan Riau karena namanya tidak ada di
daftar penumpang pesawat yang akan membawanya ke London. Dia tidak
sendirian. Ada 45 anggota pramuka lainnya dari berbagai daerah yang
tercecer dan tertinggal di Bandara Soekarno-Hatta. Mereka berasal dari
Jakarta, Papua, Sulawesi Selatan, dan beberapa daerah lainnya.

Mereka menangis, menendang-nendang ransel mereka yang padat isi, untuk
melampiaskan kekecewaan dan kekesalan hati. "Saya kecewa dan malu
kalau sampai tidak jadi pergi," kata Mario.

Yang menjadi pertanyaan, ada juga teman mereka yang dijadwalkan
berangkat Jumat ternyata harus berangkat Kamis malam. Akibatnya, dia
pergi tanpa membawa barang apa pun karena dia pergi ke bandara hanya
untuk mengantar keberangkatan teman.

Pengaturan keberangkatan yang berantakan ini tentu sangat ironis bagi
kontingen Gerakan Pramuka Indonesia ke Jambore Pramuka Dunia.
Keberangkatan kontingen ini dilepas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dengan upacara resmi pada hari Minggu (22/7) di Istana Negara.
Mestinya segala persiapannya sudah matang, baru bisa dilepas.

Pada pelepasan itu Presiden menyatakan kegembiraan dan dukungannya
kepada kontingen pramuka Indonesia. Presiden juga berpesan agar
kontingen Indonesia tidak kalah profesional dari kontingen pramuka
lainnya.

Ternyata dalam persiapan, panitia telah menunjukkan sikap yang tidak
profesional sebelum berangkat. Akibatnya, ke-45 peserta jambore tidak
bisa berangkat bersama 305 anggota pramuka dan pembina lainnya.

Beberapa orang tidak bisa berangkat karena belum mendapatkan visa, ada
juga yang paspornya terselip, dan yang tanggal lahirnya berbeda di
dalam dokumen yang disertakan.

Menurut Ida Farida, Wakil Ketua Kontingen Indonesia, yang juga belum
berangkat ke Inggris, tertundanya keberangkatan beberapa peserta
jambore ini disebabkan kesalahan administrasi. "Ada beberapa data
anak-anak yang tidak sesuai. Namun, saya menjamin semua peserta pasti
berangkat. Sekarang saya sedang mengusahakan. Mudah-mudahan mereka
segera berangkat dengan Qatar Airways," kata Ida yang tampak sibuk ke
sana-kemari.

Acara Jambore Pramuka Dunia Ke-21 yang diselenggarakan di Hylands
Park, Chelmsford, Essex, Inggris, ini akan berlangsung dari 27 Juli
hingga 8 Agustus. Di sana akan berkumpul 40.000 anggota pramuka dan
pembina dari seluruh dunia selama 12 hari untuk membangun persahabatan
internasional.

Semua peserta yang ikut jambore internasional ini sangat antusias
karena pada kesempatan itu mereka juga akan memperingati 100 tahun Sir
Robert Baden-Powell, pendiri kepanduan dan pemrakarsa jambore
internasional yang pertama di Olympia, London, pada tahun 1920.

Jika Mario sedih karena tertinggal oleh rombongannya, lain lagi dengan
M Yasin Linpo (45). Dirinya ditunjuk sebagai pembina dan pemimpin
rombongan dari Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Namun, Yasin tidak
bisa berangkat karena belum mendapatkan visa, sementara anak buahnya
sebagian besar sudah berangkat. "Saya benar-benar khawatir. Siapa yang
akan mengurus dan bertanggung jawab pada anak buah saya di sana,"
tutur Yasin.

Mereka yang gagal berangkat akhirnya kembali ke Taman Rekreasi
Wiladatika Cibubur, Jakarta Timur, untuk menunggu kepastian
keberangkatan. Mereka sudah menginap di tempat itu sejak 21 Juli untuk
mendapatkan pembekalan dan pembagian kelompok.

Hingga kemarin pukul 13.00, baru 35 siswa yang mendapat kepastian akan
berangkat. Sisanya harus menunggu lagi hingga hari Sabtu ini.

Semula mereka semua berharap bisa berangkat Jumat pagi atau siang.
Sejak pagi hari mereka telah kembali berkemas dan berkumpul di aula.
Mereka memakai seragam pramuka lengkap dengan topi dan dasi. Tas
ransel warna cokelat ukuran besar telah ditumpuk di dekat pintu agar
apabila sewaktu-waktu ada kepastian berangkat, mereka sudah siap.

Wajah mereka telah menunjukkan kebosanan karena harus menunggu
kepastian berangkat, sementara pikiran sudah membayangkan pengalaman
mengasyikkan yang dialami teman-teman yang sudah lebih dulu berangkat.

"Uh, jadi tidak lihat deh upacara pembukaannya," kata Monika, siswi
SMPN 49 Jakarta. Dia tidak bisa berangkat karena paspornya terbawa
oleh petugas travel. "Padahal, saya sudah sangat berharap bisa
berangkat. Sudah sampai di bandara, eh, paspor tidak ada," kata Monika
dengan wajah kesal.

"Semua persyaratan yang diminta sudah kami siapkan sejak dua bulan
lalu, termasuk biaya kepesertaan. Masak ngurus visa butuh waktu segitu
lama. Kami jadi tidak bisa ikut upacara pembukaan," kata Tari, yang
juga berasal dari SMPN 49 Jakarta.

Dari sekolah itu, ada 10 siswa yang seharusnya berangkat menuju Essex,
tetapi ternyata ada tiga orang yang tertinggal.

Para peserta jambore ini mengaku telah membayar biaya keikutsertaan
sejak dua bulan lalu. Beberapa peserta ada yang pergi dengan biaya
dari pemerintah daerah setempat.

Namun, ada juga peserta yang pergi dengan biaya sendiri. Tari mengaku
dirinya membayar Rp 23 juta untuk ikut dalam program itu. Sementara
itu, peserta dari Pesantren Putri Gontor, Ngawi, Jawa Timur, yang juga
ikut dalam program ini, membayar Rp 28 juta.

Tari mengatakan, dirinya bisa mengikuti jambore karena rajin mengikuti
kegiatan pramuka di sekolah. "Untuk ikut kegiatan ini, selain bersedia
membayar sendiri, keaktifan anggota pramuka juga dinilai," kata Tari. 

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke