Oleh Indira Permanasari http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0707/31/humaniora/3729933.htm ====================
Jalan setapak itu terus menanjak. Tidak sedikit pun datar atau menurun. Satu setengah jam sudah berlalu. Peluh terus menetes dan jantung berdetak kencang. Sisi kiri dan kanan hanya terlihat hutan yang senyap. Akan tetapi, kelima bocah itu seperti kijang muda yang lincah dan rombongan segera tertinggal. Saat rombongan lain tiba di pusat keramaian Desa Cimaskara, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, lima bocah tamatan sekolah dasar (SD) tadi tampak santai duduk menunggu dengan seragam putih merahnya. Akhir pekan pada minggu kedua Juli 2007 adalah hari terakhir pendaftaran sekolah. Ernawati (12), Lindawati (12), Ariska (12), Asep (12), dan Defi (13) yang berasal dari Dusun Datarkupa akan mendaftarkan diri ke SMP Negeri 1 Cibinong, Cianjur. Mereka diantar para sarjana dan pemuda yang tergabung dalam program Sarjana dan Pemuda Penggerak Wajib Belajar (SP2WB) Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Sebuah program hasil kerja sama Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dengan Yayasan Sekolah Rakyat. Perjalanan belum selesai. Untuk mencapai SMP Negeri 1 Cibinong dari pusat keramaian Desa Cimaskara, mereka masih harus berjalan kaki sekitar dua jam lagi. Tidak ada angkutan umum. Alternatifnya ialah menumpang ojek. Akan tetapi, bagi orang-orang kampung seperti mereka, kalau tak terlalu mendesak betul akan menghindari naik ojek. Bukan karena jalanan yang dilewati sangat jelek, tetapi lebih karena hal itu berarti mengeluarkan uang Rp 25.000 sekali jalan. Jumlah tersebut berat bagi mereka. Atau, kalau sedang beruntung, mereka bisa menumpang truk yang kebetulan sedang lewat. Akan tetapi, keberuntungan itu tak selalu ada karena jarang sekali truk yang melintas di sana. Hari itu, para sarjana dan pemuda yang terlibat dalam program SP2WB Pendidikan Dasar Sembilan Tahun mengantar mereka dari pusat keramaian Desa Cimaskara ke sekolah dengan sebuah kendaraan roda empat. Lantaran tidak terbiasa, Ernawati dan Ariska sempat pusing-pusing dan terpaksa melanjutkan perjalanan dengan ojek. Perjalanan memang tidak nyaman lantaran jalan yang rusak berat dan penuh batu-batu menonjol di tengah badan jalan. Mereka diterima dengan baik dan didaftarkan ke SMP Negeri 1 Cibinong. Yusuf Nadi, Kepala SMP Negeri 1 Cibinong, meminta mereka datang kembali hari Senin untuk memulai masa orientasi siswa baru. Ingin jadi dokter "Saya ingin menjadi dokter," ujar Ariska ketika ditanya tentang cita-citanya kalau besar nanti. "Memang Ariska pernah melihat dokter?" tanya seorang pengantar. "Pernah, di televisi," katanya. "Di kampung mah tidak ada dokter, adanya suster ngesot. He-he-he. Ada juga dukun beranak, bidan," ujar Asep bercanda. Asep rupanya ingin menjadi guru SD, persis seperti gurunya di SD negeri di kampungnya. Sayangnya, sepertinya terdapat berbagai rintangan yang akan menghalangi mereka mencapai cita-cita tersebut. Jangankan untuk mencapai pendidikan tinggi di fakultas kedokteran atau fakultas keguruan, untuk menuntaskan pendidikan dasar sembilan tahun saja dibutuhkan perjuangan yang sangat berat. Tadinya, mereka bahkan tidak akan mendaftarkan diri ke SMP. Namun, berkat kegigihan para sarjana dan pemuda tadi membujuk para orangtua di sana, luluh juga hati mereka dan dengan penuh rasa percaya membiarkan anak-anak itu diantar ke SMP Negeri 1 Cibinong. Bagi kelima bocah tadi, juga warga dusun di pedalaman Cianjur pada umumnya, keputusan untuk meneruskan ke SMP memang tidak sederhana. Ny Iis, ibu Lindawati, dengan lesu mengatakan, ia belum juga mendaftarkan anaknya ke SMP lantaran letak sekolah sangat jauh. "Kasihan anak saya nanti harus berjalan jauh," ujarnya. Dusun Datarkupa, tempat tinggal bocah-bocah itu, berjarak tempuh sekitar tujuh jam atau sekitar 120 kilometer dari ibu kota Kabupaten Cianjur. Sejumlah anak yang melanjutkan sekolah ke SMP negeri terdekat harus berangkat sejak pukul 04.00 agar dapat sampai ke sekolah mereka pukul 06.30. "Biasanya anak-anak itu diantar oleh orangtua mereka pakai obor untuk penerang jalan," ujar H Badar, Kepala Dusun Datarkupa. Kondisi tersebut ternyata berlangsung sejak belasan tahun lalu. Ny Maryam (58), warga dusun lain yang masih di Kecamatan Cimaskara, masih merekam dengan baik dalam ingatannya bagaimana dia dengan setia bangun pukul setengah empat pagi; menyiapkan nasi goreng dan memasukkannya dalam plastik sebagai sarapan untuk anak-anaknya. "Itu sekitar awal tahun 1990-an. Mereka biasa sarapan sambil jalan. Pukul empat pagi anak-anak sudah jalan, soalnya jauhnya sekitar sembilan kilometer," katanya. Sebetulnya sempat berdiri tempat kegiatan belajar sebagai bagian dari kegiatan SMP terbuka bagi para warga Datarkupa yang menginduk ke SMP Negeri 1 Cibinong. Namun, satu tahun lalu tempat kegiatan belajar itu tutup lantaran tidak ada warga yang mendaftarkan diri. Menurut Kepala SMP Negeri 1 Cibinong Yusuf Nadi, masih ada warga yang punya pandangan keliru terhadap keberadaan SMP terbuka. Sebagian besar masyarakat menganggap SMP terbuka sebagai 'sekolah-sekolahan'. "Barangkali itu karena proses belajarnya berbeda dibandingkan dengan sekolah reguler. Di tempat kegiatan belajar mereka hanya membaca-baca dan didampingi seorang guru pendamping. Mereka diberikan modul. Sementara ke sekolah induk hanya seminggu satu kali. Padahal, tujuan SMP terbuka memang untuk memudahkan warga di pedalaman," ujarnya. Jauhnya jarak tempuh ke sekolah, menurut Yusuf Nadi, tidak terlalu banyak memengaruhi terhadap proses belajar anak-anak di pedalaman Cianjur tersebut. "Tetapi, biasanya mereka terlihat agak lelah di kelas dan sepertinya agak lemah di pelajaran eksakta," ujarnya. Jarak tak satu-satunya masalah. Momok lain bagi orangtua, lagi-lagi tidak lepas dari persoalan biaya pendidikan. Kepala SMP Negeri 1 Cibinong memang telah mengatakan bahwa biaya sekolah sudah dibebaskan. Terlebih lagi dengan adanya dana bantuan operasional sekolah (BOS). Kata Yusuf, tidak ada lagi uang sumbangan awal masuk dan iuran bulanan. Sejumlah buku pelajaran juga telah dipinjamkan oleh sekolah. Sementara sebagian buku teks tertentu yang belum diadakan oleh sekolah tidak dipaksaan kepada murid untuk membelinya. Akan tetapi, para orangtua tetap berpandangan tidak mungkin sekolah tanpa biaya. Ny Iis, misalnya, tidak mengetahui kalau telah ada BOS. "Kalaupun iuran sekolah gratis, kan masih butuh sepatu, seragam, alat tulis, dan buku pelajaran. Saya tidak punya uang," ujar Iis yang suaminya hanya bekerja sebagai buruh tani, penggarap lahan orang lain. Hendra, salah seorang sarjana lulusan Universitas Pakuan yang menjadi peserta program penggerak wajib belajar untuk Kecamatan Cibinong, Cianjur, mengakui bahwa pendapatan warga kecamatan tersebut terbilang rendah. Sebagian besar hanya sekitar Rp 500.000 per bulan. Mereka bekerja sebagai buruh tani atau menggarap kebun sendiri yang hasilnya kemudian dijual kepada tengkulak. Dengan kondisi tersebut, tak heran jika banyak anak-anak lulusan SD yang tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Lantas apa yang terjadi ketika mereka putus sekolah? Menurut Ramdan, sarjana lain peserta program tersebut, anak laki-laki yang putus sekolah biasanya bekerja membantu orangtua mereka di ladang atau dibawa oleh kerabat untuk menjadi kuli di kota. Adapun anak-anak perempuan kerap merantau ke kota, seperti Bandung dan Jakarta, untuk bekerja sebagai pembantu. Pilihan lain, setelah agak lebih dewasa memilih menjadi tenaga kerja (baca: TKW) di luar negeri. Tak jarang, perempuan menikah di usia yang sangat muda atau belasan tahun. "Adakalanya mereka menikah pada usia 15-17 tahun," ujarnya. Untuk menyelesaikan permasalahan wajib belajar (wajar) pendidikan dasar sembilan tahun tampaknya perlu upaya ekstra keras disertai pemahaman terhadap kondisi ekonomi, kultur, serta sosial masyarakat setempat. Dengan upaya itu, kelak harapan Ariska menjadi dokter tidak hanya mimpi belaka, tetapi benar-benar suatu kenyataan....