Kita tunggu proses hukumnya. Langkah SBY mengadukan Zaenal sudah sangat tepat. 
Negara ini adalah negara hukum. Oleh karenanya yang harus menyelesaikan 
persoalan adalah hukum, bukan jabatan atau lainnya.
   
  Saya menyayangkan editorial Media Indonesia (30/7), yang menganggap langkah 
pengaduan SBY sebagai berlebihan. Saya tidak bisa membayangkan apabila fitnah 
dibiarkan di negeri yang selalu mengagungkan kebersamaan dan berketuhanan. 
Siapapun orangnya, fitnah sangat menyakitkan, kecuali dia binatang. Dan secara 
sosial fitnah merusak tali silaturahim, kecuali dia individualis.
   
  salam
   
  raja
  
Mula Harahap <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          Tadinya saya juga termasuk orang yang bingung melihat langkah SBY 
ini. "Koq urusan begini saja musti ditanggapi? Lalu, mengapa pula dia 
harus repot-repot mengadu ke Polda?"

Tapi setelah saya pikir-pikir lebih jauh, kali ini SBY bertindak tepat. 
Sebenarnya bisa saja dia hanya berdiri di kejauhan dan memberi isyarat 
kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk "membereskan" Zainal Maarif atas 
tuduhan melakukan penghinaan terhadap Kepala Negara.

Tapi zaman memang sudah berubah. Kalau Zainal Maarif didakwa atas 
tuduhan penghinaan terhadap Kepala Negara, maka popularitas SBY justeru 
akan jatuh. Dia akan memberi kesan "mentang-mentang berkuasa" kepada 
masyarakat. Yang akan naik justeru popularitasnya Zainal Maarif.

Karena itu SBY mencoba bersikap "low profile" dengan memakai haknya 
sebagai warganegara biasa: Mengadu ke kepolisian. Dan karena yang 
mengadu itu adalah seorang warganegara yang kebetulan sedang menjabat 
sebagai presiden, tentu saja kepolisian dan kejakaan tidak akan main-
main. Mereka akan memproses Zainal Maarif dengan secepatnya. 

Hanya, yang menjadi pertanyaan saya ialah, kalau nanti Zainal Maarif 
sudah diproses oleh kepolisian dan kejaksaan, apakah SBY cukup keras 
dan tegas untuk membiarkan kedua instansi itu menyeretnya ke pengadilan?

Saya takut, jangan-jangan SBY akan kembali ke karakternya yang biasa: 
Ketika isyu itu menjadi tak karu-karuan dan "out of control" maka lewat 
pembantu-pembantunya dia akan berupaya mengatur pertemuan empat mata 
dengan Zainal Maarif. Lalu lewat mulut Andi Mallarangeng akan keluarlah 
pernyataan, "Presiden sudah membereskan masalahnya dengan Zaenal 
Maarif.." 

Hal seperti yang bayangkan di atas sudah pernah terjadi dalam 
perseteruan SBY dengan Amien Rais mengenai isyu dana non-budgeter 
Departemen Kelautan yang diterima oleh seluruh calon presiden. Mula-
mula SBY sangat emosional dan sampai memberikan pernyataan khusus 
kepada media massa. Tapi setelah keduanya bertemu empat mata di bandara 
Halim Perdanakusuma, maka sikap yang tadinya menggebu-gebu itu jadi 
melempem.

Kalau SBY masih ingin dianggap sebagai pemimpin yang berwibawa, maka 
saya berharap kali ini dia tidak boleh lagi melempem. Apa pun yang akan 
dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan, maka saya harap SBY jangan 
lagi ikut intervensi, misalnya dengan menerima permintaan maaf atau 
melakukan pertemuan empat mata dengan Zaenal Maarif.

Saya menyarankan, sebaiknya SBY diam saja dan membiarkan proses 
tersebut berjalan sampai ke pengadilan. Dan kalau SBY memilih untuk 
melakukan langkah yang terakhir ini, maka saya adalah salah satu orang 
yang lebih dulu akan berkata: "Nah, itu baru namanya pemimpin..."

Horas,

Mula Harahap 

Kirim email ke