Oleh Ivan A Hadar
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0708/30/opini/3798650.htm
======================

Seusai peluncuran buku Making Globalization Work versi bahasa
Indonesia, terjadi perdebatan antara Joseph E Stiglitz—pengarang dan
peraih Nobel Ekonomi 2001—dan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi
Boediono terkait dengan ideologi.

Sejumlah ekonom di Indonesia, kata Boediono, menuding pemerintah
menjual diri demi berpegang pada ideologi liberalisme yang diusung
Konsensus Washington. Namun, baginya, menjadi tidak produktif jika
mencari jawaban atas persoalan riil melalui perdebatan ideologi.

Menanggapi Boediono, Stiglitz mengatakan, pragmatisme tidak dapat
dilepaskan dari konteks ideologi yang menyajikan pandangan mendasar
tentang bagaimana pemerintah seharusnya berperan (Kompas, 19/8).

Ketimpangan dalam globalisasi, kata Stiglitz, perlu dikelola oleh
negara berkembang, dengan peran pemerintah lebih efektif dan efisien,
tercermin dalam dorongan pemerintah mengembangkan industri baru,
pertanian, bisnis skala kecil, dan memastikan pengelolaan sumber alam
berbuah kesejahteraan bagi rakyat.

Sejarah mencatat, di satu sisi, maraknya perekonomian tidak hanya
disebabkan liberalisme perdagangan. Krisis ekonomi sebelumnya pun
tidak bisa diatasi pasar. Pada sisi lain, proteksionisme negara
memperparah gejala krisis ketimbang memperbaikinya.

Manfaat (neo)liberal

Secara umum, konsep (neo)liberal diakui bisa bermanfaat dalam
mengurangi mentalitas rent seeking birokrat. Namun, pada saat sama,
ekonomi pasar murni yang meminggirkan peran negara sebagai penyeimbang
gagal memenuhi janjinya. Kesenjangan antarnegara kaya-miskin dan
antara lapis sosial dalam sebuah negara kian melebar. Tiga contoh
berikut memperjelas hal itu.

Pertama, asumsi neoliberal bahwa pasar modal tidak hanya membantu
penggunaan kapital secara optimal, tetapi juga menjamin pertumbuhan
dan pengadaan lapangan kerja tidak terbukti. Penyebabnya, pasar modal
menjadi pasar spekulatif yang digelembungkan (spekulativer
Marktaufblaehung). Fluktuasi kurs di bursa efek tidak menggambarkan
kekuatan ekonomi sebenarnya dari berbagai perusahaan anggotanya. Tanpa
regulasi, pasar modal global bisa memengaruhi kuat-rapuhnya stabilitas
ekonomi sebuah negara, kawasan, bahkan dunia, seperti diperlihatkan
"Krisis Asia" yang dampaknya masih terasa bagi Indonesia hingga kini.

Kedua, penelitian Prittchett (1996) membuktikan, dalam proses
globalisasi yang terjadi bukan konvergensi, tetapi kesenjangan yang
meluas. Pasar bebas, liberalisasi perdagangan dunia, serta investasi
dan pasar modal tidak berperan dalam memperkecil kesenjangan
kaya-miskin. Pemenang proses globalisasi adalah negara-negara kaya
anggota OECD, sementara negara berkembang kian terpinggirkan.

Ketiga, kekuatan pasar tidak mampu mencegah krisis lingkungan global.
Meski harus diakui, kegagalan yang sama dialami negara, terutama
terkait maraknya monopoli dan oligopoli. Ternyata, pasar seperti
negara, dapat gagal.

Penyebab kegagalan pasar dan pentingnya intervensi negara terkait
beberapa hal, yaitu adanya monopoli dan oligopoli, tidak sehatnya
persaingan, kesenjangan ekonomi di tingkat nasional, dan global,
kemiskinan, kerusakan lingkungan, serta ketidakmampuan perusahaan
swasta untuk mencukupi kebutuhan publik, seperti pendidikan dan
pelayanan kesehatan.

Negara yang efisien

Untuk membendung dampak negatif proses globalisasi neoliberal
diperlukan sebuah negara yang efisien. Namun, pada saat sama, akibat
keterpenggalan antara ekonomi global dan politik nasional, sebuah
kebijakan proteksionistis oleh negara diduga akan mengalami kegagalan.
Bagaimana mengatasi dilema itu?

Solusinya terletak pada kian menyatunya masyarakat global, yang
memunculkan berbagai lembaga ekonomi dan politik serta terbentuknya
global civil society. Sebagai instansi politik terpenting, negara
dapat berfungsi sebagai mediator kepentingan nasional dalam membendung
dampak destruktif globalisasi. Pada saat sama, negara diharapkan
berperan sebagai moderator berbagai proses dalam masyarakat sebagai
instansi integrasi dan penengah yang mencegah terjadinya fragmentasi
di masyarakat.

Sementara itu, kelompok kepentingan lokal dapat memperkuat berbagai
faktor setempat seperti pendidikan, budaya, infrastruktur, dan
mengorganisasi jaringan lokal seperti perluasan partisipasi politik,
seleksi jenis investasi, dan penguatan potensi ekonomi lokal.

Pada tingkat regional, kerja sama antarnegara dalam pakta ekonomi,
seperti ASEAN, bila dikelola dengan pas, bisa lebih membuka gerak bagi
perdagangan sekaligus memperkuat posisi tawar dalam menghadapi
persaingan global.

Terakhir, berfungsinya global governance. Untuk itu, dibutuhkan kerja
sama antara negara dan masyarakat sipil di tataran lokal, nasional,
dan internasional. Sasarannya, reorganisasi politik dalam semua
tataran aksi melawan logika pasar murni. Negara, masyarakat sipil, dan
global governance, idealnya bersekutu membendung dominasi pasar dan
ekonomi serta mengurangi dampak buruknya. Kegagalan pasar global,
seperti kesenjangan antarnegara dan antarkelompok masyarakat,
kemiskinan, pengangguran, dan krisis lingkungan hidup tidak saja
menuntut negara yang efektif dan efisien, terutama dalam
memperjuangkan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Dari semua
argumentasi itu, terlihat betapa pentingnya ideologi.

IVAN A HADAR Koordinator Nasional Target MDGs (Bappenas/UNDP);
Pendapat Pribadi 

Kirim email ke