Selamat Ulang Tahun yang ke-197 kota Bandung!
  Semoga dirimu masih saja Parijs van Java yang jelita,
  kota kembang yang selalu musim bunga...
   
  Apakah masih begitu?
  Mudah-mudahanlah!
  Diri ini selalu terkenang betapa sedap nikmatnya "oncom,
  bandrek, bajigur, colenak (peuyeum bakar) dan seribu
  makanan tepi-tepi jalanmu.
   
  Once more, happy birthday Bandung!
  Dari Tangkuban Prahu (Jayagiri) malam hari, kota Bandung
  nampaknya bagaikan sejuta kunang-kunang bernyala....
   
  Salam nostalgia
  Las.
  

Agus Hamonangan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          Makin Sesaknya "Parijs van Java"

Oleh Dedi Muhtadi
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/25/utama/3866389.htm
=========================

Nelengneng gung, geura gede geura jangkung. Geura sakola ka
BandungÂ…(Cepat-cepatlah besar dan bersekolahlah di Bandung).

Sepenggal nyanyian yang dulu digunakan orangtua Sunda untuk
meninabobokan anaknya sekarang mungkin harus ditambahi wanti-wanti
bila harus sekolah di Bandung yang saat ini sudah heurin ku tangtung
(makin sesak).

Kota yang dirancang untuk 0,5 juta jiwa penduduk itu kini sudah
berpenghuni hampir 3 juta jiwa. Sebab, kota yang secara resmi
dipindahkan Bupati Wiranatakusumah II dari Krapyak di tepi Sungai
Citarum ke sekitar pendopo Kota Bandung pada 25 September 1810 itu
telah berkembang tidak hanya sebagai kota pendidikan. Pemindahan ini
pulalah yang menjadi pijakan HUT Kota Bandung.

Sebagai dampak pesatnya perkembangan politik, ekonomi, sosial, dan
budaya, tak hanya julukan pujian yang banyak, tetapi juga ejekan
terhadap kota ini. Sebut saja julukan Paradise in Exile, Bandung
Excelsior, De Bloem van Bersteden, Parijs van Java, Bandung Kota
Kembang, Bandung Ibu Kota Asia-Afrika, juga sebutan Bandung Kota
Lubang, Bandung Kota FO (factory outlet), dan Bandung Kota Sampah.

Kota yang dijuluki Parijs van Java karena kesejukannya itu kini tidak
lagi nyaman. "Sulit mencari udara segar di tengah kota seperti ini.
Napas rasanya semakin sesak," papar Sunjaya (30), seorang calon
penumpang bus kota, saat menunggu di Alun-alun Bandung, pertengahan
September lalu.

Sekarang, hampir semua jalan di Kota Bandung dikepung kepulan asap
dari knalpot kendaraan bermotor. Pencemaran udara seperti ini semakin
menggila pada siang hari, saat aktivitas warga kota memuncak.

Data Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung menyebutkan,
pencemaran udara sudah melebihi ambang batas. Di Alun-alun Kota
Bandung, misalnya, kadar hidrokarbon (HC) mencapai 1,557 ppm, timbal
(Pb) 2,03 Ugr/m3, dan partikel debu yang mengambang di udara (SPM)
152,4 Ugr/m3. Ambang batas untuk HC 0,24 ppm, Pb hanya 2 Ugr/m3, dan
SPM 150 Ugr/m3.

Ahli polusi udara dari Departemen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik
Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung Puji Lestari bahkan
menyodorkan data yang lebih mengerikan. Berdasarkan penelitiannya pada
Agustus 2004, kadar nitrogen (NOx) sempat mencapai 0,12 ppm. Padahal,
ambang baku untuk Indonesia hanya 0,05 ppm. Polutan NOx paling banyak
dihasilkan sektor transportasi, 51,68 persen.

Demikian juga kadar karbon monoksida yang disumbang oleh transportasi.
Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung Ajun
Komisaris Besar Martinus Sitompul menyebutkan, pertambahan kendaraan
bermotor di Bandung mencapai 150-200 unit per hari atau 6.000 unit per
bulan.

Itu baru di Bandung saja. Belum dari daerah sekitar dan Jakarta.
Seperti diketahui, setelah dioperasikannya Jalan Tol Cipularang,
Bandung yang dikenal sebagai pusat mode dan pusat aneka jajanan itu
kini menjadi tujuan utama pelesiran warga Jakarta. Setiap akhir pekan
setidaknya 36.000 kendaraan masuk ke Bandung dari Jakarta.

Kondisi ini diperparah oleh minimnya ruang terbuka hijau (RTH), yakni
hanya 6,7 persen dari total luas kota 16.730 hektar. Bahkan, Ketua
Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Mubiar
Purwasasmita mengatakan, RTH Kota Bandung hanya 1,5 persen. Padahal,
RTH dipercaya mampu menyerap pencemaran udara hingga 40 persen.

Untuk menekan polusi, Kepala BPLH Kota Bandung Nana Supriatna berjanji
akan memberlakukan uji emisi gas buang dan menata ulang pola
penyebaran lalu lintas ke Bandung timur agar tidak terkonsentrasi di
Bandung bagian barat.

Semau gue

Anggota Dewan Pakar DPKLTS, Sobirin, menyatakan, persoalan yang
dihadapi Kota Bandung saat ini adalah ketidakpuasan warga kota. Mereka
selalu mengeluh, mengkritik, dan menuntut perihal lingkungan kota yang
tidak nyaman.

Pada zaman Parijs van Java, warga yang masih ratusan ribu jiwa patuh
karena tekanan aturan. Sekarang "amburadul" karena jumlahnya jutaan
jiwa yang sikapnya semau gue. Salah satunya adalah terdegradasinya
kawasan Bandung Utara (KBU) sebagai kawasan lindung.

Tidak kurang dari 11 produk perundangan mencoba mengendalikan
pembangunan di KBU, tetapi semuanya dimentahkan oleh pola pembangunan
yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi jangka pendek.

Kalau wali kota zaman dulu sekaliber B Coops (1920-1921) atau SA
Reitsma (1921-1928) disuruh menertibkan Kota Bandung sekarang,
dipastikan sama pusingnya dengan Dada Rosada, wali kota saat ini.
(MHF/YNT) 



                         

       
---------------------------------
Yahoo! oneSearch: Finally,  mobile search that gives answers, not web links. 

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to