Oleh Nasrullah Nara dan Ester Lince Napitupulu http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/26/utama/3868372.htm =====================
Wajah Alidin (40-an) berseri-seri. Ia adalah salah satu dari 478 guru yang lulus uji sertifikasi kuota 2006 yang diadakan oleh Universitas Negeri Makassar atau UNM. Artinya, sebentar lagi, guru SD Negeri III Mangkura Makassar itu akan meraih sertifikat pendidik, sekaligus menyandang predikat guru profesional. Namun, benarkah program sertifikasi guru jadi kunci naik kelas dari longsornya nilai-nilai pendidikan di Indonesia? Awal Oktober 2007 Alidin akan menerima tunjangan profesi sebesar sekali gaji pokok. Sebagai seorang sarjana dengan masa kerja pegawai negeri sipil lebih dari 12 tahun, gaji pokoknya kira-kira Rp 1,5 juta. "Ya, lumayan tambahan rezeki buat Lebaran dan kebutuhan rumah tangga serta pendidikan anak-anak," ujar ayah dari dua anak ini dengan wajah semringah. Sebaliknya, beberapa guru SD yang baru saja memelototi papan pengumuman di Lantai III Gedung Rektorat UNM, Jumat (21/9), jadi lesu. Mereka, di antaranya, adalah Rahim (guru SDN Sudirman Makassar) dan Ruslan (guru SMPN 12 Makassar). Status kelulusan mereka masih tertunda. Pada lajur nama mereka tertera kode DPG, singkatan dari Diklat Pendidikan Guru. Itu berarti, untuk meraih sertifikat pendidik dan "tunjangan profesi", mereka harus lebih dulu ikut pendidikan dan latihan dari asesor UNM. Sosok lain yang terpaksa menunda kegembiraan adalah guru-guru yang pada nama mereka tertera kode verifikasi. Namun, mereka ini lebih beruntung karena berkas portofolio cuma butuh penyesuaian karena beberapa lembar berkas ternyata belum sempat dilegalisasi oleh atasan atau pengawas. Yang paling sedih adalah yang diberi keterangan tidak lulus karena total skornya kurang dari rentang nilai 8501.500 yang dipersyaratkan. Bisa karena yang bersangkutan terbukti melampirkan bukti palsu atau hasil plagiat. "Ini soal martabat profesi guru. Jangan main-main," kata Eko Hadi Pujiono, Ketua Pelaksana Sertifikasi UNM. Ribet amat urusannya? Memang karena syarat portofolio sertifikasi guru itu meliputi sepuluh hal: kualifikasi akademis, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan pelaksanaan pembelajaran, penilaian atasan, prestasi akademik, pengembangan profesi, alat pembelajaran, keikutsertaan forum ilmiah atau pengalaman organisasi, serta penghargaan. Sertifikasi guru memang merupakan kerja besar nasional. Besar dan ruwetnya pekerjaan terbayang dari jumlah 2,7 juta guru TK-SMA yang harus disertifikasi. Konsekuensinya, butuh tenaga penilai, yaitu ribuan orang asesor dengan kualifikasi dosen atau "mahaguru" yang ditunjuk oleh satuan-satuan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). "Tahun ini saja butuh 4.010 asesor," kata E Nurjaman, Kepala Subdit Program Direktorat Profesi Pendidik Departemen Pendidikan Nasional. Menurut Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, program sertifikasi guru merupakan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Program ini harus tuntas tahun 2015. Keputusan untuk menyertifikasi guru, kata Mendiknas, sudah dipuji oleh Bank Dunia sebagai langkah luar biasa di dunia. "Sertifikasi semua guru dalam jabatan di Indonesia merupakan kebijakan reformasi terbesar di dunia dalam peningkatan kualitas guru," ujar Bambang, April lalu. Untuk tahun 2006-2007, Depdiknas memberi kuota sertifikasi 200.450 guru. Proyek tahun 2006 yang terlambat dilaksanakan harus menyelesaikan kuota 20.000 guru dan pada Desember 2007 tambahan 180.450 berkas portofolio harus rampung dinilai. Guru jadi gelagapan, begitu juga dosen-dosen yang ditunjuk jadi asesor. "Mepet banget pemberitahuannya. Pelatihannya mepet dan akhirnya kami lembur. Jumat sampai Minggu kami kerja dari pagi sampai malam," kata seorang asesor di Yogya. Ia menilai ini proyek mahal. Honorarium setiap asesor untuk setiap satu berkas portofolio yang dinilai dua asesor adalah Rp 150.000. Hitung saja berapa total biaya nasional. Tuntutan terhadap guru untuk "tidak main-main", seperti dikemukakan Eko Hadi dari Makassar tadi, sayangnya tak serta-merta tercermin dalam berkas portofolio. Yang serba lengkap bisa jadi guru jempolan atau guru pengarsip. Namun, sangat boleh jadi, yang tak punya bukti penghargaansebutlah sejumlah guru di pedalaman Papua yang setia ituniscaya terampil berhati mulia. Hanafi Dewi, guru SMPN di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, mengaku tak bisa menyertakan sejumlah berkas karena memang tak bisa memenuhinya. Sebagai guru di pedalaman, ia tak punya peluang. Sekolah sesekali saja menugasinya ikut forum ilmiah. "Kesempatan jadi lebih kecil kan?" katanya. Dwi Rika, Panitia Pelaksana Program Sertifikasi Guru dari Dinas Pendidikan Kota Palembang, memberi contoh, hingga batas akhir pemberkasan, hanya 377 berkas dari kuota 460 yang masuk. "Harus diakui, kebanyakan guru yang tak menyerahkan berkas adalah guru pedalaman," ujarnya. Eko Hadi mengungkapkan, dalam Rayon 24 (Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat), sekitar 50 persen peserta uji sertifikasi tidak lulus. Untuk tahun 2006, kuota sertifikasi di Sulsel dan Sulbar 954 orang, tetapi yang ikut hanya 906 orang karena sejumlah berkas terlambat tiba di tangan panitia. Adapun yang lain adalah guru agama yang terkendala proses legitimasi antara Depdiknas dan Departemen Agama. Agaknya, tak hanya kecermatan, tetapi juga kebesaran hati amat dibutuhkan. Cermat mengamati dan menilai berkas dalam lekuk-liku problematik guru. Namun, yang dituntut dari kedua pihak, guru dan asesor, sebenarnya cuma satu: kejujuran. Yang satu jujur melaporkan, yang lain jujur menilai. Sertifikat guru tidak ada gunanyadan pasti meletus dalam persoalan kelakkalau pendidik tidak mengelu-elu dan menjunjung tinggi kejujuran. Kita harus catat, Kelompok Air Mata Guru dari Medan, yang menyuarakan kebenaran, disingkirkan oleh Depdiknas. Jangan sampai profesionalisme yang diperjuangkan longsor lagi sekadar basa-basi, jadi formalisme. Pura-pura profesional.... (Boni Dwi Pramudiyanto)