Bisnis Indonesia www.bisnis.com 
Tol vs Strategi Komunikasi

oleh:
Christovita Wiloto 
CEO Wiloto Corp. Asia Pacific 
www.wiloto.com

 
Akhir Agustus hingga awal September lalu, barangkali menjadi 'neraka kecil' 
bagi pengguna tol Jalan Lingkar
Luar Jakarta (Jakarta Outer Ring Road, JORR). Seperti yang dituturkan, Wina. 
Warga Bintara, Bekasi, itu kesal bukan kepalang. Pasalnya, seperti dikutip 
Antara, ia biasanya cuma membayar Rp 1.500 dari rumahnya untuk pergi ke Podok 
Gede Timur. Tapi saat itu, ia harus mereogoh koceknya hingga Rp 7.500. 

''Ini keterlaluan, masa' naik sampai lima kali lipat,'' keluh Wina, yang tak 
cuma sebel denga tarif yang berlipat, tapi juga kemacetan panjang yang 
mengular. 

Demikian pula dengan pengalaman Bobby, seorang karyawan di bilangan Cilandak, 
yang merasa dijebak dengan kenaikan tarif tol itu. Menurut dia, biasanya untuk 
masuk dari Gerbang Tol (GT) Lenteng Agung, lalu keluar di GT Cilandak hanya 
dikenakan tarif Rp 1.000, namun dengan sistem terbuka yang diberlakukan di JORR 
ia dikenai tarif Rp 6.000. Artinya pagi itu ia harus nombok Rp 5.000. 

''Mahal sekali. Padahal saya masuk jalan tol hanya untuk menghindari antrean 
kendaraan di lampu merah Ragunan,'' cetusnya, kesal.

Memang, sejak dibuka oleh Menteri Pekerjaan Umum, Joko Kirmanto, Selasa (28/8) 
lalu, JORR langsung menuai
kontroversi. Bukan cuma masyarakat pengguna JORR yang mengeluh, sopir angkot 
pun tak kuasa untuk tidak
menyemburkan caci makinya. 

Somad, misalnya, masih seperti dilansir Antara, sopir angkot jurusan Pondok 
Gede-Kampung Rambutan itu mengisahkan, dulu waktu membebaskan tanah untuk jalan 
tol, pemerintah merayu-rayu semanis madu. Tapi saat
jalan tolnya jadi rakyat dibauat sakit hati lagi dengan tarifnya yang luar 
biasa mahal.  

''Kelewatan, pemerintah tak punya otak,'' serunya dengan nada tinggi

Sementara, keluhan lain dikumandangkan kalangan ibu-ibu. Fatimah, karyawan 
swasta yang berkantor di Jl Sudirman, memprediksikan kenaikan tarif tol bakal 
memicu percepatan kenaikan harga komoditas yang sudah  merangkak naik. 
''Sembako sudah naik, apalagi menjelang Ramadan dan Idul Fitri. Wah, kita 
dibuat pusing mengatur anggaran rumah tangga,'' katanya dengan nada kesal. 
''Kalau tarif tol naik, tentu akan diikuti komoditas lainnya. Barang yang 
diangkut kan menggunakan jalan tol,'' keluhnya. 

Mengomentari semua keluhan tadi, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) 
meminta pemerintah memberi
penjelasan secara transparan atas sistem perhitungan besaran kenaikan tarif tol 
(khususnya JORR) kepada
konsumen. Sistem perhitungan baru tarif tersebut dinilai YLKI sebagai 
akal-akalan operator jalan tol untuk meraup keuntungan berlipat-lipat.

''Seharusnya pengenaan tarif ini tergantung pola penggunaan jalan tol. Kalau 
konsumen hanya menempuh jarak pendek, sewajarnya dikenakan tarif lebih murah 
dibanding yang menempuh jarak panjang,'' kata Pengurus
Harian YLKI, Sudaryatmo, seperti ditulis Republika.

YLKI, kata Sudaryatmo, siap memfasilitasi konsumen jalan tol yang merasa 
dirugikan dengan kebijakan pemerintah itu melalui gugatan class action. 

Humas Jasa Marga, Zuhdi Saragih, mengakui minimnya sosialisasi penerapan sistem 
terbuka pembayaran jalan
tol di ruas JORR. Namun, dia membantah telah terjadi kenaikan berlipat-lipat di 
ruas JORR.

Sebenarnya, jelas dia, tarif di ruas JORR masih tetap berada di kisaran Rp 430 
per kilometer. ''Tapi karena menggunakan sistem terbuka, ada hitung-hitungan 
tertentu, sehingga akhirnya tarif tol di ruas JORR untuk golongan I Rp 6.000.''

Bahkan, JORR sejatinya dimaksudkan untuk membantu masyarakat pengguna jalan 
tol. Dengan beroperasinya
JORR, masyarakat di kawasan Serpong/Tangerang, Bintaro, Pondok Indah, serta 
Bogor yang akan ke Tanjung Priok atau Bekasi, Karawang, Cikampek, bahkan 
Bandung atau sebaliknya, tidak perlu lewat jalur padat Cawang. 

Sebelum memutuskan menerapkan sistem terbuka, Jasa Marga juga telah menyewa 
konsultan independen dari ITB
untuk melakukan survei. Hasil survei itu menyebutkan, 30 persen konsumen adalah 
pengguna tol JORR jarak
pendek. Sebanyak 70 persen lainnya adalah mereka yang biasa menggunakan JORR 
untuk jarak jauh. Sehingga,
boleh dibilang, ada penerapan subsidi silang dalam penetapan tarif JORR. 

Soal minimnya sosialisasi itu, juga dikemukakan oleh Hisnu Pawenang, Kepala 
Badan Pengelola Jalan Tol. Ia
mengakui penetapan tarif JORR -- yang kerap diplesetkan dengan Jalan Ora 
Rampung Rampung (jalan tak kunjung selesai), akibat pembebasan tanahnya yang 
amat berbelit --  memang kurang transparan. ''Salah satu kesalahan kami, adalah 
tak punya orang yang expert di bidang komunikasi publik,'' kata Hisnu, dalam 
sebuah acara talk show di Astro TV. 

Tapi ia membantah penetapan tarif JORR dan tarif 13 ruas tol di seluruh 
Indonesia, dilakukan secara sewenang-wenang. ''Semuanya ada kalkulasinya. 
Pemerintah menghitungnya berdasarkan besaran inflasi dari 1 Agustus 2005 sampai 
31 Juli 2007 yang mencapai 20,82 persen,'' kata Hisnu, sambil mempersilakan 
masyarakat yang tak puas datang ke kantornya di Gedung Sapta Taruna, Jl 
Pattimura No 20. 

Kesadaran untuk menyiapkan strategi komunikasi yang baik, dengan 
memperhitungkan segala kemungkinan yang ada, memang merupakan keharusan. Baik 
bagi korporasi, perusahaan publik, individu apalagi pelayanan publik. Namun 
sayangnya hal ini masih sering dianggap remeh, bahkan sebagian perusahaan belum 
sadar juga, bahkan ketika krisis sudah membakar mereka. Padahal komunikasi 
kepada publik yang kurang atau salah, bukan hanya menghancurkan reputasi dan 
kepercayaan publik terhadap perusahaan, namun bahkan dapat mengakibatkan resiko 
fisik yang sangat mengenaskan. Perlu disadari, bahwa strategi bisnis yang 
sangat baik, bahkan bisa menjadi bumerang tanpa strategi komunikasi yang baik 
pula.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke