Oleh Itet T Sumarijanto
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/28/metro/3869722.htm
=====================

Menjadi ketua RT alias rukun tetangga bisa enak bisa juga tidak. Enak
karena tidak punya tanggung jawab jelas, bisa di-"sambi", dan tidak
perlu kantor.

Jika berhalangan, pihak kelurahan siap mengambil alih tugas. Tidak
hadir rapat di kelurahan, juga tidak ada sanksi. Tidak enak, saat
warga perlu KTP. Warga cukup menyuruh sopir atau pembantu. Padahal,
warga tahu ketua RT bukan pembantu atau sopir. Tidak dilayani, bisa
langsung ke kelurahan, tanpa prosedur yang lazim.

Ketua RT bukan jabatan formal karena tidak masuk dalam struktur
organisasi kepemerintahan. Maka, ia hanya bisa menampung keluhan warga
dan melaporkan ke kelurahan. Ia tidak memiliki wewenang untuk memasuki
ranah publik. Padahal, kondisi di luar pagar rumah, seperti jalur
pedestrian berlubang dan pepohonan mengganggu kabel listrik, terpaksa
dibiarkan telantar.

Ketua RT tidak dilengkapi dengan kekuatan hukum untuk menerima atau
menolak kehadiran pedagang kaki lima (PKL), juru parkir, dan gerobak
pemulung yang tiba-tiba mangkal di sembarang tempat di wilayahnya.

Pemilu atau pilkada adalah tugas puncak RT. Ketua RT harus
berpartisipasi dengan membentuk panitia di RT-nya. Sikap ketua RT bisa
cuek atau peduli. Cuek karena meskipun warga protes tidak bisa ikut
pilkada, tidak ada sanksi terhadap ketua RT, paling dimaki warga. Yang
peduli akan merasa frustrasi karena data tidak lengkap dan akurat. Ia
menjadi sangat repot karena tidak paham soal pendataan.

Menurut Keputusan Gubernur DKI Nomor 36 Tahun 2007 tentang Pedoman RT
dan RW: RT (bukan ketua RT) tugasnya antara lain melayani warga yang
memerlukan. RT (bukan ketua RT) berprestasi meningkatkan pemberdayaan
masyarakat. Tugas terakhir ini tidak gampang. Menempatkan warga
sebagai ketua RT tanpa memerhatikan latar belakang pendidikan dan
pengalaman, akhirnya keputusan gubernur tersebut hanyalah wacana.

Mengapa RT tetap eksis? Mungkin targetnya hanya untuk urusan KTP dan
memenuhi persyaratan terselenggaranya pemilu dan pilkada saja.
Selebihnya terserah RT! Sikap ketua RT cuek karena ia menilai tidak
ada aturan yang jelas, bahkan sering kontradiksi, rancu, dan tidak
konsisten. Misalnya, menurut aturan, tamu 1 x 24 jam wajib lapor.
Namun tidak dilakukan dan tidak ada sanksi. Apalagi hanya tamu,
pembantu dan sopir yang tinggal tahunan saja tidak perlu lapor, bahkan
tidak masuk daftar KK. Diskriminasi?

Kalau ketua RT ingin dipertahankan, maka keberadaannya perlu
didudukkan sebagai pemimpin warga meskipun dari yang paling kecil.
Logika awam, Presiden adalah pemimpin tertinggi kumpulan terbesar
warga yang kemudian disebut bangsa di sebuah negara. Ada pemimpin
tertinggi, tentu ada pemimpin terendah. Siapa? Ya ketua RT.
Kenyataannya, ia juga pemimpin kumpulan terkecil warga yang secara
akumulatif membentuk bangsa dalam negara. Ia harus mampu memotivasi
warganya untuk bersama-sama melaksanakan tugas ke-RT-an yang menjadi
tanggung jawabnya.

Itet T Sumarijanto Ketua RT, Medical Record Administrator



Kirim email ke