Argumen dasarnya juga berbunyi bahwa Poligami tidak bertentangan dengan UUD serta tidak bertentangan dengan hukum Islam. Rekan rekan yang lain sudah menunjukkan bahwa ada pertentangan. Namun saya ingin minta dicerahkan juga oleh pak Jimly: Sejak kapan, MK menggunakan hukum Islam sebagai referensi untuk menguji sah tidaknya suatu hukum publik dalam negara Republik Indonesia Ini. Apakah ada dalam UU MK yang mengatur hal tersebut ? Salanm, Irry.
manneke budiman <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Wilayah yang selalu kelabu dalam poligami ini adalah bagian yang berbunyi "asalkan istri mengijinkan." Bagaimana perangkat hukum hendak menyentuh faktor yang amat subjektif ini? Bagaimana cara menjamin bahwa izin ini diberikan tanpa tekanan dan dengan penuh kesadaran oleh istri pertama? Perempuan manapun yang masih waras akan lebih suka tidak diduakan oleh suami mereka. Perempuan itu manusia lho, punya perasaan,punya keinginan, punya harapan, untuk dicintai, sama halnya seperti lai-laki. Dalam banyak kasus poligami, selalu terungkap bahwa pada dasarnya istri tidak setuju (lihat kasus AA Gym, Ade Armando, dll), tetapi akhirnya tak bisa menghentikan niat suami untuk berpoligami. Kedua, yang dimaksud syarat tertentu itu persisnya apa sih? Apakah syarat-syarat ini berlandaskan pada hukum sipil yang menjamin HAM semua WNI dan berlaku umum, atau berlandaskan ukum Islam? Kan Pak Jimly ada di sini. Sekalian aja kita tolonh dicerahkan. manneke