http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/25/opini/3940083.htm ==========================
Pernyataan pengusaha Ciputra menyentakkan. Lembaga pendidikan harus melahirkan generasi pencipta lapangan kerja bukan hanya pencari kerja. Pernyataan pendiri Universitas Ciputra itu perlu digulirkan. Gunanya, agar terus-menerus pemerintah, kita, disadarkan mengenai sisi lain praksis (praktik, refleksi-kontemplasi) pendidikan, yakni praksis pendidikan tidak hanya menghasilkan manusia siap kerja, tetapi juga siap menciptakan lapangan kerja. Tidak hanya terampil dengan kompetensi tinggi dan relevan, tetapi juga kreatif—meminjam istilah Pak Ci, generasi entrepreneur (wirausaha). Kalau entrepreneurship disempitkan bidang bisnis, di Indonesia jumlahnya baru 0,18 persen (400.000 orang) dari seluruh penduduk. Namun, jiwa wiraswasta tentu tidak hanya bidang bisnis. Jiwa wiraswasta dengan ciri-ciri antara lain kreatif-inovatif-tahu kemampuan diri-terampil adalah juga tujuan praksis pendidikan. Pakar manajemen, Peter Drucker, lewat buku Post-Capitalist Society (1994), memotret transformasi pemahaman manusia tentang pengetahuan. Pengetahuan tidak hanya terkait tindakan, tetapi juga penerapannya sebagai pengetahuan (knowledge is applied to knowledge). Pekerja otak memperoleh tempat. Konsep manusia terdidik pun berubah. Dia tidak hanya siap dalam gagasan menerobos, tetapi juga manajer dengan pusat perhatian pekerjaan. Untuk menciptakan manusia terdidik seperti digagas Drucker, kita kembangkan kurikulum dan sarana yang diharapkan bisa menghasilkan manusia terdidik abad ke-21. Bongkar pasang kurikulum menjadi mainan mengasyikkan. Upaya memperoleh hasil didik dengan dua kompetensi sekaligus, misalnya ujian nasional, menjadi bagian dari aksi "jumpalitan" mengundang pro dan kontra. Lantas, perlukah program khusus melahirkan generasi wirausaha? Kalau wirausaha tidak disempitkan bidang bisnis, ajakan itu berarti praksis pendidikan yang berangkat dari-untuk-demi anak didik sehingga dihasilkan lulusan yang kreatif-inovatif-kompeten-tahu kemampuan diri-terampil. Kalau disempitkan dalam konteks bisnis, menciptakan kerja baru, entrepreneurship perlu pelatihan dalam program khusus, misalnya sekolah kejuruan di jenjang pendidikan menengah atau politeknik (D-3) di jenjang pendidikan tinggi. Kita tangkap sentakan Pak Ci tentang perlunya generasi wirausaha. Praksis pendidikan saat ini dalam kedua bentuk di atas perlu diperbaiki. Konsep baku pendidikan yang membebaskan perlu ditunjang tercukupinya sarana dan praksis pendidikan yang memanfaatkan teknologi informasi, dedikasi pendidik, dan tak kalah penting: kerja sama dunia usaha, pemerintah, dan lembaga pendidikan.