Peran Negara Harus Lebih Besar http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/01/humaniora/3965916.htm =======================
Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan yang mendorong agar pendidikan berasas nirlaba sangat bergantung pada kesiapan Panitia Kerja RUU BHP di DPR. Untuk itu, salah satu yang tengah diupayakan ialah adanya jaminan peran negara tetap besar dalam pendidikan. Cyprianus Aoer, anggota Panitia Kerja (Panja) RUU BHP dari Fraksi PDI Perjuangan, mengungkapkan bahwa saat ini DPR tengah berjuang memasukkan bab khusus tentang pendanaan dalam RUU BHP. Butir penting terutama menyangkut peran apa saja yang harus diemban negara dalam bidang pendidikan. "Dari hasil pengkajian di beberapa negara yang maju pendidikannya ternyata peran negara dalam pendidikan sangat besar," kata Cyprianus di Jakarta, Rabu (31/10). Terkait pembahasan RUU BHP, 17-28 Oktober 2007, sejumlah anggota DPR melaksanakan studi banding ke beberapa negara, seperti Perancis, Inggris, Swedia, Austria, dan Norwegia. Selain melihat kondisi pendidikan di sana, mereka juga mengkaji bentuk dan pelaksanaan badan hukum pendidikan di masing- masing negara. Sebelumnya, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo seusai acara halalbihalal di Jakarta, Selasa lalu, menyatakan bahwa pengesahan RUU BHP bergantung kepada Panja RUU BHP. "Telah ada pertemuan-pertemuan dan kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Salah satu yang disepakati ialah RUU BHP akan membuat pendidikan bersifat nirlaba," ujar Bambang Sudibyo. Sejauh ini RUU BHP direspons negatif oleh masyarakat. Di samping mengarah ke praktik liberalisasi pendidikan, RUU BHP juga dinilai akan mengancam keberadaan yayasan. Menyikapi kenyataan ini, Cyprianus mengatakan bahwa Komisi X DPR memang tidak ingin cepat-cepat melahirkan UU yang kontroversial. "Apalagi RUU BHP sejak awal sudah dipersepsikan negatif oleh masyarakat. Kita justru mau menghindari liberalisasi pendidikan. Oleh karena itu, sebagai bagian dari kegiatan publik, peran negara harus lebih besar," kata Cyprianus. Di Norwegia, berkat besarnya peran negara, pendidikan sudah digratiskan mulai dari TK hingga SLTA. Di Swedia, malah pendidikan tinggi dibiayai negara. "Mereka tidak mempunyai perundangan khusus badan hukum pendidikan. Akan tetapi, hal itu dimungkinkan karena adanya iuran pajak yang terbilang tinggi. Di Swedia, pajak penghasilan berkisar 40-60 persen. Masyarakat tidak keberatan karena hasil pengumpulan pajak itu kembali dalam bentuk pelayanan pendidikan bagi publik. Pada intinya, pendapatan negara dipakai untuk pelayanan publik, terutama pendidikan," kata Cyprianus. Menurut dia, keberadaan RUU BHP itu sendiri lebih karena amanat UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di sini ada situasi yang saling bertentangan. Dalam UU No 28/2004 tentang Yayasan, dalam penjelasannya disebutkan bahwa yayasan yang ingin mendirikan pendidikan harus mendirikannya dalam bentuk badan usaha. Cakupan kegiatannya sangat luas, termasuk bidang pendidikan. "Kita berpikir badan usaha itu selalu dikaitkan dengan bisnis. Padahal, dalam UU Sisdiknas, pendidikan bersifat nirlaba sehingga diperlukan badan hukum pendidikan yang sifatnya nirlaba," ujarnya. (INE)