"Banjir lumpur di Porong adalah fenomena mud volcano,
dan itu disebabkan oleh Gempa Yogya." Begitu saripati
'pernyataan' Lapindo dalam iklannya di koran-koran
belakangan ini. Pernyataan yang diembel-embeli
penjelasan betapa murah hatinya perusahaan ini, yang
telah bersedia membeli lahan2 penduduk yang terendam
lumpur meski bencana ini telah diusulkan oleh beberapa
pihak untuk distatuskan sebagai bencana alam, yang
artinya berada di luar tanggung jawab perusahaan ini. 

Pak Rudi Rubiandini sejak semula beranggapan luapan
lumpur Lapindo itu adalah Underground Blow-Out alias
Internal Blow-Out alias semburan bawah tanah yang
kemudian meliar hingga tak terkendali seperti saat
ini. Di Indonesia kasus ini - dalam skala kecil -
pernah juga terjadi di Langkat (Sumatra Utara) dan
Cirebon. Di Cirebon sampai parah, sehingga kepala
sumurnya menghilang amblas tertelan Bumi. Kedua kasus
terdahulu itu memang berhasil diatasi (sayang
dokumentasi kasusnya tidak banyak dipublikasikan)
sehingga jika banjir lumpur Lapindo benar merupakan
internal blow-out, tentunya juga bisa diatasi. 

Di mancanegara, internal blow-out juga pernah terjadi
di lapangan Seria dan Champion di Brunei, masing2 pada
1974 dan 1979. Keduanya juga memproduksi semburan
lumpur mirip kasus Lapindo, namun berada di lepas
pantai sehingga tidak berdampak langsung pada manusia.
Meskipun begitu Brunei Shell tetap concern berusaha
menghentikannya dan itupun dibutuhkan waktu 20 tahun
untuk mematikan internal blow-out ini dengan
menggunakan 20 relief well. Ada tulisan menarik dari
Mark Tingay (Tingay et.al, 2005, Present-day Stress
Orientation in Brunei : A Snapshot of 'Prograding
Tectonics' in a Tertiary Delta, J.Geol.Soc.162 (2005)
pp.39 - 49) tentang kasus Brunei yang kemudian
digunakannya sebagai analog banjir lumpur Lapindo,
karena kemiripannya.

Namun lingkaran penguasa negeri ini sepertinya lebih
menyukai banjir lumpur Lapindo dikaitkan dengan gempa
Yogya 27 Mei 2006. Seperti simpulan forum ilmiah
beberapa waktu lalu di Jakarta yang mencoba mengaitkan
banjir lumpur itu dengan gempa, meski Davies (Davies,
2007, Birth of a Mud Volcano : East Java 29 May 2007,
GSA Today.vol 17. no 2. Feb 2007) yang meneliti
langsung maupun Manga & Brodsky (Manga & Brodsky,
2006, Seismic Triggering of Eruptions in the Far Field
: Volcanoes and Geysers, Ann.Rev.Earth Planet.Sci vol.
34 (2006)) dan Mellors (Mellors et.al, 2006,
Correlations between Earthquakes and Large Mud Volcano
Eruptions, J.Geoph.Res, Mei 2006) yang meneliti kasus2
mud volcano di dunia sebelum banjir lumpur Lapindo
menyebutkan, sangat sulit diterima bagaimana gempa
Yogya bisa memicu semburan lumpur yang 280 km jauhnya
dari episentrum, padahal secara empirik gempa ini
(dengan moment magnitude 6,4) hanya sanggup
mereaktivasi mud volcano (bukan membentuk mud volcano
baru!) sejauh maksimum 110 km saja dari episentrum.
Jika gempa Yogya yang memicu banjir lumpur ini,
mengapa pada sumur2 eksploitasi yang bertebaran di
Jawa Timur bagian utara tidak menampakkan pola anomali
produksi saat gempa melanda? Mengapa hanya sumur Carat
dan sumur eksplorasi Banjar Panji-1 yang diklaim
mengalami anomali? 

Dan bagaimana relasi sebenarnya antara gempa Yogya dan
banjir lumpur Lapindo, sampai saat ini, baru sekedar
hipotesa spekulatif di atas kertas. Usulan2 untuk
membuktikannya, mulai dari meneliti tegangan2 tektonis
(strain) di sekitar Porong hingga kemungkinan 'gempa
sunyi' (aseismic slip) yang menggeser patahan setempat
tanpa menimbulkan gelombang seismik, belum
ditindaklanjuti. 

So, gempa hanyalah kambing hitam. Gempa tidak punya
pengacara untuk membelanya di depan pengadilan, dan
tidak juga punya dana untuk masang iklan pembersihan
nama baik di koran-koran. Buruk muka cermin
dibelaj..buruk lapindo gempa dituduh..

Ditulis dengan geram.....


Ma'rufin


      
____________________________________________________________________________________
Be a better friend, newshound, and 
know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.  
http://mobile.yahoo.com/;_ylt=Ahu06i62sR8HDtDypao8Wcj9tAcJ 

Reply via email to