Satu hal yang belum pernah ditempuh bangsa ini adalah upaya hukum untuk 
menjerat Suharto dengan pelanggaran HAM berat yang memakan korban jiwa ratusan 
ribu orang selama masa kekuasaannya.
   
  Ini tak kalah beratnya dengan kasus korupsi, dan bukti-buktinya setumpuk. 
Jika Pinochet di Chile dan Saddam Husein di Iraq bisa dihukum pidana karena 
kasus seperti ini, kenapa di Indonesia ayem-ayem aja? Malah jarang orang yang 
mengangkat isu ini, karena fokusnya ke korupsi melulu.
   
  manneke

bungaran <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          TAP MPR No. XI/MPR/1998 merupakan TAP yang secara khusus menyebutkan
nama HM Soeharto.

Tapi masalahnya Presiden saat ini dipilih oleh rakyat, Presiden bukan 
lagi sebagai mandataris MPR sehingga untuk selanjutnya tidak boleh 
ada lagi TAP yang memberikan mandat ke presiden. MPR tidak berwenang 
membuat ketetapan yang bersifat mengatur.

Suatu keputusan hanya dapat dicabut dengan keputusan yang sejenis 
oleh lembaga yang membentuk itu. Sehingga terhadap TAP MPR yang masih 
tersisa, MPR-lah yang berhak mencabutnya melalui sidang umum, 
tahunan, maupun sidang istimewa.

Kalau TAP MPR No. XI/MPR/1998 mau dicabut atau diganti boleh, asal 
yang mencabut MPR juga.

Terkait dengan TAP MPR No XI/MPR/1998, Kalau parameternya menggugat 
Suharto secara perdata dan pidana (melihat kebijakan presiden) dalam 
penyelesaian kasus Soeharto berdasarkan TAP MPR No. XI/MPR/1998 
berarti TAP MPR No XI/MPR/1998 itu masih berlaku."

Salah satu Tap MPR yang hingga saat ini dinyatakan masih berlaku 
sesuai dengan TAP MPR Nomor 1/MPR/2003 tentang Peninjauan Materi dan 
Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai 2002 
sampai terbentuknya UU dan sampai seluruh ketentuan dalam Ketetapan 
yang dimaksud dilaksanakan adalah Ketetapan Nomor XI/MPR/1998 tentang 
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi kolusi dan 
nepotisme.

Mengenai TAP MPR No XI/MPR/1998 ada tiga kemungkinan.

Pertama, dinyatakan sudah tidak berlaku lagi. Kalau tidak berlaku 
maka tidak mungkin dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan 
( Presiden saat ini bukan sebagai Mandataris MPR).

Kedua, dinyatakan masih berlaku , maka harus ada tuntutan hukum di 
pengadilan walaupun yang bersangkutan sakit, jika meninggal dunia 
dilimpahkan ke ahli waris. (Berlaku sampai terbentuknya UU pengganti 
TAP MPR tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi 
kolusi dan nepotisme)

Ketiga karena ada kejahatan dan jasa-jasanya maka diadili dahulu 
secara pidana, setelah ada putusan, baru kemudian diadakan putusan 
untuk tidak menjalankan putusan itu. Artinya terhadap yang 
bersangkutan diberikan maaf. 

Terkait pemberian Surat Keterangan Penghentian Penuntutan, Jaksa 
Agung tidak berwenang mencabut penuntutan baik pidana dan perdata 
(hanya karena yang bersangkutan sakit), karena PROSESNYA SUDAH DI 
PENGADILAN.



                         

       
---------------------------------
 All new Yahoo! Mail - 
---------------------------------
Get a sneak peak at messages with a handy reading pane.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke