Oleh Eddy OS Hiariej
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0801/14/opini/4153552.htm
=====================


Pasca-Perang Dunia II, Gustaf Radbruch mengenalkan Radbruch Formula.

Inti formula itu mengatakan, hukum positif dianggap lawan keadilan dan
tidak dapat diterapkan. Jika ada ketidakkonsistenan antara
undang-undang dan keadilan, yang lebih didahulukan adalah keadilan.

Masih menurut Radbruch, hukum yang baik tidak hanya menjamin kepastian
hukum semata, tetapi juga harus menjamin keadilan dan kemanfaatan.
Padahal, acap kali antara kepastian hukum dengan keadilan dan
kemanfaatan saling bertolak belakang.

Manusiawi

Terkait kasus Soeharto yang kembali mengemuka akhir-akhir ini, adalah
suatu masalah yang pelik. Dengan alasan kepastian hukum, kasus
Soeharto harus diproses hingga menjadi jelas, benarkah Soeharto
melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan terhadapnya.

Meneruskan pengadilan atas Soeharto bukanlah balas dendam politik,
tetapi untuk kepentingan yang bersangkutan sendiri. Sebab kita tentu
tidak ingin sejarah pahit yang pernah menimpa mantan Presiden Soekarno
kembali berulang.

Sampai akhir hayatnya, Soekarno tetap berstatus sebagai tahanan
politik terkait isu keterlibatannya dalam Gerakan 30 September 1965
dan masih tetap merupakan pertanyaan publik hingga kini. Rezim Orde
Baru yang saat itu berkuasa tidak mau mengadili Soekarno dengan alasan
mikul dhuwur mendhem jero.

Namun, dengan kondisi Soeharto yang demikian, tidaklah mungkin ia
dapat didudukkan di kursi pesakitan sebagai terdakwa. Sebab,
bagaimanapun kejamnya hukum pidana, ia masih bersifat manusiawi.
Selain itu, dalam standar universal peradilan pidana yang menjunjung
tinggi hak asasi manusia, seseorang yang sedang sakit berat tidak
mungkin dihadapkan di persidangan.

Atas rencana deponir kasus Soeharto sebagaimana diusulkan sebagian
orang, sulit menemukan alasan tepat untuk mengesampingkan penuntutan
terhadap Soeharto. Secara garis besar deponir hanya dapat dilakukan
dengan tiga kemungkinan. Apakah dengan menghentikan penuntutan,
menutup perkara demi kepentingan hukum, atau dengan menggunakan asas
oportunitas.

Pertama, penghentian penuntutan hanya dapat dilakukan jika perkara itu
kurang bukti atau bukan perkara pidana. Dalam kasus Soeharto, perkara
telah dilimpahkan ke pengadilan. Artinya dari sudut pandang jaksa
penuntut umum, perkara memiliki bukti memadai untuk membuktikan
dakwaan terhadap Soeharto.

Kedua, menutup perkara demi hukum hanya jika terjadi nebis in idem,
perkara itu kedaluwarsa atau terdakwa meninggal dunia. Semua kondisi
pada kemungkinan kedua ini tidak ada satu pun yang dapat diterapkan
untuk kasus Soeharto.

Kemungkinan ketiga adalah menggunakan asas oportunitas, yaitu
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Dalam konteks hukum
acara pidana, asas oportunitas ini merupakan pengecualian dari asas
legalitas yang berarti, tiap perbuatan pidana harus dituntut (nullum
crimen sine poena legali).

Jika kasus Soeharto dideponir dengan menggunakan kemungkinan ketiga,
orang akan mempertanyakan kepentingan umum apakah yang akan dirugikan
jika penuntutan atas Soeharto dilanjutkan. Sebaliknya, jika kasus
Soeharto dideponir, tidak hanya masalah kepastian hukum yang
diombang-ambingkan, tetapi keadilan masyarakat dikorbankan dan
kesungguhan pemerintah memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme
seperti tertuang dalam Tap MPR XI/MPR/1998 patut dipertanyakan.

Solusi

Selanjutnya solusi nyata atas penyelesaian kasus Soeharto dapat
ditempuh secara perdata maupun pidana. Dalam konteks penyelesaian
perdata, langkah Kejaksaan Agung melakukan gugatan perdata terhadap
Soeharto adalah tepat meski ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mensyaratkan gugatan perdata hanya
dapat dilakukan jika tersangka atau terdakwa telah meninggal dunia. Di
sini, kejaksaan menginterpretasikan secara ekstensif, sakit permanen
Soeharto sebagai "telah meninggal dunia".

Sedangkan dalam penyelesaian pidana, satu-satunya jalan untuk
mengadili Soeharto adalah secara in absentia dengan lebih dulu meminta
fatwa Mahkamah Agung. Kedua proses itu dapat dilaksanakan secara simultan.

Eddy OS Hiariej Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM 

Kirim email ke