Oleh Ninuk Mardiana Pambudy http://www.kompas.com/kompas-cetak/0801/14/swara/4164135.htm =======================
Ada perempuan yang belum mampu memutus kekerasan yang dialami, ada pula perempuan yang berhasil memutus kekerasan itu dan menjadi penyintas. Roro Supardiyah Wringinsari dan El adalah dua di antara penyintas (survivor) kekerasan fisik, psikologis, dan ekonomi yang mereka alami. Mereka membagi pengalaman memutus kekerasan yang mereka alami pada Desember lalu dalam diskusi buku Perempuan di Rantai Kekerasan (Esensi, 2007/2008) yang memuat pengalaman mereka, di toko buku Aksara, Kemang, Jakarta Selatan. Supardiyah (52) mengalami kekerasan fisik dan psikis sejak masih kanak-kanak. Ayahnya sering memukuli dan menghardik, sementara ibunya tak mampu membela Supardiyah. Belakangan, dia tahu, ayahnya itu bukan ayah kandungnya. Ketika menikah, Supardiyah yang tinggal di Jakarta memiliki penghasilan sendiri dari bekerja, mengharapkan kehidupan yang berbeda dari yang pernah dia alami. Ternyata, perkawinannya hanya berjalan baik selama tujuh tahun. Suaminya mulai sering pergi beberapa hari dari rumah dan ternyata karena ada perempuan lain. Ketika perselingkuhan tersebut dipergoki, reaksinya adalah kekerasan psikis, fisik, dan kemudian ekonomi. Sampai suatu ketika karena tisak tahan lagi, dia berani melawan hardikan suaminya. Dua anaknya yang saat itu sudah remaja juga membela Supardiyah. "Saya tidak bercerai karena bangga dengan anak-anak," kata Supardiyah usai bedah buku. Anak tertuanya, perempuan, sudah lulus S-2 dan sudah bekerja. Adiknya yang laki-laki juga sudah lulus S-1. Kekerasan dalam pacaran Sementara El ketika kecil juga kerap menyaksikan dan mengalami kekerasan dari ayahnya. Ibunya, yang dia ingat, juga melakukan kekerasan kepada dia melalui cubitan dan sering marah-marah. Akhirnya, El dapat memaafkan keduanya. Ketika kuliah di Jakarta, El mengalami kekerasan dari pacarnya yang di satu sisi tampak penuh perhatian dan melindungi, tetapi di sisi lain mampu melakukan kekerasan fisik dan psikis. Untuk beberapa saat, El tidak dapat melepaskan diri dari siklus kekerasan itu meskipun dia tidak senang diperlakukan kasar. Cinta menjadi alasan El bertahan dalam hubungan itu, sampai suatu saat dia membaca artikel di sebuah majalah bahwa kepatuhan tanpa syarat dengan alasan cinta justru membuat pelaku kekerasan semakin semena-mena. El akhirnya mengambil keputusan mengakhiri hubungan itu. Dia yang sempat cuti kuliah dan bekerja, memutuskan menyelesaikan kuliahnya. "Kalau aku lewat daerah itu, aku masih suka gemetar," ungkap El seusai diskusi. Dia juga belum tahu apa reaksi orangtuanya bila membaca bukunya ini, meskipun dia yakin pengalamannya harus dibagi dengan orang lain agar tidak berulang. Membagi pengalaman juga yang memotivasi Supardiyah menuliskan kisahnya di dalam buku itu. "Karena pengalaman sering mengalami kekerasan sejak kecil, maka saya tidak ingin ribut dengan suami. Suasana panas yang saya alami saat kecil saya coba redam dalam rumah tangga saya. Ternyata itu salah," papar Supardiyah. Kebohongan- kebohongan kecil suaminya yang ditolerir Supardiyah ternyata semakin memperburuk hubungan mereka. Kini, Supardiyah hidup berpisah dari suaminya, meski tak bercerai. "Saya memaafkan perbuatan dia, tetapi tetap ada yang mengganjal. Kenapa dia tidak mau berkomunikasi dengan anak-anaknya. Saya ingin menciptakan rekonsiliasi antara anak-anak dengan ayahnya karena bagaimanapun mereka darah daging ayahnya. Kalau nanti cucu saya tidak tahu eyang kakungnya, saya akan merasa berdosa," tambah Supardiyah yang tidak ingin tinggal serumah lagi dengan suaminya. Pelajaran hidup yang dia dapat, siklus kekerasan harus dipatahkan sendiri oleh korban dengan memimpin hati. "Ambil sikap untuk memilih tujuan hidup, apakah karier, studi, atau yang lain. Tinggalkan masa lalu," kata dia. Balik diadukan Kekerasan terhadap perempuan kini semakin terungkap karena semakin banyak perempuan berani mengungkap kekerasan yang dia alami di ranah domestik. Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta dalam laporan tahunan yang disampaikan di Kantor Komnas Anti-Kekerasan terhadap Perempuan di Jakarta, pekan lalu, menyebutkan, sepanjang 2007 mereka menerima pengaduan 747 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 377 kasus pengadu datang langsung ke LBH APIK, 325 kasus konsultasi melalui telepon, dan 45 kasus konsultasi melalui surat elektronik. Dari 377 kasus yang datang langsung ke LBH APIK, terbesar adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT, 216 kasus) dan yang terbanyak berupa kekerasan ekonomi dan psikis (82 kasus), disusul fisik dan psikis (41 kasus), fisik, psikis dan ekonomi (39 kasus), serta psikis (30 kasus). Data LBH APIK juga memperlihatkan, tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi tidak berpengaruh dalam perilaku kekerasan. Dari 377 kasus di atas, 187 kasus di antaranya dilakukan oleh lulusan perguruan tinggi, disusul 122 kasus oleh lulusan SLTA. Dalam kasus KDRT, kekerasan yang terbanyak adalah kekerasan psikis, antara lain suami menikah lagi, mengatai dengan kata-kata kasar, istri diusir, dibentak, diancam dan dibohongi, atau suami meninggalkan rumah tanpa kabar. Kekerasan ini selalu menyertai bentuk-bentuk kekerasan lain. Catatan lain LBH APIK, tahun 2007 memunculkan hal baru, yaitu perempuan korban justru dituduh sebagai pelaku kekerasan oleh suaminya. Perempuan korban justru dituntut balik oleh pelaku dengan tuduhan penggelapan, penipuan, dan penganiayaan.