Oleh Budi Suwarna
http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.30.01311420&channel=2&mn=154&idx=154


Setahun yang lalu, hampir setiap akhir pekan, Muhammad alias Ian
Kasolo (39) tampil di televisi sebagai ”selebriti” yang tampak glamor.
Kini, dia terpaksa bekerja serabutan sebagai pengantar makanan di
sebuah usaha katering rumahan.

Ini bukan cerita sinetron, namun sebuah kisah nyata. Ian Kasolo yang
dulu sempat menjadi ikon acara kontes menyanyi Dangdut Mania I di
stasiun TPI bersama Siti Pijat, Ju pri Asong, dan Agus Kenek, kini
jauh dari dunia glamor. Hidupnya bisa dibilang terkatung-katung tanpa
pekerjaan dan uang.

Kini, Ian menumpang di rumah Ucok Koki yang juga peserta Dangdut Mania
I. Di rumah ini, dia membantu istri Ucok yang menjalankan usaha
katering rumahan. Setiap pukul 05.00, Ian bangun dan membantu memasak.
Sekitar pukul 07.00, dia keliling mengantarkan rantang berisi makanan
pesanan ke pelanggan. ”Ya, beginilah kegiatan saya. Yang penting saya
punya tempat berteduh dan bisa makan,” ujar Ian. Sebelum ditampung di
rumah Ucok Koki, Ian sempat menggelandang dan tidak makan dua hari
karena tidak mempunyai uang.

Bagaimana kehidupan Ian berubah drastis dalam setahun? Semua ini
bermula ketika Ian melihat iklan kontes menyanyi yang seolah-olah bisa
menyulap siapa saja menjadi artis terkenal dengan cepat. Ian yang
merasa punya bakat menyanyi dangdut dan akting memutuskan ikut salah
satu kontes itu. Pilihannya jatuh ke acara Dangdut Mania I.

Singkat cerita, bujangan asal Solo, Jawa Tengah, itu lolos audisi
dengan menyingkirkan ribuan peserta dan berhak mengikuti kontes di
Jakarta. Karena mimpi menjadi artis begitu besar, pemuda lulusan SMA
ini rela meninggalkan pekerjaan tetap sebagai kurir di bank swasta di
Solo yang memberinya penghasilan sekitar Rp 1 juta per bulan.

Awalnya semua berjalan sesuai mimpi. Di Jakarta, Ian dan 19 peserta
Dangdut Mania lainnya diperlakukan layaknya artis. Produser Dangdut
Mania I mengubah nama Muhammad menjadi Ian Kasolo karena wajahnya
dianggap mirip vokalis band Radja, Ian Kasela. Penampilannya pun
dipermak. Rambutnya dicat kuning acak. Dia juga diberi kostum dan kaca
mata hitam seperti yang biasa dikenakan Ian Kasela. ”Kami juga
diperlakukan seperti raja. Kami tinggal di sebuah vila. Mau makan di
restoran mana saja tinggal bilang,” ujar Ian mengenang.

Kemewahan semacam itu baru pertama kali Ian rasakan. Pasalnya,
kehidupan Ian selama di Solo jauh dari mewah. Dia tinggal berjejalan
di sebuah rumah petak berukuran 3 x 4 meter persegi bersama ibu,
kakak, dan seorang keponakan.

Pengalaman bersentuhan dengan kemewahan itulah yang membuat Ian
semakin bertekad untuk menjadi artis terkenal dan dia merasa pintu itu
terbuka baginya. ”Bayangkan, setiap kali saya nyanyi, orang- orang
memanggil nama saya. Ketika promosi, orang rebutan minta tanda tangan
dan foto saya. Saya juga masuk koran,” kata Ian yang terkenal dengan
”goyang suster ngesot”.

Ian makin berbunga-bunga ketika mendengar isu pemenang Dangdut Mania I
akan dikontrak menjadi artis TPI. ”Saya semakin bertekad memenangi
kontes ini. Karena itu, tiap minggu saya ngebom SMS,” katanya.

Ngebom SMS yang dimaksud adalah mengirim SMS sebanyak-banyaknya untuk
dirinya sendiri agar perolehan suaranya terdongkrak. ”Saya bisa
menghabiskan uang Rp 5 juta untuk beli voucher pulsa telepon setiap
minggu. Kalau ditotal, selama acara ini saya habis Rp 30 juta,” kata
Ian yang memperoleh uang sebanyak itu dari pinjaman keluarga dan
lintah darat.

Hal itu dilakukan juga peserta lain. Ida Nyonya mengaku menghabiskan
Rp 20 juta untuk ngebom. Hasilnya, nihil. Ian dan Ida akhirnya
tereliminasi juga. ”Kalau tahu jadinya begini, saya tidak akan
menghabiskan uang jutaan. Sekarang terkenal tidak, terlilit utang
iya,” ujar Ian.

Manajer Humas TPI Theresia Ellasari mengatakan, pihaknya telah
berkali-kali berpesan kepada peserta kontes menyanyi agar tidak usah
berlomba mengirim SMS untuk dirinya sendiri. ”Itu tidak ada gunanya
sebab pemenang ditentukan SMS kiriman pemirsa yang jumlahnya jutaan,”
katanya.

Korban mimpi

Harapan menjadi artis terkenal sempat muncul lagi ketika Ian diajak
TPI main sinetron, menyanyi pada acara off air dan jadi bintang iklan
dengan bayaran Rp 500.000-Rp 1.500.000. Namun, setelah itu masa-masa
manis menjadi selebriti benar-benar berakhir. Tidak ada lagi order
manggung dari TPI.

Setelah itu, Ian kadang ikut manggung di kampung-kampung bersama Ucok
Koki atau Pardi Hallo, peserta Dangdut Mania I yang sekarang menjadi
penyelenggara konser dangdut kecil-kecilan. Bayaran yang diterima Ian
sekitar Rp 100.000-Rp 200.000 sekali tampil. Namun, order seperti ini
tidak selalu datang tiap minggu.

”Saya sempat frustrasi dan mau bunuh diri. Mau pulang ke Solo saya
malu karena keluarga dan teman-teman sudah telanjur menganggap saya
sebagai artis sukses yang banyak duit,” katanya.

Nasib serupa juga dialami Jupriadi alias Jupri Asong dan Ida Nyonya.
Jupri mengaku, setelah menjadi juara II Dangdut Mania I, dia berhenti
mengasong. ”Kata teman-teman, saya tidak pantas lagi mengasong sebab
saya sudah jadi artis,” ujarnya.

Jupri Asong pun mencoba mengandalkan hidup dengan menyanyi. Namun,
undangan menyanyi belum tentu muncul satu bulan sekali dengan bayaran
paling besar Rp 500.000. ”Akhirnya, uang hadiah yang jumlahnya sekitar
Rp 28 juta habis untuk makan keluarga. Sekarang saya benar-benar
miskin. Mau ngasong lagi, saya tidak punya modal,” ujar Jupri yang
harus menghidupi istri dan tiga anaknya.

Kini, Jupri berniat menjual rumah tipe 21 miliknya di Tangerang yang
merupakan harta dia satu-satunya saat ini. Uangnya akan digunakan
untuk modal berdagang lagi. ”Saya benar-benar kapok ikut acara semacam
ini. Saya kira, pemenangnya akan diorbitkan jadi artis.”

Theresia mengatakan, TPI tak pernah berjanji mengorbitkan peserta
Dangdut Mania I menjadi artis. ”Kami hanya memberi kesempatan kepada
mereka untuk tampil di televisi. Kalau mereka disukai penonton dan
kemudian jadi artis, itu adalah bonus,” katanya.

Ya, inilah drama dari sebuah kebudayaan instan yang terus direproduksi
televisi melalui kontes menyanyi, idola-idolaan, mama-mamaan, dan juga
sinetron. Sebuah kebudayaan yang selalu memberikan mimpi bahwa sukses
dan popularitas bisa diperoleh dalam waktu singkat.

Sialnya, karena gempuran mimpi-mimpi itu kian gencar, banyak orang
tidak bisa membedakan mana yang mimpi dan mana yang nyata. Kisah Ian
Kasolo, Jupri Asong, dan Ida Nyonya hanyalah contoh kecil.

Kirim email ke