Cerita tentang "Bule" naik angkota saya terima dari berinial WK seorang sarjana Amerika yang ahli tentang Jawa. Cerita tentang dua priyayi Jawa naik kereta api di Eropa saya terima dari seorang sarjana Indonesia berinial S. Kedua cerita itu saya terima sekitar 20 tahun lalu. Saya tidak heran jika kedua cerita menarik tersebut -- seperti juga banyak cerita lucu yang lain -- telah menyebar selama 20 tahun belakangan dan diceritakan ulang banyak orang dalam beberapa versi yang sedikit berbeda. Dalam artikel saya di Kompas kedua cerita itu tidak ditampilkan sebagai bahan utama bahasan. Keduanya berguna menjadi bahan pembanding beberapa kasus yang saya kemukakan dan membantu menegaskan kapan sebuah istilah yang rasis dan tidak rasis. Artikel di Kompas itu juga tidak pernah saya tulis sebelumnya dan terbitkan di tempat lain. Salam, Ariel
--- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, "vida_junita" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Mungkin benar juga. Tadi saya sudah coba cek dengan nama beliau, tapi > hasil search yang keluar tidak relevan. > > "Magnis-Suseno datang ke Indonesia pada tahun 1961 untuk belajar > filsafat dan teologi di Yogyakarta." (wikipedia) > > Tapi siapa ya yang pertama kali menulis tentang ini, saya ingat jelas > kalau 2 contoh ini (bule naik bus dan nenek2 Belanda yang naik kereta > api) disebutkan secara bersama dalam artikel bahasa. > > Apa ingatan saya yang salah? > (yang pasti bukan Franz Magnis Suseno yang menulis. Karena saya ingat > betul dalam artikel tersebut tidak ditulis sebagai "pengalaman saya", > tapi ditulis sebagai (kira2) "kondektur tersebut tidak tahu bahwa > orang tersebut adalah ...") > > Salam, > > > Vida > http://www.bebekrewel.com > > > --- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, "St. Herwinoto" > totot@ wrote: > > > > Sepertinya jika tidak salah ingat, ini adalah pengalaman nyata > > dari Pater Franz Magnis Suseno, seorang pengajar di Dryarkara. > > Beliau cukup sering bercerita soal ini ketika harus bicara soal > > bahasa dan etika. > > > > salam, > > Totot