Syukurlah kalau berkesan positif. Artinya Anda sukses memperkenalkan 
pelajaran agama di sana. Tapi apa orang belajar agama cuma untuk kasih 
kesan positif saja?

Kagum juga saya kalau di sekolah khusus bisnis orang masih diajari 
agama. Apa memang begitu modelnya sekarang, untuk pendidikan selepas 
tingkat menengah (SMU) juga harus ada mata kuliah agama? Atau, 
pelajaran agama seperti apa yang Anda perkenalkan sebenarnya?

Untuk mengetahui perbedaan & etika yang berlaku di masyarakat saya 
kira tidak harus melalui pelajaran agama. Maksudnya, untuk usia 
selepas pendidikan menengah mestinya orang sudah paham soal perbedaan 
& etika. Kalau tidak, berarti ada yang nggak beres dengan pendidikan 
dasar-menengah. Sangat terlambat kalau selepas usia remaja baru 
belajar perbedaan & etika. Bisa, tapi terlalu berat, karena harus ada 
penyerbuan ala FPI dulu, ngarang lagu & nonton bioskop selagi rakyat 
susah dulu, atau terang-terangan ngawur bikin rekomendasi yang 
kontra-konstitusi dulu.

Kalau maksud & tujuan pelajaran agama untuk menghargai perbedaan & 
tahu etika, maka apa yang berlangsung di Indonesia sekarang merupakan 
pernyataan gagalnya pelajaran agama di sekolah. Barangkali metode yang 
Anda perkenalkan bisa merubahnya?

From: "Agus Suhadi" <[EMAIL PROTECTED]>

: Mas Dipo, saya mendapatkan banyak pertanyaan ketika
: mengintroduksi pelajaran agama di sekolah Bisnis.
: Argumentasi saya adalah bahwa sebagai pebisnis harus
: dapat menghargai perbedaan, ketika dia berbisnis di
: Bali dia harus tahu nilai2 yang berlaku disana,
: demikian juga ketika harus berbisnis di Sumatra Barat
: atau di NTT. Sehingga setiap mhs harus mengetahui etika
: atau nilai2 yang berlaku pada umat hindu, budha, islam
: dan kristen. Pelajaran yang diberikan tidak ekslusif
: diberikan untuk satu agama, tetapi setiap mhs mendapat
: masukan dari berbagai agama. Sejauh ini, program sdh
: berjalan tiga tahun dan kesan yang diperoleh dari mhs
: cukup positif.
: AWS

Reply via email to