Hingga seminggu pasca gempa tektonik Sichuan yang memiliki moment magnitude 7,9 Mw itu, korban tewas telah mencapai 50.000 orang sementara ribuan lainnya masih terkubur di bawah timbunan puing, entah hidup atau tidak. Beberapa kota "terhapus" dari peta karena tidak ada lagi satupun bangunan yang tegak berdiri utuh.
Sichuan adalah salah satu propinsi di Cina barat daya yang berbatasan dengan Tibet (yang selalu membara) dan Yunnan (yang punya arti penting bagi Asia Tenggara karena disinilah asal rumpun bangsa Austronesia dengan kebudayaan Bacson Hoabinh dan Dongson-nya sebelum bermigrasi ke selatan). Sichuan terkenal dengan seni kulinernya yang berkelas. Mendiang Deng Xiaoping, mantan orang paling sakti di Cina yang berasal dari Sichuan, pun dikenal jago memasak. Sebagian besar wilayah Sichuan berdiri di atas dataran rendah lembah Sichuan, tempat berdirinya kota utama Chengdu dan kota-kota penting lain seperti Mianyang, Beichuan, Mianzhu dan lain-lain. Di utara lembah ini membentang Pegunungan Longmen Shan yang menjadi tempat hidup kawanan panda, dengan beberapa puncak menjulang hingga ketinggian 4.000 meter lebih. Pegunungan Longmen Shan tidak bisa dipisahkan dengan Dataran Tinggi Tibet dan Pegunungan Himalaya, sebagai jajaran pegunungan lipatan yang terbentuk ketika Lempeng India yang bergerak ke utara dengan kecepatan 5 cm/tahun mendesak Lempeng Eurasia yang stabil. Transfer tekanan yang didesakkan lempeng India lebih dominan ke bagian timur jajaran pegunungan lipatan ini, sehingga kerak Bumi di wilayah Sichuan terbelah menjadi belasan patahan aktif yang rumit. Aktifnya wilayah ini bisa dilihat dari USGS Historic Moment Tensor Solutions yang mencatat 10 kejadian gempa bumi dengan Mw > 5 hanya dalam kurun 1981 - 2002 dan semuanya bersumber dari kedalaman sangat dangkal. Salah satu patahan tersebut adalah patahan Longmen Shan, yang membujur sepanjang 250-an km di dalam Pegunungan Longmen Shan. Dan Senin 12 Mei 2008 pukul 06:48 GMT lalu ujung barat daya patahan ini mendadak terpatahkan secara naik dan miring (oblique thrust faulting). Pematahan menjalar di sepanjang lintasan patahan ke arah timur laut sehingga terbentuk zona rekahan sepanjang 220 km dengan lebar 36 km. Seluruh zona rekahan melenting sejauh 400 cm dari lokasinya semula, bahkan pada titik tertentu pelentingan mencapai 900 cm. Energi yang dilepaskan mencapai 10,7 megaton TNT atau 530 kali lipat lebih dahsyat ketimbang bom Hiroshima. Dan dynamic stress yang ditimbulkannya diestimasikan mencapai 3 MPa, angka yang cukup untuk memicu letusan gunung berapi jikalau ada vulkan didekatnya. Akibat pelentingan, permukaan tanah Pegunungan Longmen Shan terguncang sangat keras dengan intensitas 9 MMI yang menghasilkan percepatan tanah maksimum 102 % G (1 G = 9,81 m/det2). Inilah yang menimbulkan longsoran besar yang menutup aliran sungai sehingga menciptakan danau-danau baru, seperti pernah terjadi dalam Gempa Hebgen 1958, Montana (http://neic.usgs.gov/neis/eq_depot/usa/1959_08_18.html). Danau baru ini mengkhawatirkan karena bisa jebol kapan saja mengingat material bendungannya yang rapuh. Kawasan lembah Sichuan dari kaki Pegunungan Longmen Shan hingga ke sekitar kota Chengdu menderita guncangan berintensitas 7 - 9 MMI. Ditunjang dengan berdirinya bangunan-bangunan yang berkonstruksi jelek, yang sudah mulai rusak ketika dilanda guncangan berintensitas 6 MMI, maka guncangan sebesar itu sudah cukup mampu untuk membuat bangunan rusak berat atau malah bahkan roboh. Inilah kontributor utama besarnya korban jiwa yang terenggut dalam gempa ini. Gempa Sichuan ini hampir mirip dengan Gempa Yogya 27 Mei 2006, meski dalam skala dan mekanisme sumber berbeda. Gempa Yogya juga meletup di patahan yang membatasi jajaran Pegunungan Selatan (Pegunungan Sewu) dengan lembah tempat berdirinya pusat2 pemukiman di Bantul, Yogyakarta dan Prambanan. Meski BMG dan USGS dalam release awalnya menyebut episentrum Gempa Yogya berada di lepas pantai Parangtritis, namun kajian lapangan, analisis posisi episentrum gempa-gempa susulan (aftershocks) dan re-analisis USGS menunjukkan Gempa Yogya bersumber dari pematahan batuan secara mendatar mengiri (left lateral strike-slip faulting) pada kedalaman 17 km di sekitar pertemuan Sungai Opak dan Oya, berdekatan dengan kompleks makam raja-raja Mataram di Imogiri. Pematahan lalu menjalar ke timur laut mengikuti jejak lintasan patahan Opak hingga terbentuk zona rekahan sepanjang 25 km dengan lebar 12 km yang melenting sejauh 60 cm (rata-rata) dari posisinya semula, meski pada titik tertentu pelentingan bahkan mencapai 120 cm. Ini menghasilkan gempa tektonik dengan moment magnitude 6,4 Mw (body-wave magnitude 5,9 skala Richter) yang melepaskan energi sebesar 60 kiloton TNT atau 3 kali lipat bom Hiroshima. Akibatnya daratan Bantul bergeser sejauh 9 cm ke selatan dari posisinya semula, sementara Yogyakarta dan Klaten masing-masing bergeser 7 cm dan 1 cm. Pergeseran nampak jelas pada rel KA yang bengkok di antara Stasiun Srowot dan Prambanan serta terpelintirnya candi-candi utama di kompleks percandian Prambanan, yang kebetulan berdiri di ujung zona rekahan. Wilayah Prambanan merupakan triple junction (tempat bertemunya tiga patahan) yakni patahan Opak dan patahan Baturagung (yang membatasi Pegunungan Selatan dengan dataran rendah disekitarnya) serta patahan transversal Jawa Tengah (yang menjadi landasan berdirinya Gunung Ungaran, Soropati - Telomoyo, Merbabu dan Merapi). Di sini energi gempa lebih dominan ditransfer ke patahan Baturagung sehingga kerusakan meluas ke bagian selatan wilayah Klaten. Namun fraksi energi yang ditransfer ke utara masih sanggup menghasilkan dynamic stress sebesar 60 kPa pada kantung magma Merapi, sehingga meningkatkan volume pertumbuhan kubah lava dari 50.000 meter kubik/hari menjadi 150.00 meter kubik/hari dan sekaligus meningkatkan jumlah kejadian awan panas dari 34 kali/hari (rata-rata) menjadi 95 kali/hari (rata-rata). Dikombinasikan dengan sedimen setempat yang belum kompak hasil muntahan Merapi, Bantul menderita guncangan berintensitas 8 MMI sementara Yogyakarta sampai 7 MMI. Seperti Sichuan, mutu bangunan di Indonesia pun buruk sehingga sudah rusak saat terkena guncangan 5 MMI dan bisa runtuh oleh guncangan 6 MMI. Inilah penyebab jatuhnya korban jiwa hingga > 6.000 orang dalam Gempa Yogya. Next ? Sangat jarang dipahami bahwa gempa bumi adalah suatu siklus dan akan berulang kembali pada periode tertentu yang khas untuk satu wilayah. Gempa terjadi ketika suatu patahan tertahan gerakannya oleh mekanisme tertentu di sepanjang bidang patahan, padahal seharusnya ia bisa bergerak bebas sesuai dengan kecepatan pergeserannya. Kondisi ini membuat patahan terkunci (locked), sementara tekanan tektonis yang datang dari desakan lempeng terus menerus berlangsung. Akibatnya ketika tekanan yang terakumulasikan tak sanggup lagi ditahan oleh kekuatan batuan dalam patahan, patahlah ia dan terjadilah pelentingan yang jauhnya setara dengan akumulasi kecepatan pergeseran patahan dikalikan waktu sejak gempa sebelumnya. Sebelum 2006, wilayah Yogakarta pernah dilanda gempa kuat pada 1867 dan 1943 yang bersumber pada patahan Opak, maka bisa dikatakan di wilayah ini periode gempanya 70 tahun dengan ketidakpastian beberapa tahun. Pada umumnya patahan-patahan di Jawa dan Sumatra bergeser 10 mm/tahun, bila tidak terkunci. So, dengan pelentingan 60 cm, maka terjadi penguncian sebesar 60/70 = 0,86 cm/tahun atau sekitar 9 mm/tahun. Sehingga pergeseran yang tersisa tinggallah 10 - 9 = 1 mm/tahun. Pergeseran 1 mm/tahun di patahan Opak ini sangat kecil untuk dideteksi terlebih jika akurasi instrumen GPS yang digunakan melebihi angka tersebut, sehingga bisa saja ditafsirkan patahan yang bersangkuan tidak aktif lagi. Sebelum 2006, patahan Opak pernah dinyatakan bukan patahan aktif. Dengan periode ulang gempa 70 tahun, maka gempa 6,4 Mw seperti Gempa Yogya 2006 itu kemungkinan baru akan terjadi lagi di sekitar 2076 mendatang. Tentu saja prediksi ini sangat berpotensi untuk meleset, mengingat tiap kejadian gempa merubah sifat batuan yang bersentuhan di sepanjang bidang patahan, sehingga mekanisme penguncian selanjutnya pun bisa saja berubah dari sebelumnya. Periode ulang 70 tahun ini hanya khas untuk wilayah Yogyakarta saja, dan terbatas pada magnitude sekitar 6 Mw. Untuk wilayah yang lain tentu berbeda. Padahal 60 % pemukiman di Indonesia berdiri di atas patahan, baik yang aktif maupun tidak aktif. Dan sebagian besar patahan itu belum pernah diselidiki mengingat keterbatasan sumberdaya. Di Jawa Tengah bagian selatan misalnya, selain patahan Opak, juga membentang patahan Progo (yang melintasi Wates dan Purworejo), Lukulo/Kedungbener (melintasi Kebumen), Kroya serta Bumiayu (di dekat Purwokerto) yang belum jelas benar apakah sudah diselidiki apa belum. Sementara catatan sejarah (misalnya dari PVMBG) menunjukkan ada kejadian gempa kuat di masa silam yang mungkin berkaitan dengan patahan ini. So tidak ada kata lain kecuali t-e-t-a-p w-a-s-p-a-d-a. Apa yang terjadi di Sichuan adalah keniscayaan dan gempa seperti itu juga pasti akan terjadi di tanah air kita, entah dimana tempatnya, kapan dan seberapa besar magnitudenya. Sebelum terjadi gempa yang sebenarnya, mari waspada, berlatih dan peka... salam Ma'rufin Ref : Ji & Hayes. 2008. Finite Fault Model : Preliminary Result of The May 12, 2008 Mw 7,9 Eastern Sichuan, China Earthquake. National Earthquake Information Center - USGS. Meilano. 2006. Jogja Earthquake, http://www.seis.nagoya-u.ac.jp/~irwan/jogjaeq/jogjaeq.html. Walter dkk. 2007. Volcanic Activity Influenced by Tectonic Earthquakes: Static and Dynamic Stress Triggering at Mt. Merapi. Geophysical Research Letters, 34 (2007). [Non-text portions of this message have been removed]