Dengan kecongkakan demokratisnya, negara-negara besar senang 
membawa-bawa masalah mereka sendiri ke masyarakat dunia dengan 
menunggangi Perserikatan Bangsa Bangsa dan merusak tatanan umum.

Sedikit-sedikit PBB sedikit-sedikit PBB, padahal PBB cuma...


--- 

PBB

Kedaulatan Negara di Laut dalam Ancaman
Rabu, 21 Mei 2008
http://www.kompas.com/kompascetak.php/read/xml/2008/05/21/01023966/kedaulatan.negara.di.laut.dalam.ancaman

Masalah pembajakan yang sebetulnya mempunyai forum tersendiri di 
Organisasi Maritim Internasional (IMO) yang bermarkas di London kini 
mulai diseret masuk ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Adalah kasus Somalia yang membuat Amerika Serikat dan Perancis mencoba 
menjadikan soal pembajakan sebagai bahasan di DK PBB. Gawatnya, 
rancangan resolusi (ranres) itu dalam beberapa hal mencoba mengubah 
rezim hukum laut internasional (UNCLOS) 1982.

Ranres mengenai penanganan pembajakan di sekitar perairan Somalia itu 
diperkenalkan akhir April. Ranres itu, menurut para pengusulnya, 
ditujukan untuk memerangi aksi pembajakan bermotifkan permintaan 
tebusan di sekitar perairan Somalia yang meminta korban banyak.

Meski bertujuan baik, Indonesia bersama-sama sejumlah anggota DK PBB, 
antara lain China, Afrika Selatan, Libya, dan Vietnam, menolak keras 
ranres itu. Seperti yang disampaikan Direktur Jenderal Hukum dan 
Perjanjian Internasional Eddy Pratomo, ada beberapa hal dalam ranres 
itu yang sulit diterima. "Kalau ingin membuat resolusi mengenai 
Somalia, ya soal Somalia saja, jangan ke mana- mana. Kita juga ingin 
upaya penanganan pembajakan itu harus menghormati negara pantai. Jadi, 
kalau ada upaya penanganan pembajakan di teritorial kelautan, harus 
ada izin dari pemilik negara pantai," ujarnya sambil menegaskan 
pembajakan laut terjadi di laut bebas.

Forum di IMO

Indonesia, lanjut dia, karena itu meminta masalah pembajakan, yang 
sudah mempunyai forum sendiri di IMO, tak bertentangan dengan UNCLOS 
1982.
Jika ranres itu diamati lebih cermat, ada dua hal mendasar yang 
tampaknya ingin disasar. Pertama, penanganan masalah pembajakan yang 
bukan hanya di wilayah perairan Somalia. Kedua, perubahan hukum laut 
internasional sehingga memungkinkan kapal perang negara adidaya masuk 
ke wilayah kedaulatan suatu negara.

Upaya mencakup wilayah lain ini terlihat dari rumusan dalam paragraf 
pembukaan (PP), khususnya PP3. Disebutkan, laporan tiga bulanan dari 
IMO sejak tahun 2005 membuktikan berlanjutnya pembajakan dan 
perompakan di sejumlah wilayah.

Itu artinya PP3 secara implisit juga mencoba menyasar Selat Malaka, 
yang hingga tahun ini belum bersih dari laporan kasus perompakan. 
Padahal, wilayah laut yang menjadi tanggung jawab Indonesia, Malaysia, 
dan Singapura itu, dalam setahun terakhir menunjukkan penurunan 
signifikan insiden perompakan.

Bunyi PP3 ranres itu diperparah lagi dengan bunyi dalam Paragraf 
Operatif (OP) 12, yang meminta Sekjen PBB melaporkan situasi 
perompakan dan tindak kriminal di laut di berbagai wilayah lain. Maka, 
bukan tidak mungkin wilayah laut lainnya akan diintervensi oleh DK 
PBB.

Hal ini akan menimbulkan komplikasi karena DK PBB tiba-tiba mengatur 
wilayah laut yang sebenarnya aman, dan hal ini bertentangan dengan 
prinsip-prinsip Piagam PBB.

Sedangkan upaya mengubah hukum laut internasional terlihat dalam OP 7, 
di mana negara-negara maritim besar diperbolehkan menerapkan rezim 
hukum laut bebas, yang berarti yurisdiksi negara pantai tak ada dan 
yang berlaku adalah yurisdiksi internasional di laut teritorial.

Hal itu jelas melanggar UNCLOS 1982, dan akan menjadi preseden yang 
sangat buruk karena akan mengubah hukum internasional tanpa melalui 
prosedur yang dibenarkan hukum internasional.

Meski dibungkus isu pembajakan, AS tampaknya ingin mempermulus gagasan 
yang ditolak banyak negara, yaitu PSI (proliferation security 
initiative) atau inisiatif untuk memperluas "wilayah keamanan" AS. 
Oleh karena itu, kita wajib mewaspadainya. (Reuters/OKI)




Kirim email ke