SKETSA
Sabtu, 27 Desember 2008
Ridwan Kamil, Kota Hijau,  Rancang-Bangun Mendunia


JAKARTA, di Sabtu, 27 Desember 2008, siang di saat libur menjelang pergantian 
tahun. Jalan Soedirman, Jakarta Pusat, tidak sebagaimana hari biasa. Menyetir 
dan naik motor di tengah kota yang lengang, menjadi pengalaman langka bagi 
warga. Langit mendung. Awan putih, abu-abu muda dan tua seakan bergelut 
ditingkah angin. Kota yang berpredikat terpolusi ketiga didunia ini, hari ini 
berkurang debu. 

Memarkir kendaraan di Taman Suropati di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, 
gampang. Tak banyak mobil yang berhenti. Burung-burung liar kota, terbang 
seakan tidak terganggu. Sosok meranti, berbatang tinggi. Beragam tanaman keras 
lain kokoh menjulang awan di taman itu. Ia menjadi satu-satunya taman tersisa 
peninggalan Belanda. Sulit mencari padanan taman kota macam di Suropati kini. 

Ketika Pemda DKI Jakarta menjadikan bekas lapangan Persija, Menteng, untuk 
taman, saya membayangkan Pemda akan menjiplak saja rancang bangun dan pilihan 
tanaman macam di Suropati. 

Eh, ternyata tidak. 

Entah merasa lebih piawai dari perancang taman di era Belanda dulu, taman di 
bekas lapangan sepak bola Persija itu, paling banter disuguhi pokok 
Lamtorogung. Alur pilihan tanaman pun tanpa mempertimbangkan hingga tanaman 
tumbuh sepuluh atau dua puluah tahun ke depan di saat pohon meninggi. Macam di 
Suropati, yang seharusnya akan membawa corak tersendiri. 

Sekembali menikmati suasana Taman Suropati itu, saya menyimak di aplikasi Face 
Book di internet. Sosok Mochamad Ridwan Kamil di tag-nya menuliskan, “Hore 
juara 1 lomba desain. Kado akhir tahun yang manis.” Ia baru saja memenangkan 
desain sebuah kompetisi sebuah gerbang kota di Tangerang. 

Ingatan saya mundur kepada beberapa artikel tentang sosok Mochamad Ridwan Kamil 
- - akrab disapa Emil, lulusan S-2 di University of California, Berkeley, 
Amerika Serikat, pernah bekerja di New York dan Hong Kong (1997-2002) - - yang 
dalam berbagai prestasinya merancang bangunan untuk berbagai gedung, kota baru, 
di berbagai negara. 

Di dalam blog-nya internet, saya menemukan perhatiannya yang tinggi terhadap 
kota yang hijau. Emil memiliki catatan tersendiri. Menurutnya, pengembalian 
fungsi lahan hijau itu hanya bagian dari upaya pembentukan green city. 
“Sebuah kota bisa dinamakan sebagai green city apabila kota tersebut dikelola 
secara seimbang, baik itu lingkungan, ekonomi yang sehat, juga kota yang 
memberikan ruang-ruang buat aktivitas sosial,” ujar Emil di dalam salah satu 
artikel di blognya. 

Salah satu syarat untuk menjadikan kota Jakarta sebagai green city, menurut 
Emil, setidaknya pemerintah kembali memfungsikan lahan hijau setidaknya sampai 
30 persen dari total luas lahan kota Jakarta. Tapi sayangnya upaya ke arah sana 
membutuhkan waktu tidak sebentar. 

Ketidak-beresan pemerintah menata kota Jakarta, dalam pandangan Emil, di DKI 
Jakarta ini tidak ubahnya seperti gigi ompong. Lahan kosong sebenarnya masih 
banyak, tetapi tidak merata pembangunannya. Yang ada malah melebar kemana-mana, 
seperti Bekasi, Depok dan Tangerang. 

Emil merisaukan pembangunan yang terjadi di Jakarta dalam 3 tahun terakhir ini. 
Pada kurun waktu tersebut terdapat 200-300 bangunan tinggi tetapi tidak ada 
yang bisa dibanggakan seperti Menara Petronas di Malaysia yang ramah 
lingkungan. 

“Untuk mewujudkan Jakarta sebagai green city, hendaknya pemerintah mulai 
membangun serta menata kembali infrastruktur hijau berupa kawasan dan 
pedestrian yang teduh, serta taman-taman penghubung,” tulis Emil di blognya. 

Bila hal ini terwujud, akan mendorong warga berjalan kaki atau bersepeda ke 
berbagai tempat tujuan dengan nyaman dan aman. Jaringan infrastruktur hijau itu 
kemudian bisa diintegrasikan dengan sistem transportasi publik. 



MATAHARI terik di suatu siang medio 2008 di bilangan kawasan Jl Garuda, Jakarta 
Pusat. Saya memasuki sebuah gang kecil, yang bermuara ke arah macam oase berupa 
tanah kosong seukuran lapangan basket. Kontur tanah miring. Bagian pojok ada 
sampah menumpuk belum diangkat membusuk. 

Bekas bakaran kayu, arangnya tampak mengelontor tersapu kaki yang lewat. Sebuah 
balok yang sebagian kakinya patah tampak dinaiki anak-anak kecil tanpa beralas 
kaki. Satu dua anak berumur dua, tiga, tahun dengan hidung berleleran air, 
ingusan. Suara kanak-kanak riuh-rendah. 

Para ibu, di rumah petak yang mengitari, tampak mengerjakan bagian proses 
penjilidan buku. Got dan saluran air di sekitar pemukiman itu tidak mengalir. 
Seorang pedagang memikul dagangan, macam lilitan selempangan berisi mancaragam 
mainan murah. Mulai dari balon termasuk permen, yang di belakanng hari, permen 
itu diketahui impor asal Cina, bermelamin - - sangat merusak kesehatan balita. 

Di bagian belakang beberapa rumah petak, para pria berkutat di mesin-mesin 
cetak tua satu warna. 
Kawan saya bilang, jika ingin mencetak buku murah di Jakarta, kawasan itu layak 
untuk dijadikan sasaran. “Kami sering dapat limpahan pekerjaan dari percetakan 
besar,” ujar seorang Bapak setengah baya, di pemukiman padat itu. 

Ingatan saya mundur ke lingkungan kecil, dinamis dengan “kekumuhannya” itu, 
jika membandingkan dengan Taman Suropati, di Menteng itu. Jika saja lingkungan 
padat, di mana bisa air mengalir di berbagai got, tumbuhan hijau berdiri kokoh 
di kawasan pemukiman, akan berbeda atmosfirnya, anak-anak dapat berlari-lari 
mengitari pohon kayu keras tinggi nan rindang. 

Dalam kerangka itulah saya mengirim pesan melalui email kepada Emil untuk 
menuliskan pengalamannya. Bahwa sesungguhnya, ada, lho, sosok manusia 
Indonesia, punya prestasi gemilang di kancah internasional dalam mendesain dan 
menata kota. 

Emil, kelahiran Bandung 4 Oktober 1971, itu banyak menghasilkan karya 
arsitektur untuk berbagai negara, di antaranya Singapura, Thailand, Cina, Timur 
Tengah. Setamat kuliah S-2 di University of California, Berkeley, Amerika 
Serikat, dan bekerja di New York dan Hong Kong (1997-2002). Emil mendirikan 
Urbane Indonesia atau akrab disebut Urbane, jasa konsultan perencanaan, 
arsitektur dan desain, pada 2003. 

Selama di AS, Emil bekerja di EDAW San Francisco, AS, yang memiliki cabang di 
berbagai negara. Melalui akses di luar itu negeri itu, Urbane sering 
mendapatkan proyek desain yang dialihdayakan EDAW. Contohnya, Marina Bay 
Waterfront Master Plan di Singapura, Suktohai Urban Resort Master Plan di 
Bangkok, Thailand; dan Shao Xing Waterfront Masterplan di Shao Xing, Cina. 
Ketiganya melalui EDAW Asia. 

Desain kawasan Islamic Centre Mosque di Beijing melalui EDAW Hong Kong, pun 
dikerjakannya. Konsultan arsitek dan desain ternama di Hong Kong, Singapura dan 
Bahrain -- SOM Hong Kong, SAA Singapura dan AJ Vision Bahrain -- pun sudah 
mengalihdayakan beberapa proyek ke Urbane, studio yang didirikannya di Bandung 
2003. 

Beragam proyek; Beijing CBD Master Plan di Beijing, Guangzhou Science City 
Master Plan di Guangzhou dan District 1 Saigon South Residential Master Plan di 
Saigon, Vietnam, melalui rancang tangannya. Semua proyek ini melalui SOM Hong 
Kong. Lalu, Greater Kunming Regional Master Plan dan Kunming Tech Park Master 
Plan di Kunming, Cina, melalui SAA Singapura dan Ras Al Kaimah Waterfront 
Master di Qatar-Uni Emirate Arab melalui AJ Vision Bahrain. 

Lebih dari 60 rancangan di luar negeri kini telah dihasilkan Emil secara 
pribadi dan Urbane, studionya. ”Ada yang saya hasilkan ketika masih bekerja di 
Amerika dan setelah balik ke Indonesia melalui Urbane,” katanya kepada SWA. 

Yang menarik, dalam berhubungan dengan klien, Emil cenderung mengandalkan 
kemajuan teknologi informasi, melalui internet, telepon dan faksimile. 

Tatap muka? 

“Jarang sekali kami lakukan,” ujar Emil. 

Ayah Emmeril Khan Mumtadz, 7 tahun, dan Cammilia Laetitia Azzahra, 2 tahun ini 
mengungkapkan, yang penting adalah menjaga kepercayaan dengan “always delivery 
on time”. Perbedaan waktu yang sangat kontras tidak menjadi penghalang bagi 
Ridwan dan stafnya untuk menyelesaikan pekerjaan. Bila perlu, sampai menginap 
di kantor. 

Namun, kerja keras tersebut sepadan dengan uang yang diperolehnya. Untuk proyek 
di luar negeri, Urbane memasang tarif Rp 600 juta-1 miliar per proyek. 
Sementara untuk pasar lokal, Rp 200 juta-2 miliar per proyek. ”Sepadan kok 
dengan skala luasan rancangan properti yang harus dikembangkan,” katanya kepada 
SWA. 



KEPADA saya tak sampai dua jam kemudian Emil mengirimkan email berisi gambar 
artist impression, desain yang pernah dimenangkannya, lokal maupun luar negari. 
Seperti; juara pertama desain Jakarta Stock Exchange Building, Bintaro BSD 
Master Plan, juara pertama 2008, Shanghai Huang master Plan, Beijing Finance 
Street. Kesemuanya sebuah desain kota, kental dengan sentuhan post modern. 

Rancangan Stock Exchnge Building itu merupakan, sebuah kawasan taman di mana di 
tengah gedung tingi macam lingkaran metal melilit sebuah lingkaran, persis 
berda di tengah taman hijau royo-royo. 

Tepat Sabtu pekan lalu, di tengah malam sebelum tidur, saya menyimak kanal 
Discovery di teve berbayar. Di sana sebagaimana sebuah riset di Amerika Serikat 
kini, telah menemukan insulator, untuk melapis bagian beton, besi, agar tidak 
dapat tembus air dan benda keras lainnya. 

Di atas insulator itu, jika dilapisi ke atap puncak kedung tinggi, maka di 
atasnya dapat ditimbunkan tanah. Dan di atas tanah di gedung tinggi menjulang 
itu bisa ditanami pohon-pohon hijau. 

Jika semua gedung-gedung di kota besar beratapkan tanaman hijau, pemanasan 
global dapat dihindari. Inilah salah satu isu mutakhir dan penemuan terbaru, 
dalam upaya mengurangi pemanasan global di tengah keprihatian perubahan cuaca, 
climate change, yang menjadi pembahasan negara maju kini. 

Melihat narasi di Discovery itu, melihat keadaan nyata di kesumpekan Jakarta, 
plus juga melihat desain arsitektur Emil yang mendunia, terasa sekali segalanya 
seakan jompang-jamping. 

Sesungguhnya kita punya anak negeri yang banyak berprestasi macam Emil. Dan 
sesungguhnya pula negeri ini kaya akan aneka jenis tanaman dan kayu unik. Namun 
untuk membangun sebuah kota yang hijau, yang ramah lingkungan, hingga hari ini 
seakan jauh panggang dari api. 

Lebih sakti dari itu, di segala lini di tingkat pemerintah daerah disibukkan 
dengan urusan Pilkada, sebentar lagi urusan Pemilu, urusan kekuasaan, yang 
tidak pernah berorientasi kepada pembangunan jangka panjang. 

Karena yang ada di segenap sosok yang ingin berkusa hanyalah kamus kata 
berkutat menang. Setelah duduk di kekuasaan itu, lalu berupaya mengembalikan 
modal energi yang terkuras untuk menang tadi, tak terkecuali di ibukota negeri 
ini. Akibatnya setahun habis tersia-sia, gerak pembangunan enggan terasa. 
Padahal selain nomor tiga terpolusi di dunia, Jakarta juga kota nomor satu di 
dunia di mana saluran air, sanitasi, tidak mengalir nyata. 

Bila bangsa lain sibuk bicara urusan masa depan, membahas climate change untuk 
masa depan generasi, di negeri ini hal itu seakan perlu dibicarakan nanti. 

Dan tak satu pejabat menganggap aneh kini, bila jantung Kalimantan Barat, 
Tengah, hingga Timur, hari-hari ini digerus banjir, barisan mulut seakan parade 
mengangga saja. Menganggapnya biasa. 

Partai politik dan pengurus, termasuk presiden dan wakilnya, sibuk 
mempersoalkan tambang batubara, yang sebagian kini menjadi darah masukan dana 
bagi partai politik, yang ditambang umumnya di Pulau kalimantan. 

Urusan lingkungan yang rusak akibat pertambangan, tampaknya menjadi, lagi-lagi, 
urusan kumahak engkek, nanti saja. 

Maka, jangan heran anak-anak muda Indonesia yang hebat, akhirnya memang lebih 
mendapat tempat di negara yang lebih beradab. Karya Emil, salah satunya, 
dikenal dunia dibanding di negerinya sendiri. Padahal sebentar lagi tahun 
berganti, banyak masalah seakan mengalami kemunduran di negeri ini, lingkungan 
hidupnya terutama.*** 

Iwan Piliang, presstalk.info 


       
       

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to