Tahun 2009 bisa jadi momentum
politik paling akbar di negeri ini. Salah satu aspek penerapan demokrasi dan
buah reformasi yakni pemilihan umum langsung sudah didepan mata. Akan menjadi
pertaruhan besar bagi eksistensi negara yang tergolong memiliki wilayah terluas
dan penduduk terbesar di jagad ini. Kita bisa bercermin pada bangsa-bangsa lain
yang tidak hanya sukses melewati Pemilu-nya dengan aman dan demokratis,
tetapi lebih dari itu berhasil melakukan regenerasi dan melepaskan diri dari
pengaruh buruk status quo. Hal yang Nampak jelas dari hari-hari terakhir
ini adalah ruang aktivitas kita senantiasa dihiasai baliho, spanduk, pamflet,
stiker maupun iklan mass media tentang para kandidat yang akan bertarung
memperebutkan kursi legislatif dan eksekutif sudah menjadi sarapan pagi (juga
teman bagi mobilitas keseharian dan pengantar tidur) bagi rakyat Indonesia.

Pergantian empat kali kepemimpinan
nasional dalam masa sepuluh tahun di era reformasi ini dinilai belum banyak
menunjukkan kemajuan yang berarti. Enam puluh tiga tahun bangsa merdeka dari
penjajahan militer, tetapi kita masih terjajah secara ekonomi, sosial, kultural
serta terutama mental dan cara pandang (mindset). Sehingga tidak sulit
menemukan jawaban, mengapa kita masih terjebak pada persoalan kemiskinan,
kebodohan, keterbelakangan, korupsi, ketidakadilan dan ketergantungan pada
pihak asing. Banyak analisis mengemukakan, kelompok kelas menengah yang paling
besar dari segi jumlah, tidak mampu mendorong dan mengartikulasikan perubahan.
Sedangkan kelompok grass root jelas hanya menjadi penonton bahkan
pelengkap penderita. Maka angin perubahan itu hanya bisa dihembuskan dari
kelompok atas (elit) yang memiliki kelimpahan resources baik modal
material, skill intelektual dan energi.

Dalam upaya mengatasi permasalahan
bangsa ini setidaknya dibutuhkan pemimpin dengan energi yang kuat, bersikap
lurus dan berjiwa bersih tanpa dibebani rekam jejak yang buruk masa lalu.
Bangsa ini membutuhkan pemimpin alternatif dan ini hanya bisa dilakukan oleh
kaum muda yang lebih progresif dibandingkan kaum tua yang hanya berpikir
konservatif. Adanya krisis kepemimpinan nasional inilah yang menyebabkan
presiden terpilih tidak mampu mengatasi berbagai permasalahan bangsa yang
semakin kompleks. Kita menghadapi tantangan dan harapan baru, zaman baru dan
generasi baru dan itu tidak bisa dilakukan oleh kaum tua.

Berita dan hasil survei yang
senantiasa menghiasi layar kaca, lembaran koran dan majalah masih didominasi
oleh wajah-wajah tua Wiranto, Gus Dur, Akbar Tanjung, Megawati Soekarnoputri,
Amien Rais, SBY, Sri Sultan Hamengkobuwono, Sutiyoso, Prabowo Subianto dan lain
lain. Padahal sudah sepantasnya mereka berbesar hati (legowo) mundur dari 
pentas politik
praktis. Alangkah indahnya jika mereka mengambil peran sebagai “Guru Bangsa”;
yang memberi masukan dan pemikiran-pemikiran untuk mencerahkan bangsa ini,
bukan sebaliknya memperkeruh dan menyebabkan kebingungan rakyat.Saat ini 
keikutsertaan kaum muda dalam
regenerasi kepemimpinan sudah mulai dilakukan oleh kalangan pebisnis, akademisi
dan aktivis organisasi lainnya. Kalaupun ada regenerasi di tubuh partai politik
ditingkat nasional sampai ke daerah, itupun masih dalam level yang sangat
terbatas. Kaum muda yang berniat untuk mengikuti seleksi kepemimpinan nasional,
harusnya mau memperjuangkan diri. Generasi muda harus bekerja keras dan membuat
iklim yang kondusif agar tokoh-tokoh muda bisa muncul ke pentas politik tingkat
nasional. Tokoh-tokoh muda harus mampu mendobrak sistem rekrutmen kepemimpinan
nasional yang relatif “sudah usang” yang berlaku di partai politik. Para
pemimpin partai politikpun hendaknya mau membuka peluang dan melihat talenta
kaum muda.


      Kenapa BBM mesti naik? Apakah tidak ada solusi selain itu? Temukan 
jawabannya di Yahoo! Answers! http://id.answers.yahoo.com

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke