Ya pada intinya kita musti ingat :

        1. Kota Makkah itu
secara topografis berada di sebuah cekungan (depresi) yang disusun oleh
batuan beku produk aktivitas zona retakan Makkah-Madinah-Nufud,
sehingga sulit untuk mengambil orientasi arah ke Ka'bah secara langsung
(bukan ke Masjidil Haram-nya lho) bagi bangunan2 masjid yang didirikan
diluar cekungan. Mungkin secara kasar bisa sja diambil orientasi arah
ke Masjidil Haram, namun harap diingat bahwa menghadapkan arah bangunan
ke Masjidil Haram tidak otomatis membuat masjid di sekitar Makkah tidak
tepat menghadap ke Ka'bah.
        2. Untuk konteks kota Makkah, panduan
arah ke Ka'bah dalam setting waktu seabad silam hanya bisa dilakukan
dengan kompas magnetik. Penggunaan bayangan Matahari, atau yang lebih
populer lagi seperti waktu Istiwa' Azzam (dimana Matahari tepat berada
di atas Ka'bah), tidak bisa digunakan di Makkah karena justru pada saat
itu kedudukan Matahari tepat berada di titik zenith dan tepat pada saat
transit, sehingga bayangan yang dihasilkannya sangat sedikit atau malah
tidak ada (ini mirip2 dengan bayangan Matahari yang menghilang pada
saat equinoks 21 Maret dan 22 September tiap tahun di Pontianak).
        3. Jika
menggunakan kompas magnetik, maka kompas terbaik sekalipun pada satu
abad silam masih memiliki deklinasi magnetik -2 derajat terhadap true
north berdasarkan World Magnetic Model punya NOAA. Artinya,
sebagus-bagusnya kompas tersebut, maka arah yang ditunjukkannya masih
melenceng sejauh minimal 2 derajat dari arah titik utara sejati. Jika
kualitas kompasnya lebih rendah, tentu saja arah penyimpangannya akan
lebih besar. 
        4. Dengan tanah yang tersusun dari batuan beku,
secara geologis Makkah banyak mengandung mineral besi, yang bagi kompas
magnetik merupakan salah satu "musuh" karena kemampuannya membelokkan
garis-garis gaya magnet Bumi sehingga akan ada tambahan penyimpangan
terhadap deklinasi magnetik yang sudah ada.
        5. Yang
juga jarang diperhitungkan, harus dicatat, setiap pengukuran (apapun
instrumennya) selalu dihinggapi problem akurasi pengukuran. Dan dalam
konteks pengukuran arah kiblat, makin mudah metodenya membawa implikasi
pada makin kecilnya akurasi. Sehingga metode kompas magnetik, sebagai
metod yang paling mudah, selalu memiliki akurasi lebih kecil. Metode
bayangan Matahari yang sedikit lebih sulit, selalu memiliki akurasi +/-
0,5 derajat. Dan metode posisi bintang (metode tersulit), selalu
memiliki akurasi terbesar. Memang fiqih menghendaki hasil yang seakurat
mungkin, namun ilmu pengetahuan hanya sanggup menelurkan sejumlah
metode dngan akurasinya masing-masing. Pada titik ini sebaiknya hal itu
dipahami, terlebih lagi hal ini juga tidak melanggar kaidah ushul fiqih
yang sudah ada.

Yang sudah saya dapatkan (secara sekilas) :

        1. Beberapa
masjid bersejarah, seperti Masjid Qiblatain dan Masjid Quba (di
Madinah), menunjukkan adanya selisih antara arah bangunan dengan arah
kiblat dalam range 3 derajat jika dilihat dengan Qibla Locator. Ini
memang musti diteliti lebih lanjut di lapangan, karena belum tentu
penyimpangan itu real (mengingat citra satelit pun bisa memperlihatkan
kesan seolah-olah menyimpang atau seolah-olah lurus, bergantung kepada
sudut pemotretan citra). Kalopun itu real, simpangan 3 derajat jika
dibandingkan dengan nilai deklinasi magnetik seabad lalu yang 2
derajat, menunjukkan arah bangunan masjid itu sudah mengarah ke kiblat
dalam batas kesalahan pengukuran pada saat itu.
        2. Untuk masjid di
sekitar Makkah seperti Masjid Namirah (di Padang Arafah), qibla locator
menunjukkan simpangan 1 derajat. Demikian pula dengan Masjid al-Khaif
di Mina (sebagai catatan, masjid Khaif ini merupakan masjid tertua
ketiga di dunia setelah Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa). Ini
menunjukkan arah bangunan masjid sudah mengarah ke Ka'bah sesuai dengan
batas kesalahan pengukuran saat itu. Sebagai pembanding, di Mina pula,
ada masjid (baru) berupa Masjid al-Quwwaitin, yang dari bentuk
bangunannya kelihatan baru saja dibangun, namun lewat qibla locator
nampak jelas bahwa simpangannya sekitar 5 derajat.Kasus Indonesia :
Untuk Indonesia, sebenarnya persoalan akurasi arah kiblat sudah terpecahkan 
sejak lama, seperti ditunjukkan dengan jenial dalam pembangunan Masjid Sunan 
Ampel di Surabaya itu. Namun persoalan yang sekarang muncul, bisa dikatakan 
sekitar 60 - 70 % sumbu bangunan masjid di Indonesia belum mengarah ke kiblat 
(dan hanya sebagian kecil yang sudah dilakukan koreksi dengan mengubah arah 
garis shaff-nya). Ini bisa terjadi karena :

        1. Penggunaan kompas bermutu rendah dan tak terkalibrasikan
        2. Kalopun kompas yang digunakan bermutu tinggi, ada "kebiasaan" di 
kalangan pengembang (kontraktor) di Indonesia untuk menarik arah kiblat sejauh 
12 derajat dari titik barat, padahal angka yang lebih tepat adalah 24 - 25 
derajat dari titik barat. Sehingga tidak mengherankan jika masjid-masjid baru 
pun, ketika dilakukan pengukuran ulang, ternyata masih menyimpang dengan 
kuantitas cukup besar.
Epilog :
Dalam
konteks seabad silam, tentu saja kita tidak bisa mengait-ngaitkan
pengukuran arah kiblat dengan berbasis GPS, mengingat teknologi ini
baru muncul pada 1980-an dan baru digunakan secara luas di kalangan
sipil sejak 1990-an, artinya baru 20an tahun berada di tangan kita. Dan
posisi Makkah dapatlah diibaratkan seperti kutub utara dalam bola Bumi.
Kita yang berada jauh dari kutub bisa saja dengan mudah menentukan arah
menggunakan kompas, namun mereka yang berada di lingkaran kutub tidaklah
mungkin menggunakan kompas biasa sebagai pemandu arah. Demikian pula
saudara2 kita di Makkah. Metode bayangan Matahari jelas sulit digunakan
di sini, sementara kompas magnetik, dengan deklinasi magnetik saat ini
+ 2 derajat, juga tak kalah menyulitkannya. Dengan demikian memang
dibutuhkan sebuah metode baru yang lebih cocok untuk daerah seperti
Makkah dan sekitarnya.

Sementara dalam kasus Indonesia, faktor utamanya lebih ke pengenalan dan 
penggunaan metode yang lebih baik serta mengedukasikan hasilnya ke publik. 

Salam,

Ma'rufin




________________________________
From: Ridwan Nyak Baik <rb...@pertamina.com>
To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, April 14, 2009 11:00:42 AM
Subject: RE: [Forum-Pembaca-KOMPAS] 200 Masjid di Makkah Tidak Menghadap Kiblat





Logika lain, kemungkinan serupa juga terjadi pada lokasi mihrab
masjid-masjid di kota Madinah dan kota-kota lain di Arab Saudi. Meski
kompas awalnya ditemukan oleh Umar Kayam (kalau tidak keliru ?), namun
orang Arab jadul lebih familier menggunakan rasi bintang sebgai penentu
arah. Nah, jika arah kiblat ditentukan lewat posisi bintang tentu
tingkat akurasinya tidak setepat GPS.

Tabik;

RnB

From: Forum-Pembaca- kom...@yahoogrou ps.com
[mailto:Forum-Pembaca- kom...@yahoogrou ps.com] On Behalf Of Fuad Baradja
Sent: Tuesday, April 07, 2009 11:18 AM
To: Forum-Pembaca- kom...@yahoogrou ps.com
Subject: Re: [Forum-Pembaca- KOMPAS] 200 Masjid di Makkah Tidak Menghadap
Kiblat

Ada hal menarik ketika teman saya membuka google earth  dan merujuk arah
kiblat beberapa masjid di tanah air dengan teknologi tersebut .
Masjid Ampel di Surabaya yang dibangun tahun 1400an , kiblatnya tepat
sekali . Sementara masjid Alfalah di Jalan Darmo juga di kota Surabaya
yang dibangun sekitar tahun 1970an kiblatnya miring  lebih dari 20
derajat .

Fuad Baradja 


   


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to