Batavia (alias Jakarta) tercatat pernah diguncang gempa kuat pada 1780. Gempa 
ini disebut-sebut telah merusak dan meruntuhkan sejumlah bangunan penting milik 
VOC, salah satu diantaranya adalah Observatorium Mohr, balai peneropongan 
bintang pertama di Indonesia yang saat itu didirikan di Molenvliet (kini di 
kawasan perdagangan Glodok). Observatorium yang sekaligus menjadi tempat 
tinggal Johann Maurits Mohr itu memiliki  ketinggian 24 meter dan terdiri dari 
6 lantai. Gempa-gempa yang bisa meruntuhkan bangunan umumnya memiliki getaran 
berskala > 7 MMI, dan pada skala getaran sebesar itu, pada umumnya gempanya 
adalah gempa dangkal dan magnitudenya tergolong kuat (minimal 6 skala Richter). 
Cukup menarik perhatian bahwa di dekat Gedung Arsip Nasional, yang juga 
berdekatan dengan situs Observatorium Mohr, ternyata dijumpai mata air panas 
yang menandakan aktivitas pematahan (faulting) di masa silam. Namun belum jelas 
benar apakah pematahan yang memunculkan mata
 air panas tersebut terjadi pada gempa 1780 itu.


Dalam catatan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Dept. ESDM, 
setengah abad kemudian Batavia juga kembali diguncang gempa, tepatnya pada 28 
Januari 1833. Skala getarannya juga cukup kuat, mencapai 7 - 8 MMI. Namun 
kerusakan yang terjadi tidak jelas (tidak tercatat). Cukup menarik bahwa gempa 
ini terjadi pada saat yang hampir bersamaan dengan gempa sangat besar (alias 
gempa megathrust) yang mengguncang segmen Kepulauan Mentawai dengan magnitude 
9,0 Mw yang meretakkan segmen sepanjang 550 km dan menggesernya sejauh 13 m.


Dilihat dari sejarahnya, so Batavia alias Jakarta tidaklah benar-benar steril 
dari guncangan gempa. Lebih lagi karena berdiri di atas sedimen berusia sangat 
muda hasil pengendapan sungai, yang relatif belum terpadatkan sehingga bersifat 
memperkuat (mengamplifikasi) getaran gelombang gempa yang datang melintasinya, 
maka kerentanan Jakarta terhadap gempa cukup tinggi. Sumber-sumber gempa yang 
berpotensi mengancam Jakarta bisa berasal dari patahan-patahan aktif di wilayah 
Jakarta atau sekitarnya (dan sejauh ini belum jelas benar mana yang aktif dan 
mana yang tidak, namun ada gelagat gempa 1780 dan gempa 1833 tadi mungkin 
berasal dari patahan-patahan tersebut), atau dari sumber-sumber gempa di luar 
Jakarta seperti misalnya segmen Mentawai dalam zona subduksi Sumatra (yang 
diprediksikan akan meletupkan gempa 9,0 Mw pada satu masa di antara tahun 2000 
- 2030), segmen Sunda dalam sistem patahan besar Sumatra serta patahan 
Ujungkulon (sambungan patahan besar
 Sumatra yang menerus ke arah Jawa). Bisa pula ditambahkan segmen-segmen dalam 
"patahan besar Jawa Barat" seperti patahan Cimandiri, Lembang dan Baribis. 
Untuk yang terakhir ini, selain Jakarta, Bandung juga menderita kerentanan yang 
sama.


Mungkin pakdhe Rovicky atau pak Bakrie Arbie bisa menambahkan informasi lain. 
Monggo...


Salam,


Ma'rufin    



________________________________
From: Lasma siregar <las032...@yahoo.com>
To: forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com
Sent: Friday, May 29, 2009 11:36:26 AM
Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Gempa bumi dan bandar Jakarta (TIME, June 1, 
2009)





Gempa bumi dan bandar Jakarta

Di majalah TIME edisi June 1, 2009 di halaman 39 ada artikel 
yang berjudul "Flirting with Disaster" dimana dikatakan
" The World,s Most Earthquake-Prone cities" adalah
/1/ Tokyo
/2/ Beijing
/3/ Mexico City
/4/ Los Angeles
/5/ Lima
/6/ Tehran
/7/ Manila
/8/ Jakarta
/9/ Karachi
/10/ Naples

Bagaimana Jakarta ini bisa dikatakan rawan gempa bumi?
Padahal yang lebih mengancam adalah banjir, polusi,
kebakaran, lalu lintas yang macet, premanisme dan sekian
banyak penyakit sosial lainnya yang bisa meledak dalam
bentuk huru hara....

Apakah pernah bandar Jakarta ini mengalami gempa bumi
yang bisa dikatakan menghancurkan seperti kota Naples
(yang tak jauh dari volcano Vesuvius dan kota Pompeii
yang tenggelam dalam laharnya sekian abad lalu)?

Salam
Las


   


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to