Mas Bagio, ini tulisan yang bagus sekali, dan betul sekali substansinya. Tentang ken Arok dll nya itu kecuali HMS tentulah itu pada jaman feodalisme, praktik begitu dulu juga dikenal di Jepang, China dll termasuk Eropa. Jelas demi kedaulatan rakyat dan keadilan sosial perjuangan grassroots tak äkan berhenti. Mari kita percepat pemintaran bangsa, jangan hanya "melakolik" terus dan mudah sekali dimanipulasi jengan cara kampung ("sihir") atau canggih (survei aspal). as
--- On Sun, 7/12/09, subagyo sh <cakba...@yahoo.co.id> wrote: From: subagyo sh <cakba...@yahoo.co.id> Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Demokrasi Palsu http://www.surya. co.id/2009/ 07/10/demokrasi- palsu.html Demokrasi Palsu Jumat, 10 Juli 2009 | 12:04 WIB | Jika tak ada lagi moral yang tersisa, siap-siap saja bangsa ini kehilangan negara, sebab politik tanpa moral akan melenyapkan kedaulatan rakyat dengan cara-cara bohong dan menipu. Tanpa kedaulatan rakyat, yang ada hanya negara palsu dan demokrasi palsu. PILPRES 2009 hampir pasti dimenangi pasangan SBY-Boediono, seandainya tak ada faktor-faktor yang dapat mengubah secara ekstrem perolehan suara yang dihitung oleh lembaga yang melaksanakan penghitungan cepat (quick count). Tapi, ganjalan terbesar dalam Pilpres 2009, adalah dugaan manipulasi penyusunan daftar pemilih tetap (DPT), serta terhalangnya akses hak pilih rakyat yang tidak terdaftar dalam DPT. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dua hari menjelang Pilpres 2009, tidak maksimal dijalankan mengingat sempitnya waktu sosialisasi. Selain itu, putusan MK itu, mengeliminasi hak warga negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT, yang berdomisili di luar alamat formalnya menurut kartu tanda penduduk (KTP). Artinya, aturan teknis operasional penggunaan hak pilih dalam Pilpres 2009 kali ini menjadi menjadi penghalang akses hak politik yang merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang dijamin dalam UUD 1945. Jika demikian, boleh dikata, aturan yang dijadikan acuan pelaksanaan Pilpres 2009, serta pelaksanaanya, adalah inkonstitusional, melanggar kewajiban negara (yang diwakili pemerintah) untuk memajukan, memenuhi, menegakkan, dan melindungi HAM sebagaimana ditentukan Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945. Penyimpangan Tafsir Dalam konferensi persnya, SBY menyatakan, pihak-pihak yang menyatakan Pilpres 2009 tidak demokratis, hendaknya berhati-hati. Jika tidak puas dengan dugaan pelanggaran, ada jalur hukum yang dapat ditempuh dalam mekanisme demokrasi. Benar, ini prinsip atau nilai umum dalam demokrasi. Cara-cara penyelesaian terhadap kepentingan yang saling bertentangan harus dengan cara damai, tertib dan adil. Cara itu hanya dapat dicapai melalui hukum (Prof Soehardjo, 1991). Pertanyaannya, bagaimana jika hukum justru tidak berjalan sebagaimana mestinya? Lantas hukum mana yang hendak digunakan jika peraturan-perundang an serta putusan MK yang mengoreksi UU Pilpres itupun inkonstitusional? Inkonstitusionalita s Pilpres 2009 dapat direparasi dengan putusan pengadilan (MK), apabila ada pihak yang dirugikan hak konstitutifnya. Tentunya, dengan menyadari, MK sekarang dapat dikatakan sebagai lembaga negara paling bagus reputasinya itu, juga tak luput dari potensi kelemahan dan penyimpangan dalam mengadili kasus-kasus politik kepentingan para raksasa. Sebagai contoh, ketika memutuskan pengujian terhadap UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, MK telah masuk perangkap kepentingan penguasa kapital dalam ekonomi dan hukum yang liberal. MK menafsir secara korup terhadap Pasal 33 UUD 1945. MK berpendapat, pengertian “negara menguasai” tidak berarti memiliki secara perdata tapi dalam arti mengatur, memberikan izin, serta mengawasi. Putusan MK itu kemudian dijadikan standar tafsir Pasal 33 UUD 1945. Dengan tafsir MK seperti itu, kita sulit membedakan antara prinsip pengelolaan produksi krupuk oleh sebuah pabrik, yang juga mengharuskan adanya pengaturan, izin, dan kontrol, dibandingkan dengan pengelolaan air yang merupakan kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak. Apalagi, seandainya dalam Pilpres juga terdapat -agenda penguasa kapital yang berusaha keras mewujudkan tujuannya menguasai kekayaan Indonesia melalui penguasa yang mereka danai. Fenomena ini bukan hanya kecurigaan, tapi telah menjadi gejala global, sebagaimana diutarakan ekonom David Korten (1995), bahwa ancaman baru bagi rakyat negara di dunia modern ini adalah “Tirani Modal” yang menyetir para penguasa negara. Tak heran, jika dalam sejarah hukum di negara ini, sejak Orde Baru sampai sekarang, kita akan kesulitan menemukan putusan pengadilan yang mengalahkan para korporasi raksasa pengendali republik ini, ketika mereka digugat oleh rakyat korban. Contoh mutakhir adalah putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan Lapindo Brantas Inc dan pemerintah tidak bersalah dalam kasus lumpur Lapindo Padahal, dalam standar pembuktian hukum acara perdata mestinya para hakim terikat oleh alat bukti dokumen otentik berupa hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus itu, yang menemukan sejumlah kesalahan dan pelanggaran kaidah teknik yang baik dalam pengeboran di sumur Banjar Panji 1 Porong Sidoarjo. Memanusiakan Manusia Pilpres 2009 berjalan damai. Tapi serangkaian kecurangan serta inkonstitusionalita s aturan serta penyelenggaraannya, telah mencederai demokrasi. Jalan yang diwarnai ketidakjujuran serta korupsi konstitusi itu mustahil mampu membawa perubahan yang diharapkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebohongan awal untuk mencapai tujuan akan melahirkan rangkaian kebohongan lain. Untuk mematahkan rangkaian kebohongan itu dibutuhkan kontrol yang kuat dari rakyat. Tapi apa bisa jika rakyat yang lemah itu telah terbius? Tampaknya penyelenggaraan negara yang berlabel demokrasi ini masih mewarisi dan membanggakan cara-cara kotor dan bohong seperti dicontohkan Ken Arok, Raden Wijaya, Gajah Mada, Sultan Hadiwijaya, Panembahan Senopati Sutawijaya, dan Suharto. Lalu membuahkan generasi politik mafioso kotor turun-temurun. Demokrasi Indonesia, kata Prof. Soehardjo, seharusnya bercirikan humanization of the people and the person (memanusiakan masyarakat dan memasyarakatkan manusia). Bukan membohongi masyarakat dan memasyarakatkan pembohongan. Sebagaimana sistem pendidikan kita, juga diracuni sistem liberal dan kapitalisme global, yang kemudian mewujud dalam tingkah laku demokrasi yang semakin menjadi tahayul itu. Demokrasi kita hanya kulit, jiwanya hampir punah. Bagi orang-orang yang tersisa, masih ada harapan mewujudkan bangsa bermoral melalui pendidikan alternatif yang progresif. Atau, jika tak ada lagi moral yang tersisa, siap-siap saja bangsa ini kehilangan negara, sebab politik tanpa moral akan melenyapkan kedaulatan rakyat dengan cara-cara bohong dan menipu. Tanpa kedaulatan rakyat, yang ada hanya negara palsu dan demokrasi palsu.