Gimana TNI gak selalu dirundung pilu luka nestapa tak putus mendera karena konon anggarannya setahun sekitar Rp 5 trilyunan, lebih kecil dpd dana bailout bank century yg Rp 6 trilyun lebih itu... Tabik.
Powered by Telkomsel BlackBerry® -----Original Message----- From: Satrio Arismunandar <satrioarismunan...@yahoo.com> TNI: Tak Putus Dirundung Malang Oleh: Ikrar Nusa Bhakti Sumber: Seputar Indonesia , Selasa, 08 September 2009 SEBAGAI seorang mantan murid dan asisten Prof Dr Juwono Sudarsono, saya amat memahami perasaan hati sang guru. Betapa pilu hati dan perasaan beliau karena di masa akhir baktinya sebagai menteri pertahanan RI untuk kedua kalinya ini Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang di bawah otoritasnya, bagaikan tak putus dirundung malang . Senin (7/9) siang kemarin, sekali lagi terjadi kecelakaan pesawat Nomad milik TNI AL—menewaskan empat orang. Pesawat ini dalam tugas menjaga pertahanan RI di wilayah Kalimantan Timur. Pesawat gagal kembali ke pangkalannya di Tarakan, Kalimantan Timur, sebuah kota yang dulu merupakan sasaran serangan Jepang pertama sebelum menjajah Indonesia . Ini merupakan kecelakaan berturut-turut yang dialami TNI pada kurun waktu enam bulan terakhir. Lagi-lagi kita bertanya, apa yang salah dalam pemeliharaan alutsista TNI kita? Alasan utama yang sering terlontar ialah anggaran TNI memang terlalu kecil. Bukan saja tidak cukup untuk memelihara kesiapan alutsista kita, terlebih lagi untuk memodernisasi kan peralatan tempur TNI. Anggaran pertahanan 2009 ini, yang sebesar Rp. 33,6 triliun, merupakan nomor tiga terbesar setelah anggaran Departemen Pendidikan Nasional. Dari angka itu, hanya Rp. 12,24 triliun yang benar-benar untuk fungsi pertahanan. Anggaran Pertahanan pada 2010 sekitar Rp. 40,6 triliun, atau nomor dua terbesar setelah anggaran pendidikan. Namun, untuk ukuran normal negara berkembang, angka itu masih terlalu kecil. Seharusnya masih dapat ditingkatkan menjadi 2,5% dari gross domestic product (GDP) Indonesia . Yang selalu menjadi pertanyaan, apakah anggaran itu cukup untuk membangun kekuatan TNI pada tahapan paling minimum (minimum essential force)? Jawabnya tentu saja tidak, karena untuk saat ini anggaran paling pas bagi TNI ialah sekitar Rp. 100 triliun, agar TNI dapat benar-benar membangun kekuatan pertahanan yang memadai untuk negara kepulauan sebesar Indonesia. Sayangnya, membangun postur TNI yang ideal selalu terkait dengan kapabilitas ekonomi negara. Dengan kata lain, ekonomi pertahanan lebih menentukan (anggaran menentukan kegiatan), ketimbang sebaliknya. Anggaran TNI akan selalu menjadi masalah jika pemerintah tidak melakukan terobosan jangka pendek untuk menembus kebuntuan mengenai anggaran pertahanan ini. Jika baru pada 2014, masa akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, pemerintah baru akan meningkatkan anggaran TNI menjadi sekitar Rp. 100 triliun, kita tak mungkin mengejar kemajuan percepatan pembangunan kekuatan pertahanan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Australia. Dalam kaji ulang pertahanan (strategic defence review) Australia 2009, tampak betapa Australia sudah memperhitungkan kemungkinan terjadinya perang besar di Asia -Pasifik pada 2038. Negara kita memang agak aneh, ditinjau dari cara pandang strategiknya. Meski dalam Undang- Undang Nomor 3/2002 tentang Pertahanan Negara dikatakan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state), strategi pertahanan yang berlaku masih belum berubah, yakni pertahanan pulau besar yang bertumpu pada matra darat. Padahal, sejak Deklarasi Djuanda mengenai Wawasan Nusantara dan diterimanya bentuk negara kepulauan di dalam UNCLOS 1982, harusnya sejak saat itu kita sudah ambil ancang-ancang untuk mengubah strategic culture kita dari fokus pada persoalan dalam negeri menjadi pertahanan untuk menghadapi invasi dari luar dalam bentuk apa pun. Gagasan untuk membangun kekuatan pertahanan lebih modern yang bertumpu pada matra laut, bukanlah impian semusim. Ini harus sudah mulai dipikirkan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang ke depan; jika kita tidak ingin mengulang kesalahan pemerintah kolonial Belanda pada 1940-an yang lebih fokus pada pertahanan Pulau Jawa, namun dapat dipreteli oleh Jepang melalui strategi serangan menduduki satu demi satu wilayah Indonesia,yang dimulai dari Tarakan. Kebijakan pertahanan ke depan yang bertumpu pada matra laut bukan berarti kita mengesampingkan betapa pentingnya pembangunan kekuatan matra darat dan udara.Titik persoalannya ialah bagaimana kita dapat membangun kekuatan gabungan TNI yang lebih ramping, efisien, dan efektif untuk dapat dimobilisasi dalam waktu yang amat singkat ke segala penjuru Tanah Air. Untuk mencapai tujuan itu, tak ada cara lain kecuali TNI harus benar-benar dapat melakukan kaji ulang strategis yang baik,bukan hanya di atas kertas, melainkan juga dapat diterapkan sesuai dengan daya dukung anggaran yang meningkat secara bertahap. Kaji ulang ini tidak harus didasari oleh pendekatan ancaman, melainkan melalui kapabilitas pertahanan yang paling cocok bagi negara kepulauan terbesar di dunia ini. Kaji ulang pertahanan strategik ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi menteri pertahanan RI yang baru, apakah berasal dari kalangan ilmuwan nonpartai seperti Dr Budi Susilo Soepandji yang kini menduduki jabatan Direktur Jenderal Potensi Pertahanan (Pothan) Departemen Pertahanan RI, ataukah kalangan politisi sipil seperti Theo L Sambuaga, ataukah dari kalangan mantan petinggi TNI seperti Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo dan mantan Panglima TNI Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto. Jika dilihat dari karakter Departemen Pertahanan sebagai institusi sipil, Budi Susilo Soepandji menduduki peringkat teratas sebagai kandidat menteri pertahanan 2009–2014. Amanat UU No 2/2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia perlu diselami dengan baik oleh para kandidat menteri pertahanan tersebut. Bangunan kekuatan TNI perlu mendapatkan perhatian utama agar pertahanan negara kita benar-benar mendekati tipe ideal. Realisasi dari amanat reformasi juga perlu mendapatkan perhatian, dari soal pengadilan sipil bagi anggota TNI yang melanggar hukum sipil, pengambilalihan bisnis TNI yang harus sudah selesai pada Oktober 2009 ini, sampai ke soal kontrol demokratik sipil terhadap TNI. Ini merupakan persoalanpersoalan krusial yang mau tidak mau harus berjalan seiring dengan menjadikan TNI kita sebagai kekuatan pertahanan yang profesional. Semua yang tertulis di atas tiada lain untuk kepentingan negara kita ke depan. Janganlah TNI yang kita cintai ini begitu lemahnya, baik dari segi keterampilan personelnya maupun kesiapan alutsistanya, sehingga apa yang dulu selalu berdampingan, diplomasi dan perjuangan, kini terasa sulit untuk diterapkan di lapangan. Di era Reformasi ini kita harus mulai menyimak kembali, mengapa kita yang dulu memiliki hard power dan soft power di Asia Tenggara, kini justru benar-benar terpuruk. Sebagai negara bangsa, kita harus mengakui, tiga tumpu kekuatan hard power, soft power dan smart power Indonesia saat ini amatlah lemah! (*) Satrio Arismunandar Executive Producer News Division, Trans TV, Lantai 3 Jl. Kapten P. Tendean Kav. 12 - 14 A, Jakarta 12790 Phone: 7917-7000, 7918-4544 ext. 4034, Fax: 79184558, 79184627 http://satrioarismunandar6.blogspot.com http://satrioarismunandar.multiply.com Verba volant scripta manent... (yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan abadi...)