Oleh EMMANUEL SUBANGUN
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/09/05212848/kaum.muda.menjadi.oposisi



Akhirnya anggota DPR hasil pemilu model campuran selesai. Meski masalah di 
sana-sini akan selalu muncul, ada satu jenis masalah yang sudah muncul dan 
tidak dapat dianggap sepi.

Masalah itu terkait dengan susunan kabinet yang baru dan komposisi anggota 
parlemen. Jika anggota kabinet berasal dari partai koalisi, dan mayoritas 
parlemen juga dari mayoritas itu pula, memang pantas dicemaskan apakah good 
governance dapat dijamin?

Dalam sistem demokrasi multipartai seperti sekarang, masalah seperti itu 
dimengerti sebagai soal ada tidaknya kekuatan oposisi yang kuat agar parlemen 
tak sekadar menjadi tukang stempel alias hanya mengiyakan kebijakan eksekutif.

Atau masalah ini tidak perlu dicemaskan karena kini soal transparansi sudah 
sedemikian meluas sehingga pengawasan terhadap pemerintah bukan saja menjadi 
ranah parlemen, tetapi juga masalah polity atau masyarakat politik, di mana 
peran media massa, lembaga masyarakat, dan lainnya menjadi penting.

Dengan kata lain, sepanjang masyarakat kita sudah terbuka seperti sekarang, 
otoritarianisme dengan sendirinya menjadi masa lalu. Apalagi, melihat komposisi 
demografis DPR sekarang, mayoritas adalah kaum muda dan berpendidikan tinggi 
sehingga jika diandaikan "muda dan terdidik" sama dengan kritis dan dewasa, 
kecemasan akan pemerintah yang salah urus dapat ditepis.

Kaum muda

Seluruh masalah itu akan tampak lain jika kita melihat perkembangan politik di 
Tanah Air sekarang tidak dari kacamata formal, kelembagaan, dan di permukaan.

Artinya, jika kita lihat, pertama, anggota DPR adalah anggota partai. Jadi, 
mereka mewakili kelompok kepentingan politik yang berbeda.

Kedua, kepentingan dan rumusan masalah DPR tentu berbeda dengan kepentingan dan 
rumusan masalah pemerintah. Maka, soal di atas akan berbunyi lain. Masalah 
oposisi dan turunannya akan hilang dan menjadi rancu justru karena dua 
pengandaian di atas adalah hal yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Mengapa? Pertama, partai politik dalam keadaan sekarang belum merupakan wujud 
kristalisasi kepentingan rakyat. Hal ini dapat dilihat dari mudah pindahnya 
anggota partai yang satu ke partai lain.

Kedua, jika DPR atau pemerintah tidak diletakkan dalam arti fungsi negara, 
tetapi dipahami sebagai bagian dari birokrasi, aneka tarik-menarik antardua 
lembaga negara itu sebenarnya tidak akan pernah bersangkut soal substansial. 
Dengan kata lain, jika fungsi pemerintahan adalah demi menjadikan perumusan 
kebijakan itu diarahkan untuk menjamin tata keadilan bagi semua warga dalam 
semua segi (ekonomi, hukum, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya), justru hal 
semacam itulah batu uji yang sangat sulit ditempuh.

Jadi, pertanyaannya bukan soal ada tidaknya oposisi, tetapi masalah hasil 
pemilu yang lalu harus dimengerti dan dibingkai dalam pertanyaan "apakah 
kebijakan politik yang dilahirkan baik dalam proses maupun dalam hasil akan 
mampu menjamin masyarakat yang lebih adil dan sejahtera?"

Dalam kaitan dengan masalah itu, soal kaum muda yang tampil dalam pimpinan 
politik, baik di DPR maupun di pemerintahan lalu, menjadi mendesak.

Dinilai lebih

Sudah menjadi kebiasaan kita, orang muda dianggap lebih maju, lebih baik, dan 
lebih cerdas dari generasi sebelumnya. Kita mengenal pemujaan orang muda sejak 
masa revolusi sampai masa reformasi karena paling tidak korban yang jatuh pada 
setiap kejadian politik yang penting adalah orang muda, mahasiswa, atau 
kelompok muda yang lain.

Dan di kalangan orang muda juga ada sejenis mitos bahwa orang tua itu hanya 
bisa menoleh ke masa silam serta takut berubah. Pendek kata, muda, terdidik, 
dan modern adalah satu kata, perubahan!

Pertanyaannya kini, apakah semua kelompok muda akan mampu menjamin perubahan 
yang diperlukan ketika mereka secara nyata menempati public office yang mereka 
tuntut selama ini? Mereka bukan lagi DPR jalanan, tetapi sudah DPR beneran. 
Mereka bukan lagi pemerintahan bayangan, tetapi sebenarnya duduk di birokrasi 
dan di jabatan tinggi lain. Apakah orang muda Indonesia, yakni mereka yang 
lahir tahun 1960-an, mampu memimpin Indonesia mengarungi abad XXI?

Dua hal inilah yang akan menjadi penentu atas masalah-masalah itu.

Pertama, betapapun Anda muda, Anda sepenuhnya tak lain adalah produk sistem 
pendidikan yang diciptakan oleh pemerintah lama. Artinya, gaya bisa muda, 
tetapi acuan, nilai, perilaku, dan mimpi tidak akan jauh dari masa lalu. Kata 
pepatah, "setinggi-tinggi bangau terbang, akan kembali pula ke comberan".

Kedua, aneka masalah abad XXI bukan lagi masalah abad XX. Abad XX cukup sesak 
dengan soal nasionalisme, pembangunan, demokratisasi, dan sebagainya. Namun, 
abad XXI, dengan lahirnya watak krisis di seluruh bumi, akan menentukan 
kemampuan yang lebih dari apa yang selama ini kita kenal. Para pendiri bangsa 
adalah tokoh-tokoh besar dan lazimnya mereka kandas di pergolakan dunia paruh 
dua abad XX. Lalu apakah kaum muda kita kini akan mampu mengangkat kepala, 
pikiran, kemampuan, dan kebesaran jiwa lebih dari para pendiri bangsa?

EMMANUEL SUBANGUN Sosiolog

Kirim email ke