ada banyak titik temu jenis makanan di berbagai negeri di asia tenggara. setiuap suku, setiap bangsa bisa dan dapat melakukan klaim. tapi, yang utama, adalah bagaimana menjaga kualitas. yang sering membuat saya sedih adalah banyak warung dan keluarga yang dulu piawai dan kondang karena mengelola berbagai jenis makanan lokal, misalnya di banten-serang, kini kian punah. mereka ada juga yang masih melanjutkan. tapi, kualitasnya kian menurun. bayangkan untuk hal-hal yang nampak kecil namun prinsipiil saja begitu banyak keluarga lalu meninggalkannya. contohnya pembungkus untuk sate bantdeng dari banten yang kondang itu, kini dibungkus oleh kertas. tapi, di beberapa daerah masih saya temui warung dan keluarga yanag selama 30-an tahun dengan kualitas yang yahuud. dari merekalah kita bisa berharap makanan lokal tetap terjaga. yang ironis, instansi yang mengurusi soal itu, pariwisata, lebih melihat sesuatu dengan perspektif glamour. lihata saja informasi mereka; tak pernah menunjuk warung seperti di solo yang begitu banyak, demikian juga kota dan daerah lainnya. singkat kata, yang perlu kita tegaskan, kita berhadapan dengan warga dunia yang ingin tahu dan rasa ingin tahu itu bukan sekedar singgah. tapi, pelacakan kepada hal yang lebih hakiki: melalui makanan kita bertemu dan menganggap sebagai warga dunia yang saling mengenal melalui lidah; dan lidah inilah yang perlu dijaga melalui kualitas, mutu.
________________________________ From: Zulkifli Harahap <zulk_...@yahoo.com> To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com Sent: Fri, October 2, 2009 5:47:41 AM Subject: Re: [Forum-Pembaca-KOMPAS] malaysia lg malaysia lg... Masakan ini hampir semuanya ada di Sumatera. Karena dulu belum ada batas geopolitik yang seperti sekarang, apa yang ada di Sumatera pasti ada juga di Malaysia. Wajar kalau mereka juga mengakui makanan-makanan ini sebagai makanan asli (atau apalah namanya) mereka teristimewa mereka yang keturunan suku-suku yang berasal dari Hindia Belanda atau kerajaan-kerajaan yang pernah ada dulu di wilayah NKRI sekarang. Rendang juga bermacam-macam nama dan rasanya dan RENDANG PADANG merupakan salah satu di antaranya. "Tempoyak" di Sumbagsel disebut "joruk" di daerah saya (Tapsel), lalu apakah harus diperdebatkan makanan yang terbuat dari durian yang "masuk angin dan takberharga" (sudah kehilangan kandungan alkoholnya) dan yang diasamkan ini milik suku mana? Di Sumatera Timur ada namanya lauk yang disebut "pajri" yaitu nenas yang dimasak dengan gula merah ditambah kecap dan dibumbui dengan cengkel disebut sebagai lauk dari suku Melayu dan ini merupakan lauk yang harus ada di setiap perhelatan. Demikian juga dengan acar timun dengan pelumur yang terbuat dari kacang yang digiling ditambah irisan bawang merah dan perasan asam jeruk yang juga khas Melayu. Di Medan banyak kita jumpai restoran yang beranak-etiket "masakan padang/melayu" yang menghidangkan masakan yang biasa disajikan di daerah Sumbar dan Sumatera Timur (dan Malaysia tentunya) dan belum pernah saya jumpai "Indonesia/Malaysia ." Jadi masakan itu merupakan milik suku tertentu dan yang diakui oleh Malaysia sebagai milik mereka tentu saja benar karena di sana pasti ada keturunan segala suku yang ada di Indonesia. Di Medan tidak dikenal "martabak telor" alih-alih "martabak keling" karena mayoritas penjualnya ialah mereka yang berasal dari suku Keling [suku berkulit hitam yang berasal dari India Selatan (Madras)] atau "martabak mesir" jika disediakan oleh kedai yang dimiliki oleh suku Minangkabau. " Karena selama ini suku-suku yang sudah biasa memakan "terasi" atau "blacan" tidak penah saling mengakui makanan itu milik suku mana, mengapa kita mempertentangkan itu termasuk Malaysia dan ini termasuk Indonesia? Zul