Bandar Emas Hitam di Sekitar Penguasa Harian Kontan, 16 Oktober 2009
Herry Gunawan, Penulis dan periset, tinggal di Jakarta Ada yang menarik dalam lingkungan kekuasaan kali ini. Para bandar alias pengusaha besar di sektor batubara, khususnya di kelompok papan atas, ternyata memiliki keterkaitan dengan lingkaran kekuasaan, secara langsung maupun tidak. Atau bisa juga karena kebetulan, sehingga menjadi fenomena menarik. Sebut saja Aburizal Bakrie, pemilik PT Bumi Resources, perusahaan batubara terbesar di tanah ail dengan perkiraan aset di atas Rp 25 triliun, menang dalam pemilihan Ketua Umum Golkar periode 2009-2015. Kemenangan Bakrie menasbihkan Golkar sebagai bagian pemerintah. Bahkan, seperti diberitakan sejumlah media, Bakrie sudah menyorongkan tiga nama calon menteri ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Vang lainnya adalah PT Indika Energy. Perusahaan milik keluarga konglomerat di era Soeharto, yaitu Sudwikatmono, ini juga tercatat sebagai pemilik PT Petrosea. Dengan tambahan kepemilikan di Petrosea ini, Indika yang konsentrasi di sektor energi menjadi perusahaan pertambangan batubara terbesar ketiga di Indonesia Ada yang menarik dari perusahaan yang dikendalikan Agus Lasmono, putra Sudwikatmono, itu. Di Indika, yang menjadi payung utama bisnis Agus Lasmono, Muhammad Chatib Basri tercatat sebagai komisaris independen. Chatib Basri dikenal dekat dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan wakil presiden terpilih, Boediono. Bahkan, nama Chatib Basri termaktub sebagai anggota tim sukses SBY-Boediono pada pemilihan presiden lalu. Kini, dia disebut-sebut sebagai salah satu kandidat menteri. Begitu pula yang terjadi di Petrosea, anak perusahaan Indika. Di perusahaan tersebut, tercatat nama Anis Baswedan sebagai komisaris independen. Rektor Universitas Paramadina ini juga disebut-sebut sebagai salah satu kandidat menteri. Selanjutnya ada PT Adaro Energy. Perusahaan milik para mantan panglima Astra seperti Teddy Rahmat, Benny Subianto, dan keluarga Thohir ini juga memiliki relasi dengan kekuasaan sekarang. Djoko Suyanto, mantan Panglima TNI yang merupakan Wakil Ketua Tim Sukses SBY-Boediono adalah komisaris di perusahaan yang dikomandani Boy Garibaldi Thohir itu. Boy sendiri bendahara dalam tim kampanye. Lalu, apa yang salah dari kedekatan itu? Tentu tidak ada Peristiwa tersebut bisa saja dipahami sebagai fenomena biasa atau kebetulan. Tapi, tak salah juga jika ada pertanyaan mungkinkah mereka yang di lingkaran kekuasaan itu menjadi "utusan" demi kepentingan korporat di mana mereka berteduh? Perlu diingat, industri pertambangan batubara merupakan bisnis yang eksotis. Bahkan, lembaga sebesar PricewaterhouseCoop ers mencatat, transaksi di bisnis ini sepanjang 2007 mencapai USS 1,85 miliar. Selain itu, bisnis batubara selalu menjadi "buah bibir", bahkan kerap menimbulkan pro-kontra. Harus mewaspadai Menarik untuk mencermati fenomena ini. Kita berharap, kehadiran mereka dalam lingkaran ke-kuasaan tidak mempengaruhi secara negatif kebijakan pemerintah di bidang pertambangan. Ini harus benar-benar kita jaga Jangan sampai, kisah yang disampaikan John Perkins menjadi sebuah kenyataan pahit. Dalam Confession of an Economic Hitman yang diindonesiakan menjadi "Pengakuan Bandit Ekonomi" (2007), Perkins menyebutkan setidaknya ada dua model cara korupsi di Indonesia Pertama, dengan cara membeli alat atau mengalihkan kontrak kepada kroni kekuasaan. Sudah pasti dengan harga di atas normal. Kedua, memberikan kenikmatan kepada kroni kekuasaan. Caranya, mulai dari memberi jabatan atau menunjuknya menjadi "konsultan-konsulta nan". Tentu saja kedua modus ini memiliki satu tujuan mempengaruhi kekuasaan untuk kepentingan korporat. Semoga saja, rencana pemerintah saat ini untuk memangkas pembayaran royalti produksi batubara, bukan bagian dari skenario yang disebut Perkins itu. Kalau itu terjadi, tentu sejalan juga dengan sinyalemen yang disampaikan Amien Rais dalam buku "Selamatkan Indonesia" (2008). Buku itu bercerita tentang bahaya korporatokrasi. Siluman korporat masuk ke dalam birokrasi dan negara menjadi alat kepentingan para pemilik korporat besar. Kita tentu harus mewaspadai kemungkinan seperti itu. Apalagi bisnis batubara merupakan bisnis yang empuk. Tinggal mengambil di alam kemudian bisa menjualnya, tak peduli dengan kerusakan alam yang terjadi. Hal tersebut patut menjadi perhatian serius pemerintahan SBY-Boediono. Jangan sampai para pemimpin negara itu tidak menyadari bahaya laten di sekitarnya. Bisa saja mereka memaparkan sejuta dalil kebaikan, tapi di balik itu ada niat kurang baik. Lagi pula, sungguh sayang bila kemenangan SBY-Boediono di atas 50% pada pemilihan presiden beberapa waktu lalu, menjadi ternoda. Pilihan mayoritas rakyat Indonesia itu memperlihatkan besarnya harapan yang ditumpukan terhadap keduanya. [Non-text portions of this message have been removed]