Sebenarnya dari awal sudah kelihatan dengan jelas bahwa ledakan di Bone, Sulawesi Selatan, pada 8 Oktober 2009 lalu, disebabkan oleh masuknya benda langit yang kemudian berubah menjadi meteor besar, atau dalam terminologi astronomi dinamakan fireball. Fireball ini sejenis meteor yang memiliki kecemerlangan cukup besar hingga melampaui kecemerlangan planet Venus, alias memiliki magnitude visual melebihi -4 (minus 4) sehingga ia bisa terlihat dengan jelas di siang hari bolong. Jika kecemerlangannya sangat tinggi sehingga menyamai atau melebihi kecemrlangan cahaya Bulan pada fase purnama, maka fireball itu dinamakan superfireball, atau dalam istilah yang biasa digunakan kalangan geolog, dinamakan bolide. Jadi harap dibedakan fireball ini dengan istilah fireball yang digunakan dalam fisika (khususnya fisika plasma) yang lebih cenderung menerjemahkannya sebagai "bola api ledakan."
Nah kenapa ledakan di Bone dengan mudah bisa dipastikan sebagai fireball? Indikasinya sederhana saja. Ada cahaya di langit, yang diikuti dengan jejak asap lurus yang kemudian berkelok-kelok. Jejak asap lurus ini biasa diistilahkan sebagai "train", dan muncul sebagai akibat dari kondensasi partikel-partikel yang dihamburkan dari permukaan fireball (akibat panas tinggi) oleh atmnosfer Bumi sehingga membentuk awan pada ketinggian > 60 km. Awan jenis ini juga yang teramati misalnya dalam kejadian fireball Tagish Lake (Januari 2000) di Canada, ataupun fireball asteroid 2008 TC3 (Oktober 2008) di Sudan. Yang kedua, asap itu kemudian diikuti dengan suara bergemuruh, yang jelas sekali menunjukkan tanda-tanda dentuman sonik (sonic boom), yang terjadi akibat melintasnya sebuah obyek melebihi kecepatan suara. Ada 3 - 4 dentuman sonik yang terjadi, sehingga terdapat kesan ada 3 - 4 obyek yang melintas. Dengan hanya satu jejak asap yang terlihat sementara ada 3 - 4 obyek didalamnya, mengesankan bahwa fireball tersebut berukuran besar sehingga terfragmentasi pada ketinggian tertentu di atmosfer.Sehingga terjadi konversi dari energi fireball menjadi energi akustik (suara), dimana efisiensi konversi tersebut hanya sebesar 0,1 %. Yang ketiga, dentuman sonik itu diikuti dengan getaran di tanah alias ground shaking. Ini juga fenomena yang hanya bisa disebabkan oleh fireball. Getaran di tanah disebabkan oleh konversi energi akustik menjadi energi seismik sehingga membentuk gelombang permukaan (alias gelombang Rayleigh) yang kemudian menjalar ke segenap arah. Sehingga gelombang itu memang identik dengan gelombang gempa bumi, terkecuali jikalau kita melihat rekaman seismogram dan akan menyaksikan bahwa gelombang tersebut sedikit berbeda karena tidak didului gelombang P (primer) atau gelombang S (sekunder). Gelombang Rayleigh ini penjalarannya lambat dan panjang gelombangnya besar, dan dalam seismologi dikenals ebagai gelombang perusak karena gelombang inilah yang sebenarnya berperan penting dalam kerusakan akibat gempa. Nah konversi energi akustik ke seismik berkisar antara 0,01 - 0,00001 %. Dengan konversi sekecil itu dan sifatnya kaskade (bertingkat), dari energi ke akustik dan dari akustik ke seismik, maka jelas dibutuhkan energi awal yang besar dan itu hanya dimiliki oleh fireball. Manuver pesawat supersonik, jatuhnya sampah antariksa maupun gerakan roket takkan sanggup menciptakan fenomena itu karena kecilnya enertgi kinetik mereka. Nah analisis infrasonik dari 12 stasiun infrasonik dilengkapi microbarometer dalam jejaring pemantauan CTBT (Comprehensive Test Ban Treaty) alias jejaring pemantau ujicoba nuklir yang diawasi PBB (dan semua stasiun ini ada di luar Indonesia) menunjukkan ledakan Bone merupakan fireball dengan energi 60 kiloton TNT alias 3 kali lipat lebih dahsyat ketimbang bom Hiroshima. Jika menggunakan basis kecepatan rata-rata meteor yang jatuh ke Bumi sebesar 20,3 km/detik maka fireball ini semula merupakan asteroid mini dengan massa 1.200 ton dan berdiameter 6,6 - 9,2 meter, tergantung apakah tersusun oleh besi (siderit) atau batuan (kondritik atau karbon kondiritik atau akondrit). Ketika masuk ke atmosfer Bumi, ia memiliki kecemerlangan sebesar -13,3 alias 1,66 kali lipat lebih terang dibanding Bulan purnama! Sehingga jika ia jatuhnya pas malam hari, penduduk Bone dan sekitarnya akan melihat langit yang terang benderang dalam sekejap melebihi terangnya Bulan. Fireball ini dipastikan mengalami fragmentasi pada ketinggian rendah, ditandai dengan rasio konversi energi akustik ke seismik yang berharga sekitar 0,01% sehingga BMKG sempat merekam getaran seismiknya sebagai gempa dengan magnitude (surface magnitude ?) 1,9 skala Richter. Dan dengan magnitude visual melebihi -8 hingga -10, maka fireball ini sangat besar kemungkinannya masih tersisa sebagai meteorit yang kemungkinan jatuh di daerah pantai atau pesisir perbatasan Bone dan Wajo. Rata-rata tiap 5 tahun sekali fireball berdiameter ~10-an meter ini akan jatuh ke Bumi, namun statistik menunjukkan hanya 2 % kejadian saja yang masih menyisakan meteorit berukuran besar dan membentuk kawah tumbukan di permukaan Bumi, misalnya dalam kejadian terbentuknya kawah meteorit Wabar (Saudi Arabia) 150 tahun silam yang membentuk kawah bergaris tengah 120 meter, ataupun terbentuknya kawah meteorit Sikhote-Alin (Rusia Timur) yang terdiri dari 100 kawah dengan diameter kawah terbesar 27 meter pada 1947. Terakhir kejadian yang mirip terjadi di Carancas, Peru, pada 15 September 2007, yang berhasil membentuk kawah bergaris tengah 14 meter. Kejadian fireball yang signifikan terakhir terjadi tepat setahun silam, ketika asteroid 2008 TC3 terdeteksi hanya 37 jam sebelum jatuh ke wilayah Sudan dan merupakan asteroid pertama yang berhasil dilacak jejaknya sebelum jatuh. Untuk asteroid Bone, sayangnya tidak ada jaringan teleskop pemantau seperti LINEAR, LONEOS, NEAT dll yang melaporkan pendeteksiannya sebelum ia memasuki atmosfer Bumi, demikian juga tidak ada satelit seperti METEOSAT yang melaporkan kejadiannya ketika ia mulai masuk ke atmosfer. Mendeteksi obyek dengan diameter ~10 meter memang masih sangat sulit untuk resolusi jaringan teleskop tersebut yang sampai saat ini masih bertahan pada limit 30 meter. Nah apa artinya dari kejadian ini? Sebenarnya frekuensi kejadian fireball cukup sering di Bumi. Statistik menunjukkan tiap 20 jam sekali sebuah fireball nampak di Bumi, hanya karena 80 % permukaan Bumi adalah laut, kita yang ada di daratan memiliki peluang yang kecil untuk melihat fireball. Rata-rata tiap 5 tahun sekali obyek dengan diameter ~10 m itu masuk ke atmosfer Bumi dan sejauh ini sealu terjadi di daerah yang jauh dari pusat pemukiman. Salam, Ma'rufin ________________________________ From: Ahmad Irfan <ach...@gmail.com> To: astronomi_indone...@yahoogroups.com Sent: Wed, October 28, 2009 12:05:24 PM Subject: Re: [astronomi_indonesia] Ledakan Bone Ada infonya di tribun-timur. .. http://tribun-timur.com/read/artikel/54726 ------------ --------- Makassar, Tribun - Sumber ledakan dahsyat yang menggemparkan warga Bone, Sinjai, Wajo, hingga Kolaka di Sulawesi Tenggara (Sultra), Kamis (8/10) lalu, akhirnya secara resmi diungkap oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa nasional (LAPAN). Pakar astronomi dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Dr Thomas Djamaluddin, di Jakarta, Senin (27/10), menyebutkan, sumber ledakan adalah efek asrtonomi dari jatuhnya benda meteorit dari asteroid yang meledak di lapisan atmospher paling dasar bumi antara stratosphere (40 km dari bumi) dan troposphere (ketinggian 10 km dari permukaan bumi). Benda meteor kecil yang kemudian diistilahkan dengan Meteor Bone ini berdiameter sekitar 10 meter persegi. Sementara meteor yang besarnya dibawah 25 meter persegi diistilahkan dengan unidentified meteorit. "Ledakan terjadi karena tekanan atmosfer menyebabkan pelepasan energi yang cukup besar, di mana kecepatan jatuh meteorit tersebut sekitar 20,3 km per detik atau 73.080 km per jam," kata Thomas yang melansir identifikasinya ini setelah mendapatkan konfirmasi dari 12 stasiun luar angkasa. Analisis ledakan menunjukkan bahwa kekuatan ledakan sekitar 50 kiloton TNT (Trinitrotoluena) . Sinyal ledakan tersebut juga mencapai stratosfer yang tingginya lebih dari 20 km. Dengan kekuatan 50 kiloton, jika ledakan ini sampai ke bumi, maka efeknya kira-kira nyaris empat kali lipat dengan bom atom yang dijatuhkan tentara sekutu di dua kota strategis Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, pada tahun 1945. Sekadar ilustrasi, bom berjuluk The Little Boy Atomic Bomb (6 Agustus 1945), seperti dilansir wikipedia, meledak dengan kekuatan energi 15 kilotons of TNT (ΓΏ 6.3 x 1.013 joules). Hasil temuan LAPAN dilansir setelah mendapat konfirmasi resmi, hampir tiga pekan setelah kejadian. Thomas yang juga dikenal sebagai ahli astronomi ini menyebutkan, dari hasil indetifikasi sistem pemantau internasional untuk larangan percobaan nuklir dari 11 stasiun pemantau di dunia lainnya, telah terdeteksi adanya ledakan besar yang berpusat di sekitar lintang 4,5 LS dan bujur 120 BT, sekitar pukul 11:00 wita pada 8 Oktober. Namun kebanyakan asteroid yang jatuh tidak menyebabkan kerusakan di bumi kecuali diameternya mencapai lebih dari 25 meter persegi. Menurut Thomas, berdasarkan perkiraan sebaran meteoroid-asteroid di antariksa dekat bumi, objek seperti itu punya kemungkinan jatuh di bumi setiap dua sampai 12 tahun. Keterangan resmi LAPAN ini sekaligus menepis sejumlah spekulasi yang muncul soal pemicu ledakan yang menhebohkan. Sejumlah saksi mengaku sempat melihat benda memancarkan api dan asap di udara. Namun informasi yang beredar simpang siur, kebanyakan mengira ledakan itu merupakan ledakan pesawat jet tempur Sukhoi (Sonic Boom) yang sedang melakukan latihan dari markasnya di Skadron Udara 11 Pangkalan Udara Sultan Hassanuddin, Makassar. Sedangkan Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) IV Makassar sempat mengaku telah terjadi gempa kecil sebesar 1,9 skala Richter (SR) di permukaan di perbatasan Kabupaten Bone dan Wajo, di mana di wilayah tersebut terdapat Patahan Saddang. Warga lainnya menyebutkan ledakan yang sempat menimbulkan getaran di darat tersebut disebabkan aksi bom ikan yang dilakukan nelayan setempat. Namun ada pula warga yang telah menduga bahwa benda tersebut adalah meteorit. Letupan mesin jet supersonic yang membahana menciptakan suara seperti ledakan. Lalu disertai getaran akibat gelombang udara. Gelombang udara itu muncul akibat entakan tubuh dan daya dorong mesin Misteri ledakan keras juga sempat dikaitkan dengan latihan enam pesawat tempur milik TNI Angkatan Udara. Komandan Lanud TNI AU Sultan Hasanuddin, Marsekal Pertama TNI Ida Bagus Putu Dunia mengatakan dua pesawat Sukhoi dalam latihan tersebut terbang pada ketinggian 10 sampai 30 ribu kaki di angkasa. "Tapi kecepatannya tidak sampai melebihi kecepatan suara," katanya saat dikonfirmasi wartawan, sehari setelah kejadian. Panik Ledakan besar tersebut sempat membuat warga berhamburan keluar rumah dan saling bertanya-tanya tentang ledakan tersebut. Ledakan tersebut juga menimbulkan getaran yang kian membuat warga panik. Sejumlah siswa di SMAN 4 Watampone jatuh pingsan karena suara ledakan tersebut. Salah seorang guru setempat, Abidin, sempat memotret gumpalan asap di langit usai ledakan tersebut dengan kamera ponsel. "Gumpalan asap itu persis di sumber ledakan karena sebelumnya terlihat percikan api yang besar," kata Andi Hermanto, saksi mata lainnya yang sedang berada d SMAN 4 Watampone. Tidak hanya di sekolah tersebut, para guru terpaksa memulangkan para siswa karena khawatir getaran akan menimbulkan gempa. Kepanikan warga sangat beralasan, karena bunyi ledakan yang sangat keras beberapa kali dan terlihat kepulan asap putih membumbung di langit Bone. Dari informasi yang dihimpun, sesaat setelah terjadinya ledakan misterius tersebut warga di Desa Pallime, Kecamatan Cenrana yang berdampingan dengan laut ramai-ramai mengungsi ke desa tetangga. Begitupun yang terjadi di daerah yang berada dipesisir pantai seperti dibeberapa kelurahan yang ada dikecamatan Tanete Riattang Timur, Kajuara, Sibulue, dan Tonra. Sebagian saksi mata menganggap kalau ledakan itu adalah sebuah meteor yang jatuh dari langit sehingga menimbulkan ledakan yang cukup keras. "Demi Allah, saya lihat dengan mata kepala sendiri. Awalnya saya kaget karena seperti bayangan kilatan matahari di baju saya (kaos putih), ketika melihat ke atas, saya melihat seperti meteor yang diselimuti api bergerak cepat ke bawah setelah itu hilang dan timbul kepulan asap tebal,"kata Firdaus (29), warga Jl Sukawati Watampone . Isu Meteor Isu bahwa empat ledakan yang terjadi di Bone disebabkan oleh adanya semacam meteor lebih kuat dibandingkan dengan isu bahwa ledakan disebabkan oleh pesawat jatuh. Pasalnya, salah seorang anggota Polres Bone yang ikut dalam pencarian sumber ledakan karena diduga ada pesawat jatuh mendapatkan pesan singkat atau SMS dari kerabatnya di Kendari, Sulawesi Tenggara. Seorang bocah berusia 10 tahun, putra anggota Polres Bone bernama Briptu Agus, juga menelpon ayahnya karena takut melihat api di langit. Wartawan yang saat itu sedang meliput di Bone, mendapatkan informasi dari Briptu Agus, bahwa anaknya menelepon sambil menangis karena ketakutan melihat api dan ledakan dari langit.(ans/ zil)http://tribun-timur.com/read/artikel/54725 [Non-text portions of this message have been removed]