Apa yang terjadi dengan curah rasa Kapolri dan Kabareskrim di Komisi III DPR sungguh menjadi icon bagaimana Indonesia telah menajdi sebuah negara demokrasi. Fakta yang disampaikan oleh Kapolri jelas memporakporandakan memori publik.
Namun di sisi lain, setelah acara itu, seperti sudah diduga sebelumnya, argumentais dan fakta tandingan muncul. Kini, publik dituntut cerdas untuk mengolah informasi yang berseliweran. kayaknya, budaya organisasi Polri mirip dengan budaya organisasi birokrasi yang lain. Organisasi dijalankan dengan prosedur dan kekuasaan. Formal dan prosedural. Sistem ini menuntut dignity dan integrity para pelaku birokrasi. Bila tidak maka penyalahgunaan kekuasaan akan mudah terjadi, apalagi lack of control. secara berjenjang, kepemimpinan yang lemah didukung oleh subordinate yang lemah. Akibatnya, informasi yang tidak cerdas dan akurat mendukung keputusan pimpinan. Lingkungan organisasi semacam itu, menjadi tempat yang subur bagi kemunculan perilaku-perilaku individu yang ber-sistem nilai asal bapak senang, penjilat, pembohong. Alm Rudini pernah menandainya sebagai lingkungan org dimana orangnya berperialku katak. Artinya, untuk maju ke depan, dia butuh sikut kanan dan kiri serta menjejak yang dibawahnya. Jadi, berbicara reformasi birokrasi, pasti dimulai dari pimpinannya, karakter kepemimpinan pimpinannya. Leader creates leader. Cecunguk creates cecunguk. Demikianlah hukum alam itu. Ali Sadiking ketika mulia mengobrak-abrik DKI, dia tidak hanya berbicara tetapi juga beraksi langsung untuk Ing Ngarso Sung Tulodho. Misal turun sendiri ke jalan ketika pada saat itu banyak sopir bis kota ugal- ugalan. Juga, penyederhanaan protokoler dengan memberi contoh dimana sebuah wilayah pada saat itu kalang kabut karena acaranya berantakan ketika Ali Sadikin membuabarkan acara protokoler. Lihat pula reformasi birokrasi yang sedang terjadi di Dept Keuangan. Mengapa itu tidak terjadi di tempat lain? Apakah reformasi birokrasi akan terjadi di dept yang dipimpipn oleh PA? Jawaban atas pertanyaan itu menjelaskan arti pentingnya staffing, transformational leader. Demikian banyak contoh kepemimpinan Indonesia yang bisa diambil sebagai contoh Apa yang kita lihat sekarang ini melalui kasus BSR & CMH , blessing in disguised, kalau tidak ada yang menyalip di tikungan lagi (baca:mempertahankan status quo), niscaya akan menjadi enerji untuk pembongkaran dan perombakan sistem nilai negatif di birokrasi. Tidak perlu khawatir dengan pembentukan opini Kapolri di Komisi III. Seperti kata Efendi Gazali di Metro, pembentukan opini total itu memberi pelajaran mengenai dua lingkungan sekaligus. Pertama lingkungan Polri yang ternyata, seperti kita lihat reaksi berikutnya di media yang merupkana pukulan balik. Misal, wawancara Najiwa dengan Ary Muladi yang sangat detil dan secara total membantu publik untuk membaca peta situasi lebih baik dengan mencocokan ke rekaman di MK. Demikian pula secara berulang berbagai media selalu mengulang butir-butir penting dalam setiap wawancara untuk menguji konsistensi dan kebenaran.yang menjungkir balikkan semua penjelasan Kapolri. Juga, dialog Edi Sumarsono yang memberi puzzlu informasi untuk melengkapi gambaran situasi yang konsisten . ang terakhir konferensi pers tim pembela BSR & CMH yang secara analitik dan sistematik menjugkirbalikkan argumentasi yang dibangun oleh Kapolri. Tidak bisa membayangkan bagaimana kalau,pengadilan BSR & CMH itu nanti digelar dan publik sudah mendapat informasi luar biasa. Di Amerika Latin pada tahun sekitar 1990 an ada video bagus mengenai Hakim Ke Tigabelas. Diceroitakan bahwa dalam sebuah pengadilan ada dua belas hakim. Namun, seperti cerita klasik negara berkembang dimana masyarakat menjadi termarjinalkan untuk memperoleh keadilan, jadi ingat video Michael Jackson "They don't care about us", maka muncul haki ketiga belas yaitu rakyat yang melihat keadilan dari sisi mereka. Saya membayangkan bahwa situasi saat ini, dimana mereka yang bertumpu kepada dasar huku yang legalistik formal [ABN, TML, GL, AB, HY] harus berhadapan dengan rasa keadilan masyarakat yang menjadi hakim ketiga belas atau sepertti dalam film seri The Dark Justice ketika hukum formal sudah dirasakan tidak lagi memberi rasa keadilan. Mungkin si OC K perlu untuk menonton The Dark Justice dan The Thirteen Judge. Peranan pers dan media sungguh luar biasa membantu untuk membangun memori kolektif publik. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya keterbukaan yang dicanangkan oleh semangat reformasi 1998 itu tidak terjadi seperti saat ini. Jadi, biarkan saja Kapolri mengemukakan fakta dari sisinya dan biarkan pilar ke-empat demokrasi yang bekerja. Seperti kata ABN, kelanjutan reformasi 1998 itu adalah ketika pers, LSM, tokoh-tokoh yang berperan. Itulah masyarakat madani yang sesungguhnya. Yang perlu dicermati adalah perkataan ABN terlepas atau memang sengaja dilepas semalam di TV One bersama Karni Ilyas. ABN mengatakan bahwa kalau gelombang ketidakpercayaan masyarakat ini tidak dikelola maka tuntutan agar Kapolri dan Kajagung mundur itu nantinya akan bermuara pada tuntutan Presiden mundur. Ini seperti kisah 1998 yang pada awalnya hanya muncul tuntutan reformasi yang tidak jelas dengan maraknyademo, dan kemudian sudah direspon ole presiden dengan reshuffle kabinet namun tidak menurunkan tensi sampai akhirnya muncul kekerasan dan korban sehingga muncul rasa keadilan yang terkoyak yang memunculkan tuntutan Soeharto mundur yang menjadi bola salju yang terus menggelindhing hingga 21 Mei1998, " .....dengan ini, saya menyatakan untuk mengundurkan diri" Jelas sekali, pada saat itu, pemerintah sudah berusaha untuk merekayasa guna meredakan ketegangan, namun tidak berhasil dan bahwa semkain membara. Yang menjadi pertanyaan sekarang ada dua. Pertama, bagaimana situasi setelah pemanasan gelar perkara tim 8 yang diujungi oleh pengadilan terhadap BSR & CMH. Ke dua, bagaimana situasi bila pengadilan terhadap BSR &CMH digelar. Ada beberapa scenario yang mungkin terjadi sesuai dengan proses hukum yang berlaku, yaitu P19 menjadi P 21. Berarti pengadilan terhadap BSR & CMH digelar. Pros and Cons dibidang hukum akan terjadi dan akan semakin memanaskan situasi, kecuali pers dibungkam. P 19 tetap menjadi P19 dan tidak mungkin balik lagi (menurut ABN tidak boleh karena akan menandai ketidakpastian hukum), berarti akan muncul scenario baru dari cabang scenario ini . Jelas argumentasi yang dibangun oleh Kapolri berdasar fakta yang dikumpulkan oleh stafnya dan sudah disampaikan secara terbuka di komisi III DPR akan gugur. Bagaimana dengan kredibilitas Kapolri? Ini akan mengalihkan atau mengarahkan beban ke Presiden dan perhatian masyarakat akan tertuju kesana. Ini juga akan memberi sedikit waktu bagi Kajagung untuk bernafas lega, meskpun sementara. Namun demikian, apapun scenarionya, berbagai masalah besar akan terjadi setelah kemunculan scenario itu.. Apalagi setelah blunder dibuat oleh wapres dengan pernyataan bahwa Bank Mutiara sekarang sudah baik dan bisa dijual untuk mengganti bailout uang negara. Jelas sekali hiruk pikuk informasi sumber pertama dan analisis para pakar telah membuka berbagai kasus yangs elama ini ditabukan untuk dibicarakan ke publik. Sebut saja, misal kaitan antara Masara dengan Bagan Siapi-api, juga kaitan Joko Candra, demikian pula Century dan Artalita serta pejabat yang hadir di perkawinan anaknya Artalita yang juga dihadiri oleh Presiden. Kini ketambahan dengan Ong Yuliana Gunawan dan Anggodo yang bisa menjadi gate untuk membuka network ketidak beresan penyelenggaran negara olehmoknum-oknum pejabat. Semoga Anggodo yang sedang kelelahan tetap sehat dan mau membantu bangsa ini untuk mengobati dirinya. Dalam istilah Jawanya ":kalah cacak menang cacak", sudah terlanjur basah, lebih baik mati menjadi dikenang sebagai part of the solution dari pada mati menjadi part of the problem. Entah kalau ada kekuatan jahat yang sudah membuat scenario bagi mereka.