Beruntungnya Jadi Umat Akhir Zaman
Republika Online - Kita pun harus seperi rubah; mampu memanfaatkan posisi 
dengan baik, jeli melihat kesempatan, dan mau belajar dari kesalahan orang 
lain, hingga tidak terjerumus ke lubang yang sama.
Alkisah singa, serigala, dan rubah berburu bersama-sama. Mereka berhasil 
menangkap sapi gunung, kambing, dan kelinci gemuk. Meskipun singa merasa malu 
terlihat bersama srigala dan rubah, ia memaksakan diri untuk bergabung bersama 
mereka.
Sementara itu, serigala dan rubah menunggu singa membagikan hasil buruannya 
dengan adil. Namun, singa meminta serigala melakukan tugas membagikan hasil 
buruan. Serigala yang sudah merasa lapar, berkata, "Wahai raja hewan, sapi liar 
itu bagianmu. Aku akan memakan kambing dan rubah makan kelinci".
Singa marah sekali mendengarnya. Ia berkata pada serigala, "Lancang sekali kamu 
berkata demikian! Di depanku beraninya kamu berbicara tentang aku dan kamu!". 
Dengan satu pukulan saja, singa membunuh serigala.
Singa lalu berpaling pada rubah dan berkata, "Bagilah hasil buruan ini, lalu 
kita sarapan". 
Rubah yang pandai segera berkata, "Raja terbaik, sapi adalah untuk sarapanmu, 
kambing untuk makan siangmu, dan kelinci untuk makan malammu".
Singa sangat senang mendengar jawaban dari rubah. Ia berkata, "Rubah, kamu 
memang bijaksana. Pembagian buruan yang baik sekali. Kamu belajar dari mana?".
Rubah berkata, "Dari apa yang menimpa serigala". Ia pun berkata dalam hatinya, 
"Syukurlah sang singa bertanya kepadaku setelah kepada serigala. Kalau ia 
bertanya kepadaku lebih dahulu, aku pasti mengalami nasib yang sama dengan 
serigala". 
Allah SWT menakdirkan kita menjadi umat akhir zaman. Kita lahir, dibesarkan, 
dan insya Allah akan meninggal setelah Rasulullah SAW dan para sahabat. 
Sebenarnya ada "kerugian" dan juga "keuntungan" menjadi umat akhir zaman ini. 
Ruginya, kita tidak termasuk orang yang bertemu langsung dengan Rasul dan para 
sahabat, tidak bisa berjuang bersama mereka, dan juga tidak dapat merasakan 
lezatnya zaman keemasan yang dahulu pernah mereka bangun.
Namun, di balik "kerugian" tersebut ada banyak keuntungan yang dapat kita 
peroleh. Salah satunya kita bisa mencontoh amal-amal baik yang dilakukan umat 
terdahulu untuk kita amalkan sekarang. Tentu, kita pun bisa belajar dari 
kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan, sehingga kita tidak mengulangi 
kesalahan serupa saat. 
Bahkan, ada satu nilai plus yang tidak dimiliki para sahabat. Mereka beriman 
karena bertemu langsung dengan Rasulullah SAW. Setiap tindak tanduknya ada 
dibimbing langsung oleh beliau. Sangat wajar bila mereka beriman. Sedangkan 
kita, umat akhir zaman, tidak pernah bertemu langsung dengan beliau. Kita hanya 
membaca dari kisah dan shirah nabawiyyah. Maka, sungguh luar biasa bila manusia 
akhir zaman beriman pada beliau dalam segala dimensi kehidupannya. 
Umar bin Khatthab pernah berkisah. Saya bersama Rasulullah SAW sedang 
duduk-duduk. Rasul SAW bertanya kepada para sahabat, "Katakan kepadaku, 
siapakah makhluk Allah yang paling besar imannya?" Para sahabat menjawab, "Para 
malaikat, wahai Rasul". Nabi SAW bersabda, "Tentu mereka demikian. Dan mereka 
berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah SWT telah 
memberikan mereka tempat".
Para sahabat menjawab lagi, "Para Nabi yang diberi kemuliaan oleh Allah SWT, 
wahai Rasul". Rasulullah SAW bersabda, "Tentu mereka demikian. Dan mereka 
berhak seperti itu. Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah SWT telah 
memberikan mereka tempat". 
"Wahai Rasul, para syuhada yang ikut bersyahid bersama para Nabi," jawab mereka 
kembali. Rasul bersabda, "Tentu mereka demikian. Dan mereka berhak seperti itu. 
Tidak ada yang bisa menghalangi itu, karena Allah SWT telah memberikan mereka 
tempat". 
"Lalu siapa, wahai Rasul?," tanya para sahabat. Lalu Nabi SAW bersabda, "Kaum 
yang hidup sesudahku. Mereka beriman kepadaku, dan mereka tidak pernah 
melihatku, mereka membenarkanku, dan mereka tidak pernah bertemu dengan aku. 
Mereka menemukan kertas yang menggantung, lalu mereka mengamalkan apa yang ada 
pada kertas itu. Maka, mereka-mereka itulah yang orang-orang yang paling utama 
di antara orang-orang yang beriman". Subhanallah!
Dari sudut pandang ini sebenarnya Allah SWT sangat memanjakan kita. Betapa 
tidak, kita tidak perlu bersusah payah mencari-cari kebenaran yang hakiki. 
Alquran sebagai sumber kebenaran telah ada di hadapan kita. Cara mengamalkannya 
telah diberikan oleh Rasulullah SAW lewat hadis dan sunnah-sunnahnya. Kalau 
belum lengkap, kita bisa melihat prilaku para sahabat, ulama, dan orang-orang 
saleh lainnya. Ajakan untuk berbuat kebaikan pun "berseliweran" di sekitar 
kita. Apa yang kurang? Tinggal kemauan untuk menggali dan mengeksplorasi saja 
yang kita perlukan. 
Allah SWT pun telah memberikan contoh bagaimana orang-orang yang ingkar. 
Gambaran kehancuran kaum-kaum yang menolak kebenaran ada di hadapan kita. Allah 
SWT berfirman, Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat 
(untuk menyerukan): "Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut itu, maka di antara 
umat itu ada orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang telah 
pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan bagaimana 
kesudahan orang-orang yang mendustakan." (QS An-Nahl [16]: 36).
Andaikan boleh berandai-andai. Tidak ada jaminan bagi kita untuk lebih baik 
bila kita hidup sezaman dengan Rasulullah SAW. Mungkin kita akan menjadi salah 
seorang penentang dakwah mereka. Sekarang kita bisa lapang dada menerima seruan 
untuk beriman kepada Allah karena kita lahir dan dibesarkan dalam lingkungan 
Islam. Namun, apa jadinya kalau kita hidup lima belas abad lalu; satu zaman dan 
satu tempat dengan Rasulullah SAW, lalu menerima seruan seperti itu? Mungkin 
kita akan bergabung dengan Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Sufyan, atau kaum kafir 
Quraisy lainnya untuk menghalangi dakwah Rasulullah SAW. 
Kita harus mampu memanfaatkan posisi dengan baik, jeli melihat kesempatan, dan 
mau belajar dari kesalahan orang lain, hingga tidak terjerumus ke dalam lubang 
yang sama. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa seorang Mukmin sejati itu tidak 
mungkin terjerumus ke dalam lubang yang sama dua kali berturut-turut? Wallahu 
a'lam bish-shawab (ems
 


      

Reply via email to