Kekuatan Finansial (Quwwatul Maal), Bagian  ke-1
Fiqih DakwahOleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah
________________________________

Rasmul  Bayan "Quwwatul Maal (Kekuatan Finansial)"
قوّة المال
dakwatuna.com – SUATU hari Abdullah bin Abbas  memakai pakaian paling indah dan
mahal, berharga 10.000 dirham. Beliau  bermaksud mengadakan dialog dengan kaum
Khawarij yang memberontak. Orang  Khawarij adalah golongan yang kuat beribadah
tetapi meminggirkan ilmu  dan tidak mau mempelajari al-Quran, fiqih dan hadits
Rasulullah SAW.  Mereka terkenal sebagai kaum yang picik, fanatik, puritan dan
membenci  siapa saja yang berseberangan paham dengan mereka.
Abdullah bin Abbas mandi dan memakai parfum paling harum, menyikat  rambutnya
serta mengenakan pakaian indah dan bersih. Beliau akan  berhadapan dengan
orang-orang picik yang memakai baju tebal dan  tambalan, muka yang berdebu serta
kusut masai.
Mereka berkata, “Kamu adalah anak bapak saudara Rasulullah SAW.  Mengapa kamu
memakai pakaian seperti ini? Abdullah bin Abbas  menjawab, “Apakah kalian lebih
tahu mengenai Rasulullah SAW  dibanding saya? Mereka berkata, “Tentulah kamu
yang lebih tahu.”  Abdullah berkata lagi, “Demi Allah yang jiwaku dalam
genggaman-Nya,  sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah SAW berpakaian dengan
mengenakan perhiasan berwarna merah dan itu adalah sebaik-baik perhiasan.”
Aisyah pada suatu ketika melihat sekumpulan pemuda berjalan dalam  keadaan
lemah, pucat dan kelihatan malas. Beliau bertanya, “Siapakah  mereka itu?”
Sahabat menjawab, “Mereka itu adalah kumpulan  ahli ibadat.” Kemudian Aisyah
berkata, “Demi Allah, yang tiada  Tuhan selain-Nya. Sesungguhnya Umar bin
al-Khattab adalah orang yang  lebih bertaqwa dan lebih takut kepada Allah
dibanding mereka itu. Kalau  beliau berjalan, beliau berjalan dengan cepat dan
tangkas. Apabila  bercakap, beliau dalam keadaan berwibawa, jelas kedengaran
percakapannya  dan apabila beliau memukul, pukulannya terasa sakit.”
Pemahaman picik kaum khawarij adalah akibat memahami Islam secara  tidak kaaffah
(menyeluruh), memberatkan masalah ibadat yang sebenarnya  mudah, sampai ke tahap
berlebih-lebihan dan menyusahkan diri.
Begitulah keadaan sebahagian umat Islam yang lupa kepada wasiat  Rasulullah SAW
yang disampaikan kepada sahabatnya, Muaz bin Jabal ketika  beliau dikirim
menjadi Duta dakwah ke negeri Yaman. Kata Nabi saw: “Wahai  Muaz, mudahkanlah
setiap urusan, jangan memberat-beratkannya.”
Apakah Islam mengajarkan untuk membenci dunia? Kalau begitu, mengapa  Abu Bakar
al-Siddiq berbangga dengan harta kekayaannya untuk membela  agama Allah? Begitu
juga dengan Abdul Rahman bin Auf dan Utsman bin  ‘Affan yang mengeluarkan
hartanya untuk membiayai jihad di jalan Allah  dengan dana dari kantong mereka
sendiri.
Adakah Rasulullah SAW melarang mereka bekerja sungguh-sungguh untuk  meraih
keuntungan duniawi?
Bahkan di dalam al-Quran, Allah menegaskan bahwa jihad dalam  menegakkan agama
Allah wajib memiliki bekal persiapan. Firman-Nya : “Dan  siapkanlah untuk
menghadapi mereka dengan apa saja dari segala jenis  kekuatan yang dapat kamu
sediakan dari pasukan berkuda yang lengkap  untuk menggetarkan musuh Allah dan
musuh-musuhmu.” (Surah al-Anfal,  ayat 60)
Bagaimanakah Islam akan menang jika umatnya adalah mereka yang berada  dalam
skala Negara Dunia Ketiga? Negara miskin dan terbelakang serta  dikuasai oleh
musuhnya. Apabila mereka hendak membeli makanan, mereka  terpaksa meminta belas
kasih orang lain.
Apakah zuhud itu berarti membiarkan dunia dimiliki dan dikuasai oleh  musuh
Allah? Sedangkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkata: “Apabila  emas
seberat gunung diamanahkan kepadaku, aku tidak akan tidur selagi  ia tidak habis
dimanfaatkan untuk umat Islam.”
Sebagai panduan bersama, ingatlah pandangan Shaikhul Islam al-Imam  Ibnu
Taimiyah. Beliau berkata: “Zuhud itu adalah kamu meninggalkan  perbuatan yang
tidak berfaedah untuk akhiratmu.”
Harta yang halal hendaklah dipastikan dikeluarkan juga pada tempat  yang halal.
Jangan mencari pada sumber yang halal’ tetapi  membelanjakannya pada jalan
maksiat. Atau kebalikannya, mengambil dari  sarang penyamun dan membelanjakannya
untuk ibadat.
Itu semua bertentangan dengan perintah Allah. Orang beriman percaya  harta
adalah titipan dan amanah Allah, pinjaman sementara dan apabila  Allah
menghendaki akan lenyaplah harta itu dari tangan kita. Cukuplah  harta itu ada
dalam genggaman, tetapi tidak menguasai hati kita.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya mengenai seorang lelaki yang  memiliki
harta kekayaan sebanyak 100.000 dinar uang emas. Dapatkah dia  dikatakan sebagai
seorang yang zahid? Beliau menjawab: “Lelaki itu  dikatakan zuhud apabila ada
dua sifat:Tidak terlalu bergembira  ketika hartanya bertambah; Tidak terlalu
berduka-cita apabila hartanya  berkurang.“
Nikmatilah dunia dan segala kesenangannya tetapi pastikan harta yang  dimiliki
tidak menahan langkah di akhirat kelak dan melambatkan  perjalanan ke pintu
surga. Karena semakin banyak harta, maka dapat  dipastikan semakin rumit pula
hisab perhitungan yang dilakukan, kecuali  harta yang halal yang dibelanjakan
untuk keridhaan Allah.
Boleh jadi para koruptor dapat menutupi hasil kejahatan dari  pandangan manusia.
Maka bagaimana dengan pengadilan Allah di akhirat  kelak? Dapatkah mereka
menyembunyikan hasil kejahatan mereka?
Islam menggalakkan umatnya bekerja sungguh-sungguh untuk meraih  keuntungan
duniawi. Semua kekayaan yang dianugerahkan Allah hendaklah  dibelanjakan di
jalan Allah. Rasulullah saw berpesan agar umat Islam  tidak memberatkan masalah
ibadat yang sebenarnya mudah dilakukan, sampai  pada tahap berlebih-lebihan
sehingga menyusahkan diri sendiri. Islam  menghendaki umatnya kaya dengan harta
benda agar tidak ditindas karena  kemiskinan hanya membuat kita terus menjadi
bangsa yang selalu mengemis  mencari bantuan asing.
Allah telah mewajibkan jihad secara tegas kepada setiap Muslim. Tidak  ada
alasan bagi orang Islam untuk meninggalkan kewajiban ini. Islam  mendorong
umatnya untuk berjihad dan melipat gandakan pahala orang-orang  yang
berpartisipasi di dalamnya apalagi yang mati syahid.
Jihad pun dapat dilakukan dengan harta benda (amwaal). Yaitu  dengan zakat,
infak, shadaqah, mengorbankan harta untuk membangun  sarana pendidikan, sarana
ekonomi, sarana kesehatan, dan lain-lain yang  bertujuan untuk membangun
kekuatan umat. Hal ini ditegaskan pada dalam  surat Al Anfal ayat 60:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ  وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ
تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ  وَءَاخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا
تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ  وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ  وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang  kamu sanggupi
dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang  dengan persiapan itu)
kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan  orang-orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya; sedang Allah  mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan
pada jalan Allah niscaya  akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan
dianiaya  (dirugikan).”
Dalam ayat tersebut Allah menegaskan agar kaum muslimin senantiasa  melakukan
berbagai persiapan (baca: tidak asal-asalan) untuk menghadapi  setiap upaya
konspirasi kebatilan yang dijalankan oleh musuh-musuh  Allah.
Persiapan-persiapan tersebut hendaklah bersifat menyeluruh dengan  mencakup
semua lini kekuatan dan aspek kehidupan umat.
Sudah saatnya Islam melaksanakan jihad secara terencana dan  terorganisasi, dan
bukan semata-mata mengandalkan emosi. Jihad yang  terorganisasilah yang akan
dapat menggentarkan musuh-musuh Allah.
Kita semua paham bahwa ada 5 (lima) kekuatan yang harus dimiliki  kembali oleh
umat Islam kalau kita mau maju. Kekuatan tersebut adalah  kekuatan iman,
kekuatan ilmu, kekuatan persaudaraan, kekuatan harta dan  kekuatan angkatan
perang. Seluruh kekuatan ini ternyata memang ada dalam  masyarakat Rasulullah.
Kita akan membahas satu kekuatan yang dapat kita  jadikan pelajaran dalam
pembinaan umat ini, yaitu kekuatan harta (Quwwatul  Maal).
- bersambung

Kirim email ke