Greemen Bank dan Bank Syariah Indonesia

Oleh :


Muhammad Akhyar Adnan
Dosen UII Yogyakarta, Associate Professor di International Islamic University, 
Malaysia.

Akhirnya,  atas undangan resmi Pemerintah RI, Muhammad Yunus, pendiri dan  
sekaligus Managing Director Grameen Bank dari Bangladesh sampai juga di  
Indonesia. Grameen Bank yang tidak bisa dilepaskan dari sosok M Yunus,  memang 
sudah sangat terkenal. Selain sudah cukup lama berdiri (sekitar  24 tahun), 
bank 
ini dikenal dengan segala keunikannya yang kadang-kadang  'berbeda' diametral 
dengan industri perbankan pada umumnya.

Salah  satu puncak pencapaian Grameen Bank adalah ketika sang pendiri dan  
pemimpin tertingginya, M Yunus mendapat anugerah Nobel pada tahun 2006  yang 
lalu. Ini semua membuat nama Grameen Bank semakin menjulang, baik  di Barat 
maupun di Timur. Makin banyak ia dirujuk, dicontoh, dan  diteladani. Setidaknya 
makin sering sang pendiri dan manajer puncaknya  diundang untuk berceramah 
menceritakan keberhasilannya di berbagai kota  di dunia. Uniknya lagi, timbul 
juga persepsi bahwa Grameen Bank adalah  bank yang lebih 'Islami' dibandingkan 
bank syariah, sebuah ungkapan yang  dilontarkan oleh seorang tokoh perbankan 
syariah nasional belum lama  ini ketika beliau berkunjung ke International 
Islamic University,  Malaysia.

Kita tentu sangat menghargai segala pencapaian Grameen  Bank tersebut. Namun, 
semestinya tidak pula boleh silau dengan segala  prestasi tersebut. Mengapa? 
Karena, di balik 'keberhasilan' Grameen  Bank, ada beberapa catatan penting 
yang 
harus juga diketahui siapapun,  sehingga dapat melihat bank tersebut secara 
lebih berimbang, dan tidak  terjebak pada proses pencontohan taqlid (buta), 
yang 
kemudian tidak  memberikan hasil apapun.

Terus terang, tulisan ini diilhami oleh dan merujuk pada dua makalah berbeda. 
Pertama, karya Prof  MA Mannan, Alternative Credit Models in Bangladesh: A 
Comparative  Analysis Between Grameen Bank and Social Investment Ltd: Myths and 
 
Realities. Makalah ini dipresentasikan dalam First  International Islamic 
Conference on Inclusive Islamic Financial Sector  Development pada 17-19 April 
2007 yang lalu di Brunei Darussalam. Kedua,  presentasi Prof Rodney Wilson, 
yang 
bertajuk Making Development Assistance Sustainable through Islamic Microfinance 
dalam IIUM International Conference on Islamic Banking and Finance, 23-25 April 
2007 di Kuala Lumpur.

Catatan penting
Di antara hal-hal penting dari sisi lain Grameen Bank yang perlu, namun tak 
banyak diketahui adalah sebagai berikut. Pertama,  Grameen Bank sama sekali 
tidak beroperasi berdasarkan hukum syariah  Islam. Ini berarti bunga yang 
diakui 
oleh banyak ulama modern dunia  sebagai sesuatu yang diharamkan (riba), tetap 
menjadi instrumen penting  bagi operasi Grameen bank.
Tidak hanya hanya itu, menurut  Prof Mannan, tingkat bunga pinjaman di Grameen 
Bank adalah 54 persen.  Sebuah angka yang sesungguhnya luar biasa mencekik. 
Lebih parah lagi,  bila hidden costs (biaya-biaya tersembunyi, seperti biaya 
keanggotaan,  dokumentasi, kewajiban provisi atas jumlah dana yang diblok dan 
lain  sebagainya) diperhitungkan. Maka sesungguhnya tingkat bunganya mencapai  
86 persen, sebuah angka yang sangat jauh dibandingkan bank konvensional  pada 
umumnya, dan tentunya sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan  bank syariah 
sama sekali.

Kedua, model kredit  mikro Grameen Bank merupakan versi baru dari ekonomi 
feodal 
dalam  konteks hubungan peminjam dan pemberi pinjaman. Ketiga,  model operasi 
kredit mikro Grameen Bank didasari asumsi implisit  konflik kelompok dan 
paradigma neoklasik ortodoks Barat tentang ekonomi  bebas nilai, yang cenderung 
pada upaya pemberdayaan wanita [saja],  karena 95 persen nasabahnya adalah 
wanita. Konsekuensinya, seperti juga  ditegaskan Rodney Wilson, banyak keluarga 
(nasabah) yang berantakan  akibat perceraian.

Keempat, Grameen Bank berdiri  atas landasan hukum yang berbeda dibandingkan 
usaha perbankan pada  umumnya. Mungkin karena faktor ini, atau faktor lainnya, 
bank ini  terbebas dari proses audit, baik oleh bank sentral, maupun audit  
eksternal lainnya. Tanpa bermaksud berprasangka negatif, ini tentunya  
mempunyai 
konsekuensi signifikan akan laporan pencapaian prestasinya.  Setidaknya 
transparansi laporannya tidak memenuhi syarat standar good  corporate 
governance.

Kelima, boleh jadi terkait  ataupun tidak dengan faktor keempat, ternyata 
Grameen Bank juga  mendapat fasilitas bebas pajak sama sekali. Ini merupakan 
hak 
istimewa  luar biasa yang dimiliki Grameen Bank, di balik kemajuan pesat dan  
tentunya laba besar yang didapatkan dari tingginya tingkat bunga yang  
diterapkan kepada para nasabahnya.

Adalah menarik juga mengutip  sebagian data dari tulisan Prof Mannan yang 
disarikan dari sebuah harian  Bengali bernama Shomokal, yang terbit pada 19 
Februari 2007. Harian ini  menceritakan kondisi sebuah desa bernama Hillary 
Palli yang selalu  menjadi desa kebanggaan (show-piece village) Grameen Bank. 
Dilaporkan  bahwa kondisi desa ini memburuk, sehingga masyarakatnya tidak bisa  
keluar dari lilitan utang kepada Grameen Bank setelah 12 tahun. Banyak  dari 
penduduk desa ini yang kemudian 'terpaksa' menjual tanah mereka,  sehingga 
mereka menjadi orang yang tak punya tanah dalam arti  sesungguhnya.

Apa yang disajikan ini, bila dibandingkan dengan  filosofi dan orientasi bank 
syariah pada umumnya tentu sangat berbeda,  untuk tidak mengatakan bertolak 
belakang sama sekali. Oleh karena itu,  bila saja sejumlah bank atau usaha 
kredit mikro di Indonesia (khususnya  yang berasas syariah) selama ini kagum 
pada Grameen Bank dan ingin  mencontoh 'keberhasilannya', seyogianya (bank 
tersebut melakukannya)  bukan tanpa reserve. Beberapa persoalan yang dibahas di 
awal tulisan ini  haruslah menjadi perhatian semua pihak, agar tidak terjadi 
proses salah  contoh, sehingga semakin menjauhkan bank syariah dari asasnya. 
Begitu  pula, para pakar perlu lebih berhati-hati dalam memberikan ulasan,  
sehingga tidak terjadi proses 'memuji' yang salah, dan 'mencibir' yang  benar, 
betapapun yang disebut terakhir mungkin belum sempurna dalam  proses dan atau 
pencapaian tujuan-tujuannya.

Kirim email ke