http://www.republika.co.id/berita/bisnis-syariah/klinik-syariah/10/05/20/116513-adakah-unsur-riba-dalam-pinjaman-saya

Adakah Unsur Riba dalam Pinjaman Saya?Kamis, 20 Mei 2010, 21:26 WIB

     
Assalaamu'alaikum wr wb 

Saya pernah pinjam uang di salah satu BMT untuk bayar sekolah anak saya sebesar 
Rp 1 juta selama 1 bulan.

Komponen dalam pinjaman yang muncul adalah :

Akhir  jatuh tempo pembayaran yang harus saya bayar adalah sebesar Rp 1,1 juta  
biaya administrasi Rp 30 ribu dan biaya materai Rp 14 ribu

Sehingga  pada hakikatnya yang saya kembalikan tidak sesuai yang saya pinjam,  
tapi ada tambahan 100 ribu. Apakah ini bukan riba? Kalau itu riba, yang  
seharusnya sesuai dengan aturan syariah seperti apa?

Terimakasih 

Wassalaam,

Jatmiko Nugroho
jatmiko.sie...@gmail.com


Jawaban : 

Waalaikumsalaam wr wb. Pak Jatmiko yang berbahagia,

Jika  memang akadnya seperti itu, yaitu akad pinjaman (al-qardh), maka  
mengenakan kelebihan pembayaran dalam jumlah tertentu, dalam kasus Bapak  
adalah 
sebesar Rp 100 ribu, termasuk ke dalam kategori riba. Sehingga,  hukumnya 
menjadi haram. Dalam Islam, istilah pinjaman yang diakui adalah  qardhul hasan, 
dimana tidak boleh ada unsur riba atau bunganya. Jika  seseorang meminjam Rp 1 
juta, maka orang tersebut harus mengembalikan Rp  1 juta. 


Lain halnya kalau akad yang digunakan adalah kafalah  bil ujrah. Pada akad ini, 
BMT bertindak sebagai pihak yang menanggung  keperluan biaya pendidikan anak 
Bapak. Kemudian pihak BMT berkomunikasi  langsung dengan pihak sekolah, dan 
menyerahkan dana pendidikan tersebut  kepada pihak sekolah tanpa melalui 
perantara Bapak. Dalam konteks ini,  BMT dapat mengenakan biaya jasa (ujrah) 
atas usahanya tersebut. Jika  ujrah yang dikenakannya Rp 100 ribu, maka 
pembayaran Rp 1,1 juta oleh  Bapak tidak mengandung unsur riba. Tetapi jika 
pihak BMT tidak  mendatangi sekolah tempat belajar anak Bapak tersebut, dan 
malah  menyerahkan uang Rp 1 juta kepada Bapak, maka pihak BMT tidak boleh  
mengenakan biaya jasa (ujrah) kepada Bapak, karena tidak ada usaha yang  
dilakukannya. Tanpa usaha, pengenaan ujrah menjadi tidak valid.

Akad  lain yang dapat digunakan adalah ijarah bil ujrah, yaitu sewa dengan  
biaya jasa, dengan asumsi ada kerjasama antara pihak BMT dengan sekolah.  Pada 
kasus Bapak, yang disewakan adalah ruang kelas beserta seluruh  fasilitasnya, 
termasuk proses belajar mengajar, dimana nilai totalnya  adalah Rp 1 juta. Maka 
wajar jika kemudian Bapak membayar biaya senilai  Rp 100 ribu atas jasa yang 
telah diberikan pihak BMT kepada anak Bapak,  sehingga total kewajiban Bapak 
menjadi Rp 1,1 juta.

Barangkali  yang dipraktekkan oleh BMT tersebut bukan akad qardh atau pinjaman, 
 
melainkan salah satu dari kedua akad yang telah dijelaskan di atas.  Namun 
demikian, seringkali pada prakteknya ada penyimpangan, sehingga  seolah-olah 
akadnya menjadi akad pinjaman (al-qardh), karena tidak  nampak usaha yang 
dilakukan oleh pihak BMT, padahal ada biaya ujrah yang  dikenakan kepada Bapak. 
Oleh karena itu, akan lebih baik jika Bapak  memberitahukan kepada BMT tersebut 
untuk memperbaiki pola layanannya,  agar aspek kesesuaian syariahnya tetap 
terjaga. Wallahu'alam.

Wassalaamualaikum wr wb

Irfan Syauqi Beik
Program Studi Ekonomi Syariah Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB

Kirim email ke