http://www.inilah.com/news/read/ekonomi/2010/08/19/755001/usai-dekan-termuda-kini-guru-besar/



19/08/2010 - 16:43
 Prof Firmanzah PhD
Usai Dekan Termuda, Kini Guru Besar
Asteria
Prof Firmanzah PhD
(inilah.com)
INILAH.COM, Jakarta –  Meski terbilang muda, pria ini sudah mendulang banyak 
pujian dari  kalangan intelektual atas prestasinya. Ia adalah Prof Firmanzah 
PhD,  dekan termuda yang baru saja dikukuhkan sebagai guru besar termuda UI. 

Pada pengukuhannya sebagai guru besar tetap dalam bidang ilmu  manajemen 
strategis, Rabu (18/8) kemarin, di Balai Sidang Universitas  Indonesia, Kampus 
UI-Depok, Firmanzah menyampaikan pidato berjudul  ‘Coordination-Capability dan 
Daya Saing Nasional: Peran Boundary-Spanner  dalam Perspektif 
Struktural-Interaksionisme.’
Dalam pidatonya, Ia menekankan pentingnya penataan hubungan  kelembagaan, baik 
di lembaga tingkat nasional, daerah, maupun industri.  Menurut Firmanzah, 
pekerjaan ini merupakan tugas kolektif dari setiap  elemen bangsa Indonesia. 
Karena pengalaman sejumlah negara seperti  Finlandia, Singapura, China, Jepang, 
dan Amerika Serikat menunjukkan  bahwa pembangunan daya saing nasional selalu 
dimulai dari perbaikan dan  intesifikasi koordinasi kelembagaan.
"Bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang berperan sebagai  boundary-spanner 
untuk berinteraksi dengan yang lain dalam membangun  keterkaitan, komunikasi, 
dan kerja sama kelembagaan. Hanya dengan ini,  daya saing Indonesia dapat 
ditingkatkan melalui penggabungan semua  sumber daya dan keunggulan nasional," 
kata pria kelahiran 7 Juli 1976  tersebut.
Firmanzah adalah Dekan FEUI sejak 2009 dan merupakan dekan termuda  dalam 
sejarah UI. Saat lulus SMA, Ia memilih Fakultas Ekonomi UI dan  lulus dalam 
waktu 3,5 tahun. Ia pun sempat menjajal dunia asuransi  sebagai analis pasar, 
sebelum memutuskan kembali ke bangku kuliah,  setahun kemudian. Pria yang akrab 
dipanggil Fiz tersebut mengambil  program S-2 di bidang yang sama dan 
menyelesaikannya dalam tempo dua  tahun. 

Melanjutkan studi di Universitas Lille di Prancis, merupakan momen  titik balik 
Fiz mengenal dunia yang lebih luas. Ia mendalami bidang  strategi organisasi 
dan 
manajemen atas beasiswa dari universtas  tersebut. "Ketika mendapatkan beasiswa 
ke Prancis, itu merupakan  perjalanan pertama saya ke luar negeri dan kali 
pertama pula naik  pesawat," kenangnya.
Fiz juga sekaligus menjalani studinya pada tingkat doktoral dalam  bidang 
manajemen internasional dan strategis di Universitas Pau and Pays  De l’Adour, 
dan selesai pada 2005. 

Karena lulus tercepat di angkatannya, Fiz lantas mendapatkan beasiswa  program 
doktoral dalam bidang manajemen strategis internasional dari  University of Pau 
et Pays de l" Adour dan meraih PhD pada 2005.
Ia pun sempat mengajar setahun di almamaternya, sebelum dipanggil  pulang oleh 
dekan FE UI saat itu, Prof Bambang Permadi Soemantri  Brodjonegoro untuk 
mengajar di UI. “Padahal, tiga hari sebelumnya, saya  baru saja mendapat 
tawaran 
menjadi dosen tetap dengan gaji tinggi dan  fasilitas lengkap,” ujarnya.
Fiz menilai, menetap di Prancis akan menjadikannya dosen terbang di  berbagai 
negara di dunia, antara lain Maroko dan Inggris. Fasilitas  perpustakaan yang 
lengkap merupakan surga baginya. 

Mendapati bahwa kehidupan di Prancis akan terlalu mudah baginya, Ia  pun 
memilih 
kembali ke Indonesia. “Ada banyak hal yang bisa dilakukan di  sini dan itu akan 
lebih berarti, karena hidup ternyata tidak hanya  mencari kenyamanan,” ujar 
suami Ratna Indraswari ini sambil tersenyum. 

Tiga tahun berikutnya, yakni ketika berusia 32 tahun, Fiz terpilih  sebagai 
Dekan ke-14 FE UI periode 2009-2013 yang tercatat sebagai dekan  termuda dalam 
sejarah UI. Pria pelahap buku-buku filsafat yang  mengidolakan filsuf dari 
Jerman, Schopenhauer itu, mengalahkan sejumlah  kandidat kuat, seperti Prof 
Sidharta Utama PhD CFA dan Arindra A Zainal  Ph.D. 

Bahkan sebelum masuk tiga besar kandidat, ia harus bersaing dengan  calon yang 
jam terbangnya sudah tinggi, seperti Dr Nining Soesilo (kakak  kandung mantan 
Menkeu Sri Mulyani Indrawati), Dr Chaerul Djakman dan Dr  Syaiful Choeryanto. 

Firmanzah menghabiskan masa kecil hingga SMA di Surabaya. Ibunya,  Kusweni, 
adalah seorang buta huruf yang bercerai ketika usianya dua  tahun. Namun, Fiz 
kecil yang saat  itu bercita-cita menjadi astronot,  tidak lantas minder. 

Anak ke-8 dari 9 bersaudara ini justru mempelajari semangat juang  tinggi dari 
sang ibu. Selain intisari hidup terkait dengan kesetiaan,  persahabatan dan 
kasih sayang.
Hal inilah yang membuat pengagum teori Tsun Zu ini memiliki falsafah  hidup, 
bahwa rasa kemanusiaan adalah naluri yang paling kuat untuk  memenangkan 
pertarungan dalam hidup. Baginya, pertarungan itu bisa  terjadi di mana saja, 
dan yang membedakan antara yang menang dan yang  kalah adalah strategi. 

Dalam mendidik anak-anaknya, ibunya pun tak menerapkan manajemen belajar yang 
ketat dan disiplin. Ia diajarkan untuk lebih management by output, bukan 
management by process. 

“Ibu bilang, mau belajar kayak apa, terserah. Yang penting, nilainya  bagus,” 
ujarnya. Itulah yang membuatnya bisa membaca buku di sela-sela  main gundu. 
Sedari belia pun, Fiz mengaku sudah mengetahui visinya,  yakni menjadi orang 
yang berguna bagi masyarakat. [mdr]

Kirim email ke