===========================
F R I E N D S H I P
===========================
Original Sender  : [EMAIL PROTECTED]
----------------------------------------------------------------



Mohon Klarifikasinya....

Subject:  [INDONEWS] MateBEAN-->KESAKSIAN SEORANG KORBAN MILISI YANG
      SELAMAT




----------------------------------------------------------
FREE for JOIN Indonesia Daily News Online via EMAIL:
go to: http://www.indo-news.com/subscribe.html
- FREE - FREE - FREE - FREE - FREE - FREE -
Please Visit Our Sponsor
http://www.indo-news.com/cgi-bin/ads1
----------------------------------------------------------

Precedence: bulk


KESAKSIAN SEORANG KORBAN MILISI YANG SELAMAT

Kesaksian ini kami dapatkan dari salah seorang korban yang selamat dari
aksi pembantaian milisi pro-otonomi, tentara dan BRIMOB(ABRI) di kediaman
Bapak Manuel Carascalao pada 17 April 1999.

------------------------------

Nama korban adalah Antonio (bukan nama sebenarnya), x thn, pelajar kelas y
SMU Dili, nama (orang tua) ibu X, tinggal di desa Y, kec. Z, Dili-Timor
Timur. Korban diwawancarai pada tanggal 22 April 1999 pukul 12.00 Waktu
Timor Timur
(WTT). Berikut Adalah transkrip dari hasil wawancaranya dengan sedikit
pengeditan di sana-sini:

Pada tanggal 17 April 1999, kira-kira pukul 09.00 pagi, saya diantar dengan
sepeda motor dari rumah oleh salah seorang teman saya yang bernama B
menuju rumah Manuelito Carascalao. Manuelito Carascalao adalah anak Bapak
Manuel Carascalao sendiri (ketua GRPRTT). Seperti biasanya (biasanya karena
saya sering main ke tempatnya) saya datang ke tempat itu (rumah Manuel
Carascalao) semata-mata hanya untuk mengunjungi sekaligus mengajak ngobrol
dengan Manuelito, yang tidak lain juga adalah termasuk salah seorang teman
akrab saya.  Setiba di sana, teman yang membonceng tadi (B) langsung
balik dan tanpa pikir panjang saya pun langsung saja menemui Manuelito.

Ketika itu saya melihat di situ sudah berkumpul beberapa teman kami
lainnya, berjumlah 6 orang. Salah seorangnya adalah pacar Manuelito
sendiri, namanya D, dan salah seorang lagi adalah C. Jadi kami saat itu
berjumlah tujuh orang.

Awalnya kami masih berada di luar (halamamn rumah) namun saat kami dengar
apel upacara Milisi Pro-Otonomi (MPO) atau milisi pro-integrasi di depan
Kantor Gubernur bubar, dan bersamaan dengan itu dari arah Kantor Gubernur
(jarak kantor gubernur dengan  rumah Bapak Manuel Carascalao sekitar lima
ratus meter) terlihat para anggota MPO itu sedang menuju ke markasnya di
sekretariat  Gada Paksi yang berlokasi di gedung Tropikal Dili yang
lokasinya bersebelahan di sebelah barat rumah Manuel Carascalao. (Di
sekretariat Gada Paksi inilah yang selama ini dijadikan pusat kegiatan MPO
di Dili).

Karena kawatir diserang oleh MPO, singkat cerita kami bertujuh mulai masuk
ke dalam rumah Manuelito dan sibuk dengan pembicaraan ringan seputar dunia
anak muda. Ketika kami masuk rumah (sekitar pukul 11.30 WTT), bersamaan
dengan itu bapak Manuel Carascalao juga keluar dengan mobil entah ke mana
saya sendiri tidak tahu.

Waktu itu saya sama sekali tidak berpikir sedikitpun jika beberapa jam
kemudian tempat itu akan diserang oleh MPO dalam formasi Tim Gabungan
dengan aparat (tentara) ABRI/TNI, antara lain ada Besi Merah Putih dan
Aitarak, yang didukung dari belakang oleh pasukan BRIMOB dan Tentara. Saya
dan teman-teman terus saja ngobrol.

Namun tampa diduga, sekitar pukul 12.30 WTT, Sejumlah kurang lebih
limabelasan orang anggota MPO lengkap dengan senjata tradisional berupa
parang, ada yang saya lihat membawa senjata otomatis dan senjata rakitan,
tombak dan samurai, mendatangi rumah Bapak Manuel Carascalao. Orang-orang
itu langsung saja membongkar pintu pagar di depan rumah yang biasanya
selalu dikunci dengan rantai, kecuali bila ada tamu yang ingin masuk ke
dalam. Begitu pintu pagar terbuka, orang-orang itu langsung menerobos ke
halaman rumah, dan menanyakan di mana keberadaan bapak Manuel Carascalao.
Saya masih ingat saat itu Manuelito mengatakan kepada orang-orang itu bahwa
Bapak Manuel Carascalao sedang tidak ada di rumah. Mendengar jawaban itu,
orang-orang itu justru mendesak untuk masuk ke dalam rumah. Namun Manuelito
berusaha keras untuk menhanan mereka.
Akhirnya
orang-orang itupun keluar dan kembali ke sekretariat Garda Paksi.

Selang waktu sekitar setengah jam kemudian (13.00 WTT) para anggota MPO
plus tentara dan polisi datang lagi dalam jumlah yang sangat banyak. Saya
sendiri tidak dapat menghitung secara jelas, tapi yang pasti banyak. Para
anggota MPO sambil memaki-maki, langsung mengepung rumah Manuel Carascalao
dari segalah arah. Waktu itu saya mencoba lari ke luar tapi sia-sia karena
selain semua jalan sudah tertutup oleh MPO plus tentara dan polisi, saya
sempat ditembak oleh MPO, hanya saja tembakan itu meleset.

Dan pada saat yang sama, sekali lagi saya  melihat dengan jelas pasukan
BRIMOB dan Tentara yang memang terlibat bersama-sama dengan MPO  mengepung
rumah. Ketika mereka sudah di dalam rumah pertama kali mereka menanyakan
dimana disembunyikan senjata-senjata itu. Orang-orang yang didalam rumah
semuanya menjawab tidak tahu. Ketika saya ditanya, saya pun jawab saja
bahwa saya tidak tahu, karena memang saya tidak tahu. Kejadian selanjutnya
adalah banjir darah. Tanpa pandang bulu Para MPO, BRIMOB dab Tentara mulai
menembaki dan membantai orang-orang di dalam rumah bapak Manuel Carascalao,
terutama para pengungsi.

Saya sendiri mencoba membela diri atau mengelak dari beberapa kali bacokan
parang dan samurai. Akibatnya  tangan saya ini yang jadi hancur terluka
oleh sabetan-sabetan parang dan samurai. Ibu jari tangan saya yang kiri
hampir putus. Sedangkan lengan tangan kanan mulai dari siku sampai
ujung-ujung jari juga mengalami luka bacok yang parah dan dalam. Begitupun
di pelipis kiri kepala saya juga dibacok.

Pembantaian itu terus berlangsung dengan keji dan sadis. Saya melihat
sendiri orang-orang yang berada di samping saya (para pengungsi) itu
dibantai berkali-kali seperti binatang. Ada tiga atau empat orang anak
kecil (bayi), kalau saya hitung-hitung umurnya sekitar satu atau dua tahun
oleh para MPO ditarik begitu saja dari pangkuan ibu mereka, lalu anak-anak
itu
dilempar, di
banting dan dipukul ke arah tenbok. Bayi-bayi tak berdosa itu saya melihat
sendiri langsung mati di tempat. Sementara ibu-ibunya selagi menangis juga
ikut dibacok.

Juga para gadis yang mengungsi di situ.Ada seorang gadis muda, kira-kira
berumur 17 tahun, saya lihat dibacok di bagian punggung dan sewaktu gadis
itu jatuh, para milisi, tentara dan polisi telah memotong payudara kirinya.
Menyaksikan kejadian tragis itu, saya yang juga sudah tercabik ini secara
refleks langsung pura-pura mati. Dalam kepura-puraan mati itu saya dengar
suara-suara jeritan, teriakan dan tangisan mohon ampun dari orang-orang
yang dibantai bercampur baur dengan suara hentakan dan makian para
pembantai.

Kepura-puraan saya itu ternyata dapat menyelamatkan hidup saya, karena para
MPO dan beberapa anggota BRIMOB dan tentara mengira saya benar-benar sudah
mati sehingga saya dibiarkan saja tergletak di pintu dapur rumah Bapak
Manuel Carascalao. Saya juga sempat mendengar tentara, BRIMOB dan MPO
mengatakan kepada sesama temannya untuk segera menyembunyikan mayat-mayat
itu karena nanti akan diketahui oleh para wartawan dan pihak luar negeri.

Lalu dengan sembunyi-sembunyi saya juga menyaksikan banyak dari para
pengungsi yang tewas diletakkan di ruang makan. Mayat-mayat itu ditumpuk
begitu saja seperti hewan-hewan buruan yang dikumpulkan oleh para pemburu
sehingga menyerupai sebuah bukit kecil. Sekali lagi ketika lepas dari
pandangan para pembantai, saya sempat menolong dua orang pengungsi yang
tergeletak di samping saya. Kedua orang yang juga luka parah itu dengan
hati-hati dan sembunyi-sembu- nyi saya tutupi dengan sebuah dos (kardus)
sambil meminta kepada mereka berdua untuk berpura-pura mati.

Begitu para MPO memandang kembali ke arah saya, saat itu juga saya
pura-pura mati lagi. Usaha saya ini akhirnya berhasil menyelamatkan kedua
orang itu, walaupun saat ini kondisi mereka berdua sesungguhnya juga parah.
Kedua orang itu saat ini juga sedang dirawat bersama-sama dengan saya.

Pembantaian itu berlansung sekitar satu jam. Ketika saya melihat situiasi
mulai tenang (kira-kira pukul 16.00 WTT) di mana saat itu beberapa orang
anggota BRIMOB dan tentara  yang turut menbantai kami bersama dengan polisi
dan tentara lainnya berdatangan ke dalam ruangan., saya langsung
memanfaatkan situasi tersebut untuk meloloskan diri lewat pintu belakang
dan kemudian menuju rumah Bapak Joao (bukan nama sebenarnya). (Rumah bapak
Joao dekat dengan rumah bapak Manuel Carascalao).

Walaupun luka di tangan ini sakitnya luar biasa, demi mempertahankan nyawa,
dengan sisa tenaga yang ada saya berusaha keras untuk meloloskan diri ke
rumah sebelah. Ditengah jalan saya sempat sedikit mengalami pingsan,
mungkin karena banyak darah yang keluar dari luka-luka di tangan saya. Saat
pingsan saya sempat duduk sebentar namun saya kembali bangkit dan mencoba
terus
menyeberang ke rumah bapak Joao. Dalam hati saya berpikir walaupun
nanti akhirnya saya ditangkap dan munkin juga dibunuh, paling tidak ada
orang yang bisa menjadi saksi bahwa saya waktu itu ada juga di dalam rumah
Bapak Manuel Carascalao. Dan kalau saya mati, mayat saya bisa dimbil oleh
keluarga untuk dapat dikuburkan sebagai orang kecil yang tidak tahu-menahu
tentang dunia politik.

Mungkin lagi sial atau karena tentara (ABRI) di Timor Timur memang datang
untuk membunuh orang Timor Timur, saat baru saja saya mendekati rumah bapak
Joao, ada seorang anggota BRIMOB yang kembali menembak kaki kanan saya
tepat kena di siku kaki.  Tembakan yang terkahir inilah yang akhirnya
melumpukan saya.
Rumah bapak Joao tidak sempat saya masuki. Tapi beruntung pada sat itu
istrinya yaitu ibu Rona keluar dan menemui saya. Lalu sambil menangis, Ibu
yang baik itu menghampiri dan membisikan sesuatu ke telinga saya. Cukup
singkat bisikan itu namun harus saya akui bisikan dari Ibu Rona telah
membantu membesarkan hati saya. Bisikan itu berbunyi "Berdoalah kepada
Tuhan anak muda, kamu pasti akan hidup karena kalian ada di pihak yang
benar, lagi pula banyak saksi termasuk para wartawan telah melihat dan
mengetahui tragedi yang menimpa kamu dan orang-orang yang mengungsi di
situ".

Setelah menembak saya, tentara dan polisi mulai mengangkut saya ke dalam
sebuah ambulans. Waktu itu yang dapat saya lakukan hanyalah berdoa dan
berdoa terus agar kiranya Tuhan  dapat menolong saya untuk selamat dari
keganasan orang-orang pro Indonesia dan ABRI yang katanya ingin melindungi
rakyat itu. Ketika di dalam ambulans, rupanya tentara dan polisi belum juga
mengantar kami ke rumah sakit. Ambulans itu masih berputar-putar di depan
rumah Bapak Manuel Carascalao, kemudian maju lagi  mundur lagi, lalu
berhenti sebentar di depan markas MPO di Sekretariat Gada Paksi (gedung
Tropikal). Sehingga beberapa anggota MPO mengelilingi mobil Ambulans sambil
mengatakan "bunuh saja mereka yang masih hidup itu, jangan biarkan mereka
ini hidup, karena nanti mereka pasti akan menceritakan kepada orang lain
dan wartawan. Bunuh saja mereka". Oh ya, ketika di dalam mobil ambulans
kami di perintahkan untuk menunduk semua, padahal di dalam mobil ambulans
itu mayat sudah ditumpuk-tumpuk. Saya yakin kami yang masih hidup ini
disuruh tunduk agar tidak dapat dilihat dari luar.

Kira-kira pukul 17.00 WTT, ambulans itu baru bergerak menuju rumah sakit
Wirahusada, Lahane. Rumah sakit ini adalah milik tentara. Seperempat jam
kemudian, mobil ambulans itu tiba di rumah sakit. Saya diturunkan bersama
dua orang yang selamat lalu di bawa ke ruang operasi. Sedangkan
mayat-mayat itu saya sendiri tidak tahu dibawa ke mana. Saat operasi
berlangsung ada beberapa orang anggota MPO  juga menyusul ke rumah sakit.

Operasi itu berlangsung tanpa dibius lebih dulu. Bayangkan sakitnya
memang luar biasa. Lebih dongkol lagi, karena sakit dan saya merintih, para
anggota MPO yang ikut ke rumah sakit justru mengancam saya untuk diam,
mereka mengatakan kalau berteriak mereka akan membunuh kami. Saya ingat
betul itu.

Demikian secara singkat kisah tragis yang saya alami bersama-sama dengan
para pengungsi di rumah Bapak Manuel Carascalao pada tanggal 17 April 1999.
Saat ini saya sudah dirujuk ke rumah sakit/poliklinik Motael, Dili. Saya
hanya berdoa agar lewat kisah nyata yang saya alami ini dapat mengguggah
perasaan kemanusiaan seluruh umat manusia di dunia bahwa perilaku ABRI dan
para kaki tangannya di Timor Timur sangat sadis dan brutal. Mereka
memperlakukan orang Timor Timur seperti saya ini seperti barang tak
berharga, padahal saya ini juga manusia ciptaan Tuhan sama seperti tentara,
polisi BMP bahkan seperti juga Habibie, Wiranto dan sebagainya.***

----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Didistribusikan tgl. 26 Apr 1999 jam 11:44:58 GMT+1
oleh: Indonesia Daily News Online <[EMAIL PROTECTED]>
http://www.Indo-News.com/
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++


----------------------------------------------------------------
Friendship MailingList is provided by PT Centrin Utama
Maintained by   : [EMAIL PROTECTED]
To Post a msg   : Mail to [EMAIL PROTECTED]
To Unsubscribe  : Mail to [EMAIL PROTECTED]
.                 BODY : unsubscribe <Mailing List Name>
For more information, send mail to [EMAIL PROTECTED]
with "HELP" in the BODY of your mail (without quote).
----------------------------------------------------------------

Kirim email ke