Minggu, 10 September 2006

Jangan-jangan Ini Ramadhan Terakhir!



Bimasyi-atilLaah, dalam setengah bulan ke depan, kita sudah akan memasuki gerbang bulan paling suci di antara dua belas bulan; Bulan Ramadhan. Tidak ada seorang pun yang mampu menghalangi, bila Ramadhan mau menyapa kita.

Bahkan, maut sekali pun tak akan berdaya menghadang hadirnya bulan seribu bulan ini di tengah-tengah kita. Ramadhan tidak akan membatalkan kehadirannya meski satu di antara kita meninggal dunia. Ramadhan akan tetap hadir, menemani kebersamaan kita, menghibur kesendirian kita, menyelimuti kita di tengah hujan yang membuat anggota tubuh membeku atau menyejukkan hati kita dalam balutan kesuciannya dari panas matahari yang membakar kulit.

Walhasil, hanya kiamat yang mampu menyudahi tugas-tugas Ramadhan. Maka, setelah sekian bulan kita mengembara entah ke mana, kini segalanya menjadi amat gelap. Jalan-jalan kebenaran yang dulu pernah tertanam kuat dalam diri, kini menjelma sketsa patah-patah yang teramat sulit untuk ditafsirkan, apalagi dipahami.Perjalanan yang melelahkan sekaligus merugikan. Perjalanan yang jelas tujuannya tetapi kita tak pernah paham arahnya.

Kini, bahkan tuntunan agama direkayasa sehingga menjadi kabur, ajaran adat berubah menjadi kepingan kaca yang susah disatukan kembali. Untuk pulang; kembali ke rumah Bunda Pertiwi, tampaknya akan sungguh sulit dilakukan. Untuk kembali ke Hadirat Allah SWT, sungguh akan jauh lebih rumit lagi. Hanya kasih sayang dan hidayat Allah yang dapat mengembalikan ini semua. Dan kasih sayang-Nya, akan segera turun ke bentangan alam semesta ini melalui kehadiran Ramadhan. Lantas, kurang apa sebenarnya kita ini?

Sebelas bulan lamanya kita meninggalkan Allah, sebelas bulan kita mengkhianati-Nya, sebelas bulan lamanya kita tidak pernah mengindahkan kehadiran-Nya, sebelas bulan lamanya kita seperti terlahir dari rahim bebatuan. Seakan-akan kita merupakan anak-pinak bebatuan yang tak punya rasa, yang tak punya hati. Bahkan bebatuan sekalipun, jauh lebih mulia dari anak manusia. Karena dalam diam, bebatuan tak pernah sedetik pun melupakan Allah. Makhluk Allah yang satu ini, selalu malantunkan puja-puji, mengagungkan serta membesarkan Asma Allah.

Kini, mari kita berhitung. Dalam dua puluh empat (24) jam sehari semalam, atau dalam seribu empat ratus empat puluh (1.440) menit sehari semalam, atau dalam delapan puluh enam ribu empat ratus (86.400) detik sehari semalam, atau enam ratus empat ribu delapan ratus (604.800) detik dalam seminggu, atau dua juta lima ratus sembilan puluh dua ribu (2.592.000) detik dalam sebulan, atau tiga puluh satu juta seratus empat ribu (31.104.000) detik dalam setahun, maka seberapa persenkah yang kita gunakan untuk mengingat Allah? Lalu berapakah kira-kira jatah umur kita?

Lantas berapa pulakah usia kita yang tersisa? Kalau jatah umur kita 50 tahun, maka sudah satu miliar lima ratus lima puluh lima juta dua ratus ribu (1.555.200.000) detik kita habiskan untuk hidup di dunia fana ini. Kalau kurang dari 50 tahun, ayo kita hitung sendiri, begitu pula kalau lebih dari 50 tahun umur kita, mari kita bermuhasabah sendiri. Nah, kalau 11 bulan kita meninggalkan Allah, maka sudah tujuh ribu sembilan ratus dua puluh (7.920) jam atau setara dengan empat ratus tujuh puluh lima ribu dua ratus (475.200) menit kita membuat Allah menunggu kita menghadap kepada-Nya. Duh! Alangkah lamanya kita mengabaikan kehadiran-Nya dan alangkah beraninya kita melakukan ini semua!

Sepanjang detik yang kita lewati, sejak bangun di pagi hari hingga tidur di malam hari, hampir seluruh waktu yang ada kita gunakan hanya untuk diri kita sendiri. Seakan-akan Allah tak pernah hadir dalam penggalan kehidupan kita. Alangkah sabar-Nya Dia sebagai Maharaja, alangkah nistanya kita sebagai hamba. Alangkah besar dan luas kasih sayang-Nya, sampai-sampai kita masih mungkin dipertemukan dengan Ramadhan kembali. Bulan di mana ampunan-Nya malampaui besaran alam semesta ini, kasih sayang-Nya seluas yang kita angan-angankan, dan pahala yang Dia sediakan lebih dari cukup, agar kita bisa terhindar dari sergapan api pembalasan di akhirat kelak.

Sungguh! Setelah berjalan amat jauh, jauh dari nilai-nilai kebenaran, kini saatnya kita sebagai sebuah kumpulan budak-budak-Nya, harus berusaha sekuat daya yang tersisa, mengumpulkan serpihan-serpihan kesadaran ilahiyah secara bersama untuk mudik ke kampung halaman. Tak ada jalan paling elegan untuk ditempuh kecuali dengan taubat, apalagi kita dikenal sebagai bangsa yang religius dan amat menjunjung tinggi nilai-nilai religiusitas.

Sejatinya, kita termasuk bangsa yang paling aneh tetapi malah amat dicinta Allah SWT. Dalam serangkaian prahara yang bukan saja nyaris meluluhlantakkan eksistensi republik, Allah selalu turun tangan memberikan ma'unah-Nya agar republik tetap utuh. Sejarah bangsa ini juga sudah panjang lebar memberikan penjelasan secara tertulis. Tetapi, jarang sekali di antara kita sebagai bagian dari bangsa ini yang berkenan menyempatkan diri untuk bertafakkur, kenapa Allah tak pernah meninggalkan kita? Mengambil kesempatan barang sebentar dari banyak kesempatan yang dijatah Allah kepada kita, untuk bertafakkur dan bertadabbur atas kondisi ini, menjadi penting karena itu akan membuka kesadaran terbawah kita tentang makna kehadiran Ramadhan.

Tanpa itu, kita tak akan pernah mampu membalas jasa atas banyak ma'unah Allah. Alih-alih bisa membalas jasa, menyadari bahwa Allah wujud dalam kehidupan kita, sebuah pencapaian luar biasa. Pada saat-saat musibah datang beruntun, ketika sandang tidak mencukupi, di saat pangan jauh dari memadai dan begitu papan sudah habis dihempas bencana alam, maka betapa tak kuasanya kita, dan betapa butuhnya kita akan pertolongan Allah melalui kehadiran Ramadhan.

Betapa banyak saudara kita yang sebelas bulan lalu masih sempat menemani kita nyadran ke kuburan-kuburan leluhur, kini tak lagi bersama kita. Inilah kesempatan emas bagi kita untuk mensyukuri nikmat Ramadhan. Karena terlalu jauh kita meninggalkan garis Allah, maka kita mulai menyadari betapa sulitnya mencari jalan pulang. Ketika Nabi Ibrahim AS ditanya Allah, "Fa Aina Tadzhabun (hendak ke mana kalian pergi?)], maka ia lantas menjawab, Inni Dzaahibun Ilaa Robbii Sayahdiini (Sungguh hamba pergi menuju Tuhanku, maka Ia akan memberi hamba hidayat)".

Ketika itulah terasa betapa pentingnya arti Ramadhan bagi kita semua. Saudara-saudaraku! Ramadhan akan segera menemui kita hanya dalam hitungan hari. Mari kita sambut bulan penuh berkah ini dengan suka cita seperti pernah kita harapkan ketika kita shalat Idul Fitri tahun lalu. Bukan tidak mungkin tahun depan kita tidak akan bertemu Ramadhan lagi. Jangan-jangan ini adalah Ramadhan terakhir.

Ibarat kolam tempat membersihkan segala kotoran di tubuh kita, maka Ramadhan menyediakan sarana untuk pembersiahan diri. Kalau sepanjang sebelas bulan sebelumnya kita melupakan Allah, mengabaikan faqir miskin, alpa terhadap anak yatim dan merampas hak-hak mereka, tidak mengindahkan keluarga, kini saatnya kita berasyik masyuk dengan mereka. Semoga Allah menyayangi kita semua. Wallaahu A'lamu Bish Showaab.

(KH A Hasyim Muzadi )
********************************************************
Mailing List FUPM-EJIP ~ Milistnya Pekerja Muslim dan DKM Di kawasan EJIP
********************************************************
Ingin berpartisipasi dalam da'wah Islam ? Kunjungi situs SAMARADA :
http://www.usahamulia.net

Untuk bergabung dalam Milist ini kirim e-mail ke :
[EMAIL PROTECTED]

********************************************************

Kirim email ke