Apakah Kita Melaksanakan Hadits Shahih Saja?
- http://www.eramuslim.com/ust/hds/44da3f67.htm
- Kamis, 10 Agu 06 11:16 WIB
- Kirim Pertanyaan | Kirim teman
Assalamu'alaikum Bapak Ahmad Sarwat, rahmatullah wabarakalluh'alaika.
Saya mau bertanya tentang tingkatan hadits sebagai sumber hukum Islam,
apakah kita hanya melaksanakan hadits yang derajatnya paling shoheh dengan
meninggalkan yang lebih rendah sama sekali. Yang kedua apakah hadits di luar
riwayat Bukhori dan Muslim kurang (tidak ) shoheh?
Terima kasih jika bapak berkenan untuk menjawabnya.
Taohidin
taohid at eramuslim.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ketika ada
beberapa dalil hadits yang berbicara pada tema yang sama namun isinya saling
berbeda, maka ada beberapa cara yang bisa diterapkan, antara lain:
- Thariqatul Jam'i, yaitu menggabungkan keduanya sesuai dengan
esensi masing-masing dalil.
- Nasikh mansukh, yaitu melihat ke masa disampaikannya
masing-masing dalil, di mana yang datang belakangan lebih kuat dari yang
datang lebih dahulu.
- Al-'aam wal khash, yaitu mendahulukan hadits yang lebih erat
kaitannya dengan suatu masalah (lebih khusus) dari pada hadits yang bersifat
umum.
- Ar-riwayah, yaitu melihat riwayat untuk menilai derajat
keshahihan masing-masing hadits itu. Namun penilaian derajat keshahihan
suatu hadits bisa saja berbeda antara satu ulama dengan ulama lainnya.
Khusus masalah yang keempat ini bisa kita perjelas dengan keterangan
berikut ini:
Hadits berbeda dengan Al-Quran yang sudah pasti shahih 100% dan
diriwayatkan secara mutawatir (oleh banyak orang) dalam setiap level
(thabaqat)-nya. Sedangkan hadits, sebagiannya mutawatir dan
selebihnya tidak (hadits ahad). Tapi baik yang mutawatir maupun yang
ahad, bisa saja sama-sama shahih. Karena keshahihan suatu hadits tidak
semata-mata ditentukan oleh jumlah periwayat, melainkan oleh kualitas
periwayatnya itu sendiri.
Bisa saja suatu hadits hanya diriwayatkan oleh satu orang saja pada satu
thabaqat, tapi kualitasnya shahih.
Tetapi penting juga untuk dipahami bahwa status keshahihan suatu hadits
punya standar yang variatif. Seorang ahli hadits (muhaddits) bisa saja
punya standar yang berbeda dengan ahli hadits lainnya. Misalnya, Al-Bukhari
seringkali berbeda dalam penetapan keshahihan suatu hadits dengan Imam Muslim.
Terkadang mereka sepakat menshahihkan suatu hadits, tapi seringkali mereka
berbeda pendapat.
Ada banyak hadits yang dianggap shahih oleh Al-Bukhari tapi Imam Muslim
mengatakannya tidak shahih. Sebaliknya, banyak juga yang dishahihkan oleh Imam
Muslim tapi Al-Bukhari tidak menshahihkannya. Kalau kebetulan keduanya
sepakat, dinamakan hadits muttafaqun 'alihi.
Di luar kedua imam ahli hadits itu, ternyata masih banyak lagi ahli hadits
yang punya otoritas dan kapabilitas untuk menyatakan suatu hadits itu
shahih.
Hadits shahih selain yang dishahihkan oleh kedua imam itu termasuk bahan
baku berkualitas tinggi yang tidak bisa dianggap enteng. Apalagi bila kedua
imam itu tidak mencantumkannya di dalam kedua kitab mereka. Seperti yang
dilakukan oleh Al-Hakim, di mana beliau 'seolah' meneruskan apa yang telah
dirintis oleh Al-Bukhari, lantaran beliau menggunakan metodologi kritik hadits
yang digunakan Al-Bukhari dalam menshahihkan hadits yang oleh Al-Bukhari belum
dilakukan. Kitab beliau bernama Al-Mustadrak, yaitu kitab hadits shahih
sesuai syarat dari Bukhari.
Selain Al-Bukhari, Muslim, Al-Hakim, masih banyak kitab hadits lain yang
juga mengandung banyak hadits shahih. Yang paling masyhur adalah
kutubus-sittah (enam kitab).
Tetapi sebenarnya jumlah kitab hadits tidak terbatas pada yang enam itu
saja. Di luar yang enam itu, masih banyak sekali kitab-kitab hadits yang belum
terlalu dikenal umat Islam. Masih tersimpan rapi di berbagai perpustakaan di
pusat-pusat dunia Islam.
Syeikh Nashiruddin Al-Albani adalah salah satu di antara sekian banyak
ulama ahli hadits yang melakukan riset untuk memilah hadits-hadits shahih dan
hadits dhaif. Karya beliau banyak menghiasi perpustakaan di dunia Islam.
Bahan Baku dan Pengolahannya
Sumber-sumber hukum Islam ibarat bahan baku dari sebuah hidangan. Hidangan
akan memenuhi standar gizi dan standar rasa yang tinggi manakala dibuat dari
bahan yang berkualitas. Tentu saja bukan hanya sekedar bahan berkualitas yang
paling menentukan, tetapi juga keahlian juru masak dalam mengolah dan
menentuan kadar tiap-tiap bahan baku.
Kalau kita kaitkan dengan ilmu hadits dalam perspektif hukum Islam, maka
hadits-hadits itu ibarat salah satu bahan baku sebuah masakan. Semakin shahih
suatu hadits akan semakin meningkatkan mutu masakan tersebut.
Ketika bicara tetang hukum Islam, masih ada satu bagian pekerjaan maha
penting setelah kita bicara tentang keshahihan hadits, yaitu proses
istimbath ahkam. Proses ini jauh lebih rumit dari sekedar menilai
keshahihan suatu hadits. Yaitu dengan mulai mengumpulkan terlebih dahulu semua
dalil baik Quran atau sunnah yang sekiranya terkait dengan suatu masalah yang
ingin diketahui hukumnya. Sangat besar kemungkinan suatu dalil dengan dalil
lainnya saling bertentangan.
Dalam keadaan itu, para ulama mendahulukan proses al-jam'u terlebih
dahulu sebelum sampai kepada penolakan salah satunya. Sedangkan pertimbangan
tingkat keshahihan, bukan satu-satunya cara. Maksudnya, bila ada dua hadits,
yang satu lebih shahih dan yang lainnya satu derajat di bawahnya, meski masih
tetap dalam kelompok shahih, tidak serta merta yang kurang itu langsung
ditolak keberadaannya.
Pertimbangan lainnya, misalnya, masalah keumuman dan kekhususan suatu
dalil. Bisa saja ada suatu hadits yang shaih, tapi setelah diperdalam
redaksinya, ternyata masih bicara hal-hal yang bersifat umum. Sedangkan ada
hadits lainnya yang mungkin derajatnya lebih rendah, tapi sangat tepat pada
titik permasalahan yang dibahas. Maka dalam hal ini, dalil yang lebih khusus
lebih didahulukan ketimbang dalil yang bersifat umum.
Pertimbangan lainnya lagi misalnya masalah waktu wurud-nya suatu
dalil. Misalnya ada dalil yang keluar lebih dahulu akan dikoreksi oleh dalil
yang datang belakangan. Istilah yang sering digunakan adalah nasakh dan
mansukh.
Standar Pengambilan Hukum
Selama ini para shahabat, tabi'in dan para pengikutnya melakukan
istimbath hukum sesuai dengan nalar mereka masing-masing. Terkadang
antara metode yang digunakan seseorang dengan lainnya saling berbeda. Bahkan
tidak jarang juga terjadi ketidak-runtutan dalam setiap proses pengambilan
kesimpulan itu. Semua itu akibat belum adanya -waktu itu- sistematika baku
dalam proses pengambilan kesimpulan hukum.
Barulah setelah lahirnya imam As-Syafi'i (150-204 H) rahimahullah,
muncul metode yang sangat ilmiyah dan profesional yang bisa digunakan oleh
setiap faqih dan ahli syariah dalam proses mengambil kesimpulan hukum.
As-Syafi'i adalah orang yang pertama kali meletakkan dasar-dasar fiqih, sebuah
cabang ilmu yang paling asasi dan esensial dalam masalah pengambilan
kesempulan hukum. Ilmu itu kemudian kita kenal dengan ilmu ushul fiqih.
Mustahil seseorang bisa dikatakan sebagai ulama yang berhak mengeluarkan
fatwa hukum, apabila tidak mengerti ilmu ushul fiqih. Seperti yang juga
seringkali kita saksikan sekarang ini, seorang yang hanya sekedar baca kitab
matan hadits, lalu tiba-tiba berfatwa ini dan itu tentang hukum Islam. Ini
jelas menyesatkan bahkan merusak tatanan hukum Islam. Karena dia berfatwa
tanpa ilmu.
Padahal dasar-dasar metologi pengambilan kesimpulan suatu hukum tidak
pernah dikuasainya, apalagi ilmu-ilmu penunjangnya. Akhirnya jadilah taburan
fatwa yang terkadang terlalu mensimplifikasi masalah. Sebentar-sebentar bisa
keluar fatwa yang terlalu dipaksakan, sebab tidak lahir dari suatu proses
istimbath hukum yang baku dan profesional.
Kalau kita ibaratkan dengan masakan tadi, meski masakan itu terdiri dari
bahan baku yang berkualitas, namun cara mengolahnya tidak benar. Padahal tidak
mungkin umat ini langsung makan beras, atau sayuran mentah begitu saja yang
dipetik di ladang. Semua perlu di'siangi ' terlebih dahulu, dibuatkan
bumbu,ditakar kadarnya, diatur proses pengolahannya sehingga siap disantap
tanpa sakit perut.
Semua ini idealnya dilakukan oleh koki profesional, yang mengerti tentang
bahan baku yang baik, juga mengerti standar kebutuhan gizi dan mahir dalam
masalah pengolahan serta penyajiannya.
Kalau kita serahkan begitu saja seorang ahli hadits yang tahunya hanya
urusan shahih dan tidak shahih untuk berfatwa tentang hukum, sementara dia
tidak punya kapasitas dalam hal istimbath hukum, ibaratnya kita tidak makan
masakan, melainkan kita makan bahan-bahan mentah, beras mentah, tempe mentah,
daging mentah, sayuran mentas, yang belum tentu cocok untuk perut kita. Karena
standar gizi, pengolahan, penyajiandan ukurannya tidak jelas.
Kita butuh para koki ahli mengolah makanan yang memenuhi standar gizi dan
juga standar cita rasa yang tinggi. Mereka adalah para ulama syariah, yang
sudah pasti juga ahli hadits. Levelnya di atas dari para ahli hadits.
Sebagai perbandingan, Imam Asy-Syafi'i sebelum menjadi ahli fiqih dan
peletak dasar ilmu ushul fiqih, beliau berangkat dari seorang ahli hadits yang
mahir memilah dan memilih hadits shahih dan tidak shahih. Tapi itu saja belum
cukup, perlu adanya sistematika pengambilan kesimpulan hukum yang baku.
Sehingga setiap fatwa yang beliau keluarkan, meski kadang menyendiri,
sangat-sangat kuat fundamennya. Sulit untuk mematahkan hujjah-hujjah beliau
begitu saja, kalau memang paham urusan ilmu syariah.
Wallahua'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.