Aurat dan Jilbab
10/13/2001 - Arsip Fiqh
Rasulullah bersabda: “Ada dua golongan penghuni neraka yang aku
belum pernah melihatnya: Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang
mirip ekor sapi untuk memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian
namun telanjang dan berlenggak lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk
onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal
sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR.
Muslim)
Wanita-wanita yang digambarkan Rasul dalam hadis di atas
sekarang banyak sekali kita lihat. Bahkan itu sudah menjadi sesuatu yang
mentradisi dan dianggap lumrah. Mereka adalah wanita-wanita yang memakai pakaian
tapi telanjang. Sebab pakaian yang mereka kenakan tak dapat menutupi apa yang
Allah perintahkan untuk ditutupi.
Budaya barat adalah penyebab fenomena ini. Sebab pakaian yang
“tak layak” tersebut bukanlah merupakan budaya masyarakat Islam dan tidak pula
dikenal dalam tradisi masyarakat kita. Namun itu adalah hal baru yang lantas
diterima tanpa dikritisi. Tidak pula itu diuji dengan pertanyaan, bolehkah ini
menurut agama, atau baikkah ini bagi kita dan pertanyaan lain yang senada. Boleh
jadi karena perasaan rendah diri yang akut dan silau terhadap kemajuan barat
dalam beberapa hal akhirnya banyak di antara kita yang menerima budaya barat
dengan mata tertutup (atau sengaja menutup mata).
Namun di sana kita juga melihat fajar yang mulai terbit.
Kesadaran untuk kembali kepada budaya kita sendiri (baca: budaya berpakaian
islami) mulai tumbuh. Betapa sekarang kita banyak melihat indahnya kibaran
jilbab di mana-mana. Di kampus, di sekolah, di pasar dan bahkan di
terminal-terminal. Malah di beberapa negara barat (Inggris dan Jerman misalnya)
muslimah-muslimah pemakai jilbab tak lagi sulit ditemukan.
Jelasnya saat ini sudah tak ada lagi larangan untuk mengenakan
busana dan pakaian yang menutup aurat. Permasalahannya, apakah jaminan kebebasan
ini kemudian segera disambut oleh para muslimah kita dengan segera kembali
mengenakan pakaian takwa itu atau tidak. Yang pasti alasan dilarang oleh si ini
dan si itu kini tak berlaku lagi.
AURAT WANITA DAN HUKUM
MENUTUPNYA
Aurat wanita yang tak boleh terlihat di hadapan laki-laki lain
(selain suami dan mahramnya) adalah seluruh anggota badannya kecuali wajah dan
telapak tangan. Yang menjadi dasar hal ini adalah:
1. Al-Qur’an surat Annur:
“Dan katakanlah kepada
wanita-wanita yang beriman: ’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkkan khumur (Ind:
jilbab)nya ke dadanya…’”
Keterangan :
Ayat ini menegaskan empat hal:
a. Perintah
untuk menahan pandangan dari yang diharamkan oleh Allah.
b. Perintah untuk
menjaga kemaluan dari perbuatan yang haram.
c. Larangan untuk menampakkan
perhiasan kecuali yang biasa tampak. Para ulama mengatakan bahwa ayat ini juga
menunjukkan akan haramnya menampakkan anggota badan tempat perhiasan tersebut.
Sebab jika perhiasannya saja dilarang untuk ditampakkan apalagi tempat perhiasan
itu berada. Sekarang marilah kita perhatikan penafsiran para sahabat dan ulama
terhadap kata “…kecuali yang biasa nampak…” dalam ayat tersebut. Menurut Ibnu
Umar RA. yang biasa nampak adalah wajah dan telapak tangan. Begitu pula menurut
‘Atho,’ Imam Auzai dan Ibnu Abbas RA. Hanya saja beliau (Ibnu Abbas) menambahkan
cincin dalam golongan ini. Ibnu Mas’ud RA. mengatakan maksud kata tersebut
adalah pakaian dan jilbab. Said bin Jubair RA. mengatakan maksudnya adalah
pakaian dan wajah. Dari penafsiran para sahabat dan para ulama ini jelaslah
bahwa yang boleh tampak dari tubuh seorang wanita adalah wajah dan kedua telapak
tangan. Selebihnya hanyalah pakaian luarnya saja.
d. Perintah untuk
menutupkan khumur ke dada. Khumur adalah bentuk jamak dari khimar yang berarti
kain penutup kepala. Atau dalam bahasa kita disebut jilbab. Ini menunjukkan
bahwa kepala dan dada adalah juga termasuk aurat yang harus ditutup. Berarti
tidak cukup hanya dengan menutupkan jilbab pada kepala saja dan ujungnya
diikatkan ke belakang. Tapi ujung jilbab tersebut harus dibiarkan terjuntai
menutupi dada.
2. Hadis riwayat Aisyah RA, bahwasanya Asma binti Abu Bakar
masuk menjumpai Rasulullah dengan pakaian yang tipis, lantas Rasulullah
berpaling darinya dan berkata: “Hai Asma, seseungguhnya jika seorang wanita
sudah mencapai usia haid (akil baligh) maka tak ada yang layak terlihat kecuali
ini,” sambil beliau menunjuk wajah dan telapak tangan. (HR. Abu Daud dan
Baihaqi).
Keterangan :
Hadis ini menunjukkan dua hal:
a. Kewajiban
menutup seluruh tubuh wanita kecuali wajah dan telapak tangan.
b. Pakaian
yang tipis tidak memenuhi syarat untuk menutup aurat.
Dari kedua dalil di atas jelaslah batasan aurat bagi wanita,
yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan. Dari dalil tersebut
pula kita memahami bahwa menutup aurat adalah wajib. Berarti jika dilaksanakan
akan menghasilkan pahala dan jika tidak dilakukan maka akan menuai dosa.
Kewajiban menutup aurat ini tidak hanya berlaku pada saat solat saja namun juga
pada semua tempat yang memungkinkan ada laki-laki lain bisa melihatnya.
Selain kedua dalil di atas masih ada dalil-dalil lain yang
menegaskan akan kewajiban menutup aurat ini:
1. Dari Al-Qur’an:
a. “Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu melakukan tabarruj
sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliyyah dahulu…” (Qs. Al-Ahzab: 33).
Keterangan:
Tabarruj adalah perilaku mengumbar aurat atau
tidak menutup bagian tubuh yang wajib untuk ditutup. Fenomena mengumbar aurat
ini adalah merupakan perilaku jahiliyyah. Bahkan diriwayatkan bahwa ritual haji
pada zaman jahiliyyah mengharuskan seseorang thawaf mengelilingi ka’bah dalam
keadaan bugil tanpa memandang apakah itu lelaki atau perempuan.
Konteks ayat
di atas adalah ditujukan untuk istri-istri Rasulullah. Namun keumuman ayat ini
mencakup seluruh wanita muslimah. Kaidah ilmu ushul fiqh mengatakan: “Yang
dijadikan pedoman adalah keumuman lafadz sebuah dalil dan bukan kekhususan sebab
munculnya dalil tersebut (al ibratu bi umumil lafdzi la bikhususis sabab).
b. “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal dan oleh karenanya mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzab: 59).
Keterangan:
Jilbab dalam bahasa Arab berarti pakaian yang
menutupi seluruh tubuh (pakaian kurung), bukan berarti jilbab dalam bahasa kita
(lihat arti kata khimar di atas). Ayat ini menjelaskan pada kita bahwa menutup
seluruh tubuh adalah kewajiban setiap mukminah dan merupakan tanda keimanan
mereka.
2. Hadis Rasulullah, bahwasanya beliau bersabda:
“Ada dua
golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya: Laki-laki yang tangan
mereka menggenggam cambuk yang mrip ekor sapi untk memukuli orang lain dan
wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak lenggok. Kepalanya
bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula
mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak
sekian dan sekian.” (HR. Muslim)
Keterangan:
Hadis ini menjelaskan tentang ancaman bagi
wanita-wanita yang membuka dan memamerkan auratnya. Yaitu siksaan api neraka.
Ini menunjukkan bahwa pamer aurat dan “buka-bukaan” adalah dosa besar. Sebab
perbuatan-perbuatan yang dilaknat oleh Allah atau Rasul-Nya dan yang diancam
dengan sangsi duniawi (qishas, rajam, potong tangan dll) atau azab neraka adalah
dosa besar.
SYARAT PAKAIAN PENUTUP AURAT WANITA
Pada dasarnya seluruh
bahan, model dan bentuk pakaian boleh dipakai, asalkan memenuhi syarat-syarat
berikut
1. Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
2.
Tidak tipis dan tidak transparan
3. Longgar dan tidak memperlihatkan
lekuk-lekuk dan bentuk tubuh (tidak ketat)
4. Bukan pakaian laki-laki atau
menyerupai pakaian laki-laki.
5. Tidak berwarna dan bermotif terlalu
menyolok.Sebab pakaian yang menyolok akan mengundang perhatian laki-laki. Dengan
alasan ini pula maka maka membunyikan (menggemerincingkan) perhiasan yang
dipakai tidak diperbolehkan walaupun itu tersembunyi di balik pakaian.(Wallahu
a’lam bi ashshowab) (Ulil Amin).