Assalaamu'alaikum,
Maaf Bapak Budhi Setijono, Kalimat2 terakhir Bapak sungguhlah
menunjukkan suatu sikap kesombongan dan merasa diri Paling Benar sedang yang
lain Salah... berhati-hatilah dengan sikap yang demikian lha wong Bapak itu dan
termasuk pula kita2 yang banyak terlibat disini bukan siapa2 karena kita sama2
tidak tahu banyak tentang Hadits2, Fiqih, Tauhid dll nya kalaupun hafal mungkin
baru 1..2...3 atau masih terhitung dan itupun baru sekedar hafal saja
sementara Fahamnya....Wallahu A'lam, Lanaa a'maalunaa
walakum a'maalukum salaamun 'alaikum.
Mohon maaf sebelumnya,
Mht
Artikel di bawah mudah2an bisa membuat kita semakin
tawadhu'...amiin.
Assalamu'alaikum Kalau demikian berarti boleh dua - duanya baik dzikir
berjamaah maupun dzikir sendiri - sendiri dan yang paling enggak
boleh adalah ngeributin orang yang berdzikir.
Terima kasih
Pa' Wassalam
>Jawaban >Assalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh, > >Masalah yang anda tanyakan ini memang selalu menjadi
ajang perdebatan >seru sepanjang sejarah. Yaitu masalah zikir bersama
dengan satu >pimpinan. > >Penyebab perbedaan pendapat adalah
perbedaan cara mengambil kesimpulan >hukum dari nash-nash yang sama.
Artinya, dari segi dalil yang bersumber >kepada hadits-hadits nabawi yang
shahih, sudah tidak ada masalah, karena >semua sepakat merujuk kepada
hadits-hadits itu. > >Yang jadi masalah justru ketika masing-masing
ulama mengambil kesimpulan >setelah membaca hadits-hadits itu. Ternyata
hadits boleh saja sama-sama >shohih dan kepala boleh sama-sama hitam,
tetapi jalan berpikir belum >tentu sama. > >Walhasil, masalah
ini akan tetap selalu jadi ajang perbedaan pendapat di >kalangan para
ulama. > >Dalil-dalil yang Disepakati > >?????? ?????
?????????? ?????: ????? ??????? ???????? ??? ?????? ?????? >?????????,
??????????? ???????? ?????? ??????? ?????? ??????????????, >??????????????
???????????, ???????????? ??????? ??????? ???????? >?????????? ???????
? > >Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Tidaklah >suatu kaum duduk berzikir kepada Allah, kecuali melaikat
menaungi mereka >dan menaburi mereka dengan rahmah dan Allah menyebut nama
mereka >disisinya." (HR Muslim) > >As-Shan'ani dalam kitab
Subulussalam menjelaskan bahwa hadits ini >menunjukkan pada fadhilah
majelis zikir, juga fadhilah orang-orang yang >berzikir dan fadhilah
ijtima' (berkumpul) untuk berzikir bersama. > >- ???????? ?????:
????? ??????? ???????? ??? ?????? ?????? ????????? >???? ??????????
????????, ?????? ????????? ????? ??????????? ?????? >????? ??????????
???????? ?????? ????????????? ?????????? >???????????????, ???????,
"?????? > >Dari Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda, "Tidaklah >suatu kaum duduk tanpa berzikir kepada Allah SWT dan
tidak bershalawat >kepada nabi SAW, kecuali mereka mengalami kerugian di
hari kiamat." (HR >Tirmizy) > >Allah memiliki para malaikat
yang kerjanya berkeliling di jalan-jalan >mencari ahli zikir. Bila mereka
menemukan suatu kaum sedang berzikir >menyebut nama Allah SWT, mereka
berseru sesama mereka, "Kemarilah, >tunaikan hajat kalian". Mereka
mengelilingi dengan sayap mereka hingga >langit dunia. (HR
Bukhari) > >Perbedaan Pandangan > >Meski dalil-dalil di
atas sudah disekapati keshahihannya, namun tetap >saja muncul perbedaan
dalam memahaminya. > >Sebagian orang berpendapat bahwa dalil di atas
adalah dasar dari >dianjurkannya berzikir secara berjamaah dan di bawah
satu komando. >Seperti yang sering kita saksikan dalam acara dzikir
berjamaah, atau >dalam acara tahlilan dan
sejenisnya. > >Membaca dzikir al-ma'tsurat yang anda tanyakan itu
kira-kira bisa >disejajarkan dengan praktek yang mungkin sudah lama ada di
negeri kita. >Hanya bedanya, urutan lafadz dzikirnya sedikit berbeda,
karena disusun >oleh orang yang berbeda. > >Al-Ma'tsurat itu
disusun oleh Hasan Al-Banna, yang berisi zikir-zikir >yang pernah dibaca
oleh Rasulullah SAW, namun urutannya dan jumlahnya >tidak ada ketetapan
dari beliau SAW. Dan kalau mau didalami lagi, dzikir >yang pernah dibaca
beliau SAW tidak terbatas hanya pada yang disusun >oleh Al-Banna, tetapi
lebih banyak lagi. Dahulu beliau meminta kepada >para pendukung dakwahnya
untuk melazimkan diri selalu membaca dzikir ini >pada setiap pagi dan
petang, dengan urutan yang seperti itu bahkan >secara berjamaah
bersama-sama. > >Pemahaman yang Lain > >Sementara itu
ada sebagian ulama lain yang meski menerima hadits-hadits >di atas, namun
cara memahaminya sedikit berbeda. Sebagian mereka >mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan dzikir dalam hadits di atas >bukanlah bacaan-bacaan
dzikir, melainkan maksudnya adalah mengajarkan >ilmu-ilmu agama. Karena
makna dzikir itu mengingat, bukan
membunyikan >bacaaan. > >Sebagian lainnya mengataan memang
benar bahwa yang dimaksud dengan >dzikir pada hadits-hadits di atas
artinya memang melafadzkan >dzikir-dzikir dengan lisan. Namun tidak ada
penjelasan bahwa mereka >membacanya secara bersama-sama dengan suara keras
di bawah satu komando >dan irama-irama tertentu. Bagi mereka, berdzikir
bersama itu maksudnya >hanya sama-sama berdzikir masing-masing, tanpa
komando dan tanpa irama. > >Kebid'ahan yang mereka maksud adalah
ketika dzikir itu di bawah satu >komando dan satu irama. Termasuk juga
bila hanya melafazkan >urutan-urutan tertentu saja, sedangkan
dzikir-dzikir yang nabi ucapkan >tidak dengan urutan seperti
itu. > >Sebagian mereka juga menyoroti bahwa waktu-waktu dzikir yang
sering >disebutkan nabi adalah pagi dan siang hari, namun dalam pandangan
mereka >bukan berarti harus setiap habis shalat shubuh berjamaah.
Melazimkan >praktek seperti itu buat mereka sudah dianggap menciptakan
tren ibadah >tersendiri, dan hal itu sangat dekat dengan
bid'ah. > >Sikap Kita > >Tentu saja kita sangat
menghargai cara pandang masing-masing ulama. >Boleh jadi apa yang mereka
katakan ada benarnya, meski mungkin saja juga >mengandung kesalahan. Dan
boleh jadi, pendapat ulama lainnya pun >demikian. > >Selama
suatu dalil masih mengandung kemungkinan multi tafsir, rasanya >agak sulit
buat kita untuk main hakim dan menjatuhkan vonis bid'ah
dan >sejenisnya. > >Karena fiqih Islam itu luas dan terdiri
dari banyak pendapat. Kalaulah >kita ingin berpendapat dan yakin bahwa
pendapat kita ini paling benar, >maka sebaiknya kita mengatakan bahwa
pendapat saya ini benar namun ada >kemungkinan mengandung kesalahan. Dan
pendapat orang lain menurut saya >salah tapi ada kemungkinan mengandung
kebenaran. > >Itulah etika seorang faqih yang ilmunya mendalam.
Bukan asal tuding >bid'ah, sesat, fasik atau mulhid. Karena kita tidak
pernah diajarkan >untuk melakukan hal itu sejak pertama kali berkenalan
dengan syariat >Islam. Wilayah fiqih Islam adalah wilayah ijtihad, di mana
seorang >mujtahid akan mendapat 2 pahala bila benar pendapatnya dan 1
pahala bila >salah. > >Kalau kita setuju dengan suatu pendapat, kita boleh
mengikutinya tanpa >harus mengejek orang lain yang pendapatnya tidak sama
dengan kita. Kita >juga boleh memilih untuk tidak mengikuti suatu pendapat
tanpa harus juga >merasa bersalah karena pilihan kita tidak sama dengan
pilihan teman kita >sendiri. > >Wallahu a'lam
bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, > >Ahmad
Sarwat, Lc.
----- Original Message -----
Sent: Saturday, October 07, 2006 8:56
AM
Subject: Re: [ FUPM-EJIP ] Hadist tentang
zikir berjamaah
" Selanjutnya, hadis dhaif menurut ijma para ulama tidak bisa
dijadikan sebagai landasan amal. Hadis dhaif hanya diperbolehkan dalam
sejumlah hal yang terkait dengan fadha'il al-amal (tentang keutamaan amal)
serta dalam rangka targhib (memberi rangsangan) dan al-Tarhib (memberikan
ancaman).. Itupun dengan syarat-syarat yang harus diperhatikan. "
PENDAPAT BEBERAPA
ULAMA TENTANG HADITS-HADITS DHAIF UNTUK FADHAA-ILUL A'MAAL [KEUTAMAAN
AMAL]
Di kalangan ulama, ustadz dan kyai sudah tersebar bahwa
hadits-hadits dhaif boleh dipakai untuk fadhaa-ilul amaal. Mereka menyangka
tentang bolehnya itu tidak ada khilaf di antara ulama. Ada beberapa
pakar hadits dan ulama-ulama ahli tahqiq yang berpendapat bahwa hadits dhaif
tidak boleh dipakai secara mutlak, baik hal itu dalam masalah ahkam
(hukum-hukum) maupun fadha-il.
[a]. Syaikh Muhammad Jamaluddin
al-Qasimi menyebutkan dalam kitabnya, Qawaaidut Tahdits: Hadits-hadits dhaif
tidak bisa dipakai secara mutlak untuk ahkaam maupun untuk fadhaa-ilul amaal,
hal ini disebutkan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam kitabnya, Uyunul Atsar, dari
Yahya bin Main dan disebutkan juga di dalam kitab Fat-hul Mughits. Ulama yang
berpendapat demikian adalah Abu Bakar Ibnul Araby, Imam al-Bukhari, Imam
Muslim dan Imam Ibnu Hazm. [Qawaaidut Tahdits min Fununi Musthalahil Hadits,
hal. 113, tahqiq: Muhammad Bahjah al-Baithar]
[b]. Menurut Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albany rahimahullah (Ahli Hadits zaman sekarang ini),
ia berpendapat: Pendapat Imam al-Bukhari inilah yang benar dan aku tidak
meragukan tentang kebenarannya. [Tamaamul Minnah fii Taliq ala Fiqhis
Sunnah hal. 34, cet. Daarur Rayah, th. 1409 H]
Menurut para ulama,
hadits dhaif tidak boleh diamalkan, karena:
Pertama. Hadits dhaif
hanyalah mendatangkan sangkaan yang sangat lemah, orang mengamalkan sesuatu
dengan prasangka, bukan sesuatu yang pasti diyakini. Firman
Allah:
Artinya : Sesungguhnya sangka-sangka itu sedikit pun tidak bisa
mengalahkan kebenaran. [Yunus: 36]
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda:
"Artinya : Jöauhkanlah dirimu dari sangka-sangka, karena
sesungguhnya sangka-sangka itu sedusta-dusta perkataan. [HR. Al-Bukhari (no.
5143, 6066) dan Muslim (no. 2563) dari Abu Hurairah radhiyallahu
anhu]
Kedua. Kata-kata fadhaa-ilul amaal menunjukkan bahwa
amal-amal tersebut harus sudah ada nashnya yang shahih. Adapun hadits dhaif
itu sekedar penambah semangat (targhib), atau untuk mengancam (tarhiib) dari
amalan yang sudah diperintahkan atau dilarang dalam hadits atau riwayat yang
shahih.
Ketiga. Hadits dhaif itu masih meragukan, apakah sabda
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam atau bukan. Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam bersabda:
"Artinya Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu
(menuju) kepada yang tidak meragukan. [HR. Ahmad (I/200), at-Tirmidzi (no.
2518) dan an-Nasa-i (VIII/327-328), ath-Thabrani dalam al-Mujamul Kabir (no.
2708, 2711), dan at-Tirmidzi berkata, Hadits hasan
shahih.]
Keempat. Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang
perkataan Imam Ahmad, Apabila kami meriwayatkan masalah yang halal dan haram,
kami sangat keras (harus hadits yang shahih), tetapi apabila kami meriwayatkan
masalah fadhaa-il, targhiib wat tarhiib, kami tasaahul (bermudah-mudah). Kata
Syaikhul Islam: Maksud perkataan ini bukanlah menyunnahkan suatu amalan
dengan hadits dhaif yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, karena masalah
sunnah adalah masalah syari, maka yang harus dipakai pun haruslah dalil
syari. Barangsiapa yang mengabarkan bahwa Allah cinta pada suatu amalan,
tetapi dia tidak bawakan dalil syari (hadits yang shahih), maka sesungguhnya
dia telah mengadakan syariat yang tidak diizinkan oleh Allah, sebagaimana dia
menetapkan hukum wajib dan haram.[ Majmuu Fataawaa, oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah (XVIII/65).]
Kelima. Syaikh Ahmad Muhammad Syakir
menerangkan tentang maksud perkataan Imam Ahmad, Abdurahman bin Mahdi dan
Abdullah Ibnul Mubarak tersebut, beliau berkata, Bahwa yang dimaksud
tasaahul (bermudah-mudah) di sini ialah mereka mengambil hadits-hadits hasan
yang tidak sampai ke derajat shahih untuk masalah fadhaa-il. Karena istilah
untuk membedakan antara hadits shahih dengan hadits hasan belum terkenal pada
masa itu. Bahkan kebanyakan dari ulama mutaqadimin (ulama terdahulu) hanyalah
membagi derajat hadits itu kepada shahih atau dhaif saja. (Sedang yang
dimaksud dhaif itu sebagiannya adalah hadits hasan yang bisa dipakai untuk
fadhaa-ilul amaal-pen). [Baaitsul Hatsits Syarah Ikhtishaar Uluumil Hadiits,
oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir (hal 87), cet. III Maktabah Daarut Turats,
th. 1979 M/1399 H atau cet. I Daarul Ashimah, taliq: Syaikh
al-Albany]
Sebagai tambahan dan penguat pendapat ulama yang tidak
membolehkan dipakainya hadits dhaif untuk fadhaa-ilul amaal. Saya bawakan
pendapat Dr. Subhi Shalih, ia berkata: Menurut pendapat agama yang tidak
diragukan lagi bahwa riwayat lemah tidak mungkin untuk dijadikan sumber dalam
masalah ahkam syari dan tidak juga untuk fadhilah akhlaq (targhib wat
tarhib), karena sesungguhnya zhan atau persangkaan tidak bisa mengalahkan yang
haq sedikit pun. Dalam masalah fadhaa-il sama seperti ahkam, ia termasuk
pondasi agama yang pokok, dan tidak boleh sama sekali bangunan pondasi ini
lemah yang berada di tepi jurang yang dalam. Oleh karena itu, kita tidak bisa
selamat bila kita meriwayatkan hadits-hadits dhaif untuk fadhaa-ilul amaal,
meskipun sudah disebutkan syarat-syaratnya. [ Lihat Uluumul Hadiits wa
Musthalaahuhu (hal. 211), oleh Dr. Subhi Shalih, cet. 1982
M]
SYARAT-SYARAT DITERIMANYA HADITS DHA'IF UNTUK FADHAA-ILUL
A'MAAL
Di atas sudah saya kemukakan bahwa pendapat yang terkuat adalah
pendapat Imam al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazm tentang tidak diterimanya
hadits dhaif untuk fadhaa-ilul amaal. Akan tetapi tentunya sejak dulu sampai
hari ini masih saja ada ulama yang memakainya. Oleh karena itu, saya bawakan
pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany tentang syarat-syarat diterimanya
hadits dhaif untuk fadhaa-ilul amaal, beliau berkata: Sudah masyhur di
kalangan ulama bahwa ada di antara mereka orang-orang yang tasaahul
(bermudah-mudah/menggampang-gampangkan) dalam membawakan hadits-hadits
fadhaa-il kendatipun banyak di antaranya yang dhaif bahkan ada yang maudhu
(palsu). Oleh karena itu wajiblah atas ulama untuk mengetahui syarat-syarat
dibolehkannya beramal dengan hadits dhaif, yaitu ia (ulama) harus
meyakini bahwa itu dhaif dan tidak boleh dimasyhurkan agar orang tidak
mengamalkannya yakni tidak menjadikan hadits dhaif itu syariat atau mungkin
akan disangka oleh orang-orang jahil bahwa hadits dhaif itu mempunyai Sunnah
(untuk diamalkan). [Tamaamul Minnah hal. 36.]
Syaikh Muhammad
bin Abdis Salam telah menjelaskan hal ini dan hendaklah seseorang berhati-hati
terkena ancaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam (hadits Samurah di
atas). Bila sudah ada ancaman ini bagaimana mungkin kita akan mengamalkan
hadits dhaif?
Dalam hal ini (ancaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam) terkena bagi orang yang mengamalkan hadits dhaif dalam masalah ahkam
(hukum-hukum) ataupun fadhaa-ilul amaal, karena semua ini termasuk syariat.
[Tabyiinul Ajab (hal. 3-4) dinukil oleh Syaikh al-Albany dalam Tamamul Minnah
(hal. 36)]
Al-Hafizh as-Sakhawy, murid al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany
t, beliau berkata: Aku sering mendengar syaikhku (Ibnu Hajar) berkata:
Syarat-syarat bolehnya beramal dengan hadits dhaif:
[1]. Hadits itu
tidak sangat lemah. Maksudnya, tidak boleh ada rawi pendusta, atau dituduh
berdusta atau hal-hal yang sangat berat kekeliruannya. [2]. Tidak boleh
hadits dhaif jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah
shahih. [3]. Tidak boleh hadits itu dimasyhurkan, yang akan ber-akibat
orang menyandarkan kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam apa-apa yang
tidak beliau Shallallahu alaihi wa sallam sabdakan.
Imam as-Sakhawi
berkata: Syarat-syarat kedua dan ketiga dari Ibnu Abdis Salam dan dari
shahabatnya Ibnu Daqiqiil Ied.
Imam Alaiy berkata: Syarat pertama
sudah disepakati oleh para ulama hadits. [ Lihat al-Qaulu Badi fii Fadhlish
Shalah alal Habibisy Syafii (hal. 255), oleh al-Hafizh as-Sakhawi, cet.
Daarul Bayan Lit Turats]
Bila kita perhatikan syarat pertama saja, maka
kewa-jiban bagi ulama dan orang yang mengerti hadits, untuk menjelaskan kepada
ummat Islam dua hal yang penting:
Pertama. Mereka harus dapat
membedakan hadits-hadits dhaif dan yang shahih agar orang-orang yang
menga-malkannya tidak meyakini bahwa itu shahih, hingga mereka tidak terjatuh
ke dalam bahaya dusta atas nama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Kedua. Mereka harus dapat membedakan hadits-hadits yang sangat
lemah dengan hadits-hadits yang tidak sangat lemah.
Bagi para ulama,
ustadz, dan kyai yang masih bersikeras bertahan untuk tetap memakai
hadits-hadits dhaif untuk fadhaaa-ilul amaal, saya ingin ajukan pertanyaan
untuk mereka: Sanggupkah mereka memenuhi syarat pertama, kedua dan ketiga
itu? Bila tidak, jangan mereka mengamalkannya. Kemudian apa sulitnya bagi
mereka untuk mengambil dan membawakan hadits-hadits yang shahih saja yang
terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dan kitab-kitab hadits
lainnya. Apalagi sekarang -alhamdulillah- Allah sudah mudahkan adanya
kitab-kitab hadits yang sudah dipilah-pilah antara yang shahih dan yang
dhaif. Dan kita berusaha untuk memiliki kitab-kitab itu, sehingga dapat
membaca, memahami, mengamalkan dan menyampaikan yang benar kepada ummat
Islam.
Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober
2004M]
******************************************************** Mailing
List FUPM-EJIP ~ Milistnya Pekerja Muslim dan DKM Di kawasan
EJIP ******************************************************** Ingin
berpartisipasi dalam da'wah Islam ? Kunjungi situs SAMARADA
: http://www.usahamulia.net
Untuk bergabung dalam Milist ini kirim
e-mail ke
: [EMAIL PROTECTED]
********************************************************
|