Tadabbur 20 : Melatih Anak Shoum Sejak
Dini Rabu, 11 Oktober 06 - oleh :
Redaksi
Shaum di bulan Ramadhan bagi anak-anak belum
baligh bukanlah suatu kewajiban. Ulama salaf, seperti Ibnu Sirin dan Az-Zuhri
memandangnya sebagai sunnah. Imam Syafii berpendapat, anak-anak bila orang
tua mereka telah memandang memiliki kondisi dan kemampuan yang memadai - perlu
dan penting sejak dini diperintahkan melaksanakan shaum, tetapi bukan sebagai
kewajiban syari bagi anak melainkan sebagai pelajaran (baca: latihan dan
pembiasaan). (Al-Katani: Mujamu Fiqh as-Salafi: 52).
Pendidikan anak
sejak dini merupakan salah satu central issue yang yang mendapat perhatian besar
dalam Islam. Pendidikan adalah satu-satunya pintu membentuk generasi bangsa yang
memiliki karakter salimul aqidah (aqidah yang bersih), shahihul ibadah (ibadah
yang benar), matinul khuluq (akhlak yang kokoh), mutsaqaful fikri (wawasan
berfikir yang luas), qawiyul jismi (jasmani yang sehat dan kuat) dan nafiun
lighairihi (bermanfaat bagi orang lain). Meminjam pernyataan M. Natsir (Kapita
Selekta) yang mengatakan, Maju Mundurnya sebuah bangsa sangat tergantung dari
pendidikan yang diselenggarakan bangsa itu .
Al-Quran, dalam banyak
ayat, memerintahkan para orangtua untuk sejak dini mendidik anak-anaknya:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata pada anaknya, diwaktu ia memberi
pelajaran kepada anaknya, Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.
(Luqman: 13)
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari mengerjakan perbuatan yang
munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu, termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan
dimuka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.
(Luqman: 19).
Demikian juga halnya dengan pelatihan dan pembiasaan shaum
bagi anak-anak. Rasulullah SAW, seperti diriwayatkan Rabi binti Muawwidz ra.,
pada suatu pagi di hari Asy-Syura, beliau menulis surat kepada penduduk dusun di
sekitar kota Madinah, yang dihuni kaum Anshar:
Barang siapa yang
pagi-pagi dalam keadaan berpuasa hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Barang
siapa pagi-pagi sudah dalam keadaan berbuka, hendaklah selebihnya ia
sempurnakan. (Kemudian kaum Anshar ): Setelah itu kami selalu berpuasa pada
hari asy-Syura dan menyuruh anak-anak kecil kami untuk ikut berpuasa. Kami pergi
ke masjid. Kami buatkan mereka mainan dari bulu. Apabila ada diantara mereka
yang menangis karena minta makanan, kami berikan mainan tersebut kepadanya,
hingga hal itu berlangsung sampai waktunya berbuka . (HR Bukhari dan Muslim).
Pada masa khalifah Umar bin Khattab, anak-anak sudah lazim melaksanakan
puasa. Kesimpulan yang dapat kita cuplik dari hadits yang menceritakan Umar
marah besar kepada orang yang mabuk di bulan Ramadhan, Celaka kau, sedangkan
anak-anak kecil kami saja menunaikan puasa. (Bukhari, Bab Shaum as-Shibyan,
29-30)
Sungguh benar, shaum (ataupun ibadah-ibadah lainnya) belum
menjadi suatu kewajiban syariah bagi anak-anak, karena mereka belum berstatus
mukallaf. Tetapi, berdasar nash-nash Al-Quran dan hadits, merupakan kewajiban
syariah kepada setiap orang tua untuk mendidik, melatih, dan membiasakan mereka
sejak dini untuk melakukan shaum (dan ibadah-ibadah lainnya) sesuai dengan
kemampuan mereka, sebagai upaya persiapan bagi mereka bila saatnya tiba dimana
ibadah itu telah wajib mereka tunaikan, maka tidak ada suatu beban ataupun
keberatan lagi pada mereka apalagi adanya penolakan.
Melatih Berpuasa
Sesuai Dengan Kemampuan dan Kondisi Anak
Pada masa kini, tumbuh
suatu anggapan bahwa tindakan para orang tua kaum muslimin memerintahkan anak
berpuasa merupakan tindakan kekerasan orang tua pada anak. Suatu anggapan yang
tidak memiliki dasar pengetahuan apa pun. Karena, pertama: melatih anak berpuasa
tidak sama dengan mewajibkan mereka berpuasa. Rasulullah saw. menegaskan:
Tidak ada kewajiban syari bagi anak-anak yang belum baligh. Kedua, dalam
melatih anak berpuasa, harus mempertimbangkan kondisi dan kemampuan anak.
Al-Quran menegaskan: Allah swt. tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya (Al-Baqarah: 286).
Dua prinsip di atas sangat
gamblang mengimplikasikan bahwa tidak boleh ada unsur paksaan dan kekerasan
dalam mendidik anak. Akan tetapi justru sebaliknya, harus memperhatikan kondisi
dan kemampuan anak serta mengupayakan cara-cara memotivasi dan membuat mereka
gembira saat mereka latihan berpuasa.
Para ulama mengkaji soal kondisi
dan kemampuan anak melakukan latihan shaum. Usia anak dapat dijadikan indikator
dari kondisi dan kemampuan anak. Ilmu Psikologi Perkembangan misalnya, telah
dapat mengindentifikasi perkembangan kemampuan fisik dan mental anak pada
umumnya dalam fase-fase usia tertentu.
Menjawab kapan atau pada usia
berapa anak sudah dapat dianggap mampu dilatih menunaikan shaum?. Berikut
sekilas penjelasan para ulama yang penulis komentari dari sisi psikologi dan
sedikit contoh teknis penerapannya.
Imam Syafii, bersandar pada hadits
Rasulullah yang memerintahkan para orang tua untuk menyuruh anak-anak mereka
melaksanakan shalat pada usia 7 tahun dan memukul mereka karena meninggalkan
shalat saat usia mereka menginjak sepuluh tahun. Karena, anak dalam batas usia 7
tahun sampai dengan sepuluh tahun sudah dapat dilatih melaksanakan shaum.
Sedangkan Ishaq membatasi sampai dengan usia 12 tahun. Imam Ahmad
membatasi pada usia 10 tahun. Batasan usia itu sesungguhnya merupakan patokan
dasar bagi para orang tua menilai kondisi dan kemampuan anak untuk melaksanakan
suatu kewajiban. (Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah Li Al-Thifli, 194)
Meski secara fisik dan psikologis, lazimnya anak pada usia 6 10 tahun
ia dipandang telah memiliki kesiapan yang memadai untuk melakukan shaum, tetapi
orang tua mesti pula menilai kondisi dan kemampuannya saat itu. Imam Auzai
memberi panduan: Jika ia (anak-anak) mampu menunaikan puasa pada tiga hari
pertama secara berturut-turut dan tidak merasa lemas, maka perintahkanlah untuk
berpuasa selanjutnya.
Dengan demikian, dapat saja orang tua membagi
tahapan puasa menurut kondisi dan kemampuan anak. Misal, puasa dari mulai saat
shubuh sampai dengan waktu Zhuhur, kemudian dilanjutkan atau ditingkatkan sampai
dengan waktu Ashar. Baru kemudian meningkat sampai tahap sempurna, berpuasa dari
mulai waktu shubuh sampai dengan maghrib.
Meski anak memiliki kondisi
dan kemampuan yang cukup prima untuk melaksanakan shaum, tetapi motivasi dari
orang tua sangat diperlukan agar kekuatan dan kemauannya menunaikan puasa itu
tetap terjaga. Seperti yang dilukiskan kaum Anshar di Madinah saat puasa
Asyura, para orang tua mengajak anak-anak mereka ke masjid, membuatkan mainan
untuk mereka dan mengajak mereka bermain bersama.
Hemat penulis, ini
merupakan sebuah cara memotivasi anak dan mengalihkan atau menjauhkan perhatian
anak pada segala sesuatu yang mengingatkan ia pada rasa lapar, seperti kegiatan
memasak yang dilakuan ibunya di rumah dan aroma masakan yang dapat mengundang
rasa lapar anak. Juga merupakan cara menciptakan kendala bagi anak untuk tidak
dengan mudah ia mengambil makanan dari dalam rumah.
Dengan bersandar
dari riwayat di atas, maka cara-cara lain yang dianjurkan kepada para orang tua
untuk memotivasi anaknya mau berpuasa, antara lain adalah menyiapkan kata-kata
pujian yang menunjukkan orang tua merasa bangga memiliki anak yang meski masih
kecil mampu melaksanakan puasa seperti layaknya orang dewasa. Memberitahu mereka
bahwa Allah swt. dan Rasulullah sangat menyenangi anak-anak kecil yang melakukan
ibadah puasa. Memberikan hadiah mainan yang mendidik dan dapat melenakan ia dari
keinginannya untuk berbuka. Tentu saja masih banyak variasi dari cara-cara ini.
Tips Kegiatan Anak di Bulan Ramadhan
Dengan bersandar
pada sunnah Rasulullah saat menyambut maupun aktivitas beliau di bulan Ramadhan,
dapat direfleksikan ke dalam kegiatan anak di bulan Ramadhan, sebabagai berikut:
- Mengadakan kegiatan kolosal anak-anak di lingkungan
tempat tinggal atau wilayah yang lebih luas, seperti pembudayaan membersihkan
dan menghias rumah dan lingkungan dalam rangka menyambut bulan Ramadhan dan
festival pawai menyambut Ramadhan. Aktivitas ini dimaksudkan untuk memberikan
rasa kegembiraan kepada anak dengan tibanya bulan Ramadhan.
- Membudayakan kegiatan saling meminta dan memberi maaf
di antara anak-anak baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti
melalui surat, telepon, sms, e-mail dengan kata dan ilustrasi gambar yang
indah atau lucu. Kegiatan ini merupakan salah satu cara agar anak memiliki
kecerdasan emosi dan sosial dalam pergaulannya.
- Mengadakan ifthar jamai (buka puasa bersama) baik
dalam keluarga mapun lingkungan yang lebih besar seperti di masjid atau di
sekolah. Kegiatan ini akan menjadi sebuah kesempatan yang dapat menggembirakan
anak-anak dalam melaksanakan puasa dan mempererat persahabatan antar mereka.
- Menghidupkan sunnah-sunnah Rasul di bulan Ramadhan
dalam keluarga atau di sekolah dan masjid, seperti: melaksanakan shalat
tarawih, membaca quran, shalat dhuha, memberi shadaqah dan sebagainya yang
dapat dimodifikasi dengan selingan, misalnya pembacaan cerita atau permainan
lainnya. Kegiatan ini diharapkan dapat memperkenalkan sunnah-sunnah Rasul di
bulan Ramadhan kepada anak-anak dengan cara yang menggembirakan.
- Melibatkan anak-anak dalam kepanitiaan penerimaan dan
penyaluran zakat, infaq dan shadaqah. Insya Allah melalui kegiatan ini
anak-anak terlatih kepekaan sosialnya dan mengembangkan potensi
kepemimpinannya.
- Mengadakan aneka perlombaan dalam berbagai bidang,
seperti: lomba puasa, tahsin dan tahfizh al-Quran, lomba berdoa, lomba
busana muslimah, lomba melukis yang berkaitan dengan suasana Ramadhan, lomba
kaligrafi, lomba melantunkan nasyid, cerpen atau puisi-puisi religius, dan
lain-lain. Melalui kegiatan ini, diharapkan semakin kental dalam jiwa anak
bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang menyenangkan dan bulan yang memberi
mereka pengalaman yang banyak dalam mengembangkan potensi dan kemampuan
mereka.
- Mengikutsertakan anak-anak dalam aktivitas itikaf yang
dikelola khusus untuk anak-anak agar tidak mengganggu kegiatan itikaf orang
tua mereka. Insya Allah kegiatan ini akan semakin melekatkan jiwa mereka pada
masjid.
Tentu para orang tua akan tidak
pernah kehabisan cara dalam memotivasi anak agar mau melaksanakan latihan puasa
dengan cara-cara yang menggembirakan dalam berbagai bentuk kegiatan.
Manfaat Shaum Bagi Anak
Banyak manfaat yang dapat dipetik
dari latihan puasa bagi anak, antara lain:
- Anak mempraktikkan dengan pengalaman langsung bahwa ia
akan selalu merasa diperhatikan oleh Allah swt. Dengan demikian, ia akan
berusaha berlaku jujur dan ikhlash dalam berkata, bersikap dan melakukan apa
pun. Sesungguhnya, pendidikan yang paling efektif adalah dengan mengalami
secara langsung.
- Anak terlatih sabar dalam mengendalikan potensi
emosinya. Jiwa anak yang lebih mengedepankan emosinya dan belum mampu berfikir
kedepan, terutama saat menghendaki sesuatu atau konflik dengan teman, akan
teredam melalui shaum.
- Anak terlatih dalam kemampuan mengendalikan segala
keinginannya. Shaum melatih anak tidak bersikap konsumerisme, menjauh dari
pandangan materialistik, apalagi perilaku hedonis.
- Melatih anak memiliki pandangan ke depan dan sikap
pejuang. Salah satu ukuran anak memiliki kecerdasan emosi yang tinggi adalah
kemampuan ia menunda kenikmatan sementara untuk mencapai kenikmatan jangka
panjang. Daniel Goleman, pencetus teori kecerdasan emosi mempopulerkan
marshmallow test.
Dari hasil tes itu ditemukan bahwa anak yang mampu
menunda menyantap marsmallow dengan menunggu beberapa saat sang peneliti
kembali ke ruangan, agar mereka mendapat marsmallow lebih banyak daripada
mereka yang menyantap langsung, ternyata sampai dengan SMU anak-anak ini
memiliki prestasi 200 poin lebih tinggi dari teman-temannya yang menyambar
langsung marsmallownya.
- Mendidik anak mensyukuri nikmat Allah swt. melalui
berbagai aktivitas ibadah vertikal dan sosial.
Tentu saja, para pembaca
dapat menambahkan lagi sejumlah manfaat lain yang berimplikasi pada
peningkatan potensi dan kemampuan anak sesuai dengan kajian atau disiplin ilmu
masing-masing, seperti dari sisi kesehatan, pendidikan dan
lain-lain. Wallahualamu bish-showab.
Sumber : 30 Tadabur Ramadhan - Menjadi Hamba Rabbani -
IKADI
|