http://www.eramuslim.com

Cara Menyikapi Hadits yang Berbeda-Beda
Senin, 13 Nov 06 10:56 WIB Kirim Pertanyaan | Kirim teman 
Assalamualaikum wr. wb.

Ustadz Ahmad Sarwat yang mudah-mudahan terus dirahmati ALLAH.
Begini ustadz, saya ingin menanyakan mengenai adanya hadits yang
subtansinya sama tapi hukum yang dihasilkannya berbeda semisal hadist
mengenai pemakain semir rambut, satu sisi ada ulama yang mengatakan
makruh, sisi lainya haram.

Dengan keadaan seperti ini bagaimana kita menyikapinya (mana yang harus
dijadikan panutan)? Demikian ustadz, atas terjawabnya pertanyaan saya
ini, saya sampaikan terima kasih.

Mochamad Junus
mojun at eramuslim.com 

Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebenarnya perbedaan esensi dalil-dalil itu bukan sesekali kebetulan
kita temukan, tetapi seringkali kali, bahkan boleh jadi tiap kali.

Lakukanlah eksperimen sederhana. Anda buka kitab hadits ahkam tertentu,
misalnya Bulughul Maram karya Al-Hafidz Ibnu Hajar
Al-'Asqalanirahimahullah kita akan menemukan banyak kebingungan.

Mengapa?

Karena hadits-hadits itu meski diletakkan secara berurutan, tetapi acap
kali satu hadits dengan hadits lainnya justru saling bertentangan. Dan
demikian selalu yang terjadi di tiap sepanjang bab hingga akhir kitab.

Lalu bagaimana kita harus bersikap? Hadits yang mana yang harus kita
pilih? Mengapa Ibnu Hajar tidak menuliskan hadits yang satu versi saja
biar kita tidak bingung?

Untuk menjawab masalah ini, kita harus tahu bahwa memang demikianlah
permasalahan besar di dalam ilmu syariah. Ternyata slogan kembali kepada
Quran dan sunnah tidak sesederhana mengucapkannya.

Ternyata untuk bisa merujuk kepada kedua sumber agama itu, tidak cukup
hanya dengan membaca sekilas terjemahan masing-masing. Karena ada begitu
banyak ayat dan hadits terkait dengan masalah hukum. Kadang satu dengan
yang lain saling berbeda, bahkan terjadi ta'arudh (saling pertentangan).
Padahal semua diakui bersumber dari nabi SAW juga.

Maka di situlah peran ijtihad para ulama selalu diperlukan, bahkan bukan
satu atau dua ijithad, dibutuhkan sistematika dalam berijtihad, agar
kita betul-betul menerima hasil akhir yang siap pakai. Maka peran mazhab
fiqih dan metode istimbath hukum menjadi mutlak diperlukan. Tidak cukup
hanya berbekal mushaf dan kitab hadits saja, tetapi lebih dari itu, kita
butuh hasil kajian ilmiyah para ulama serta arahan dan argumentasi
mereka atas semua dalil yang beragam itu.

Maka kita patut mengucapkan terima kasih atas jasa para ulama di masa
lalu yang telah mencurahkan segala daya dan upaya untuk meretas jalan.
Kita hanya tinggal berjalan di belakang mereka dengan mudah, bahkan
tinggal memilih saja.

Ibarat software, sudah ada wizardnya, kita tinggal install dan sedikit
melakukan konfigurasi di sana sini sesuai selera dan semua siap jalan.
Kita tidak perlu membuat coding yang bikin pusing kepala. Para ulama di
masa lalu sudah membuat codingnya, kita tinggal 'customize' saja.

Memanfaatkan Kitab Syarah Hadits

Lebih fokus kepada pertanyaan anda, bila anda merasa bingung membaca
hadits-hadits yang saling bertentangan, ada cara yang mudah, yaitu
memanfaatkan kitab-kitab syarah hadits. Kitab syarah adalah kitab
penjelasan atas kitab matan hadits.

Misalnya, kalau anda bingung baca hadits-hadits yang ada di dalam shahih
Bukhari, anda bisa baca kitab Fathul Bari karya Ibnu Rajab Al-Hanbali
atau kitab Umdatul Qari karya Badruddin Al-Aini.

Kalau hadits itu ada di shahih Muslim, anda bisa baca Syarah Shahih
Muslim karya Al-Imam An-Nawawi. Juga anda bisa baca kitab Tuhfatul
Ahzawi karya Al-Mubarakfury bila anda perlu penjelasan hadits-hadits
dari Sunan At-Tirmizi.

Dan kalau kitab matan hadits Bulughul Maram bikin kepala anda pusing,
silahkan buka kitab Subulussalam karya Ash-Shan'ani. Atau kita bisa juga
anda membaca kitab Nailul Authar karya ASy-Syaukani rahimahullah yang
isinya sudah termasuk matan dan syarahnya sekaligus.

Biasanya di dalam kitab-kitab syarah itu, kita akan mendapatkan berbagai
informasi seputar hadits yang kita butuhkan, termasuk derajat
kekuatannya dan juga penjelasan secara fiqihnya.

Sekedar informasi, kitab-kitab yang kami sebutkan di atas dan hampir
3.000-an kitab lainnya tersedia secara gratis di internet, anda boleh
langsung mengkliknya di http://saaid.net/book

Jadi anda tidak perlu keluarkan dana untuk sekedar punya buku, tinggal
baca saja. Yang penting anda bisa bahasa Arab dan melek internet serta
punya akses tak terbatas untuk mendownloadnya. Selamat mendownload.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

-----------------------

Warisan Dibagi Sama Rata, Bolehkah?
Rabu, 15 Nov 06 15:10 WIB Kirim Pertanyaan | Kirim teman 
Ustadz, nenek saya baru saja meninggal dunia dengan meninggalkan 2 orang
anak (satu pria dan satu wanita), di mana salah satu dari anak tersebut
adalah ibu saya. Pertanyaannya adalah salah satu dari ahli waris (anak
lelaki) menginginkan agar warisan tersebut dibagi rata antara kedua
anak, sedangkan sepanjang yang saya ketahui pembagian warisan yang benar
adalah anak lelaki mendapatkan 2 kali dibandingkan anak perempuan.
Selain itu apakah dimungkinkan sebelum warisan tersebut dibagikan,
disisihkan untuk infaq terlebih dahulu, dan berapa prosentasenya untuk
infaq?

Sekian dan terima kasih.

Mulyawan
bmulyawan2003 at eramuslim.com 

Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 

Keinginan paman anda untuk membagi sama rata harta warisan dari nenek
itu tentu didasari rasa rahimnya kepada saudarinya sendiri. Rasa ini
sesungguhnya sangat baik dan perlu dihargai.

Tinggal bagaimana agar niat baik itu tidak dijalankan lewat prosedur
yang kurang sejalan dengan ketentuan syariah. Dan anda benar ketika
mengatakan bahwa seharusnya bagian yang diterima anak perempuan hanya
separuh dari yang diterima oleh anak laki-laki.

Jalan keluar di antara kedua agar bisa ada titik temu tentu ada dan
insya Allah masih bisa diupayakan. Caranya, kita bagi dua langkah.
Awalnya harta itu dibagi sesuai syariah, lalu setelah paman anda
memilikinya, boleh saja dihadiakan kepada ibu anda.

Langkah pertama adalah langkah untuk membagi warisan sesuai dengan
ketentuan kitabullah dan sunnah rasul. Maka harta itu dibagi menjadi
tiga bagian sama besar. Paman anda berhak atas 2/3 bagian itu dan ibu
anda mengambil 1/3-nya. Inilah cara yang benar dalam membagi warisan
kepada anak laki dan perempuan.

Langkah kedua, setelah paman anda memiliki 2/3 dari harta warisan itu,
kalau beliau ingin berbuat baik dan menjalin kasih sayang kepada
saudarinya (ibu anda), boleh saja beliau memberi dalam bentuk hadiah,
hibah atau sedekah atau apapun istilahnya. Bahkan kalau mau semua
hartanya sekalipun, boleh-boleh saja hukumnya.

Asalkan pembagian secara syariah ditetapkan terlebih dahulu, jangan
langsung dibagi sama rata sesuai dengan selera. Ini demi menghormati dan
menjalankan hukum yang sudah baku.

Infak Saat Membagi Warisan

Di dalam Al-Quran disebutkan tentang anjuran untuk menyisihkan sebagain
harta yang sedangkan dibagi waris.

Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang
miskin, maka berilah mereka dari harta itu dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik. (QS. An-Nisa': 8)

Tidak ada ketetapan tentang besar nilai yang harus diinfakkan, bahkan
bila memang tidak mau bersedekah, pada dasarnya tidak mengapa, karena
hal itu bukan merupakan kewajiban, melainkan sekedar ibadah sunnah saja.
Perintah di ayat ini bukan bermakna kewajiban melainkan anjuran. Tidak
mau bersedekah juga boleh.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

********************************************************
Mailing List FUPM-EJIP ~ Milistnya Pekerja Muslim dan DKM Di kawasan EJIP
********************************************************
Ingin berpartisipasi dalam da'wah Islam ? Kunjungi situs SAMARADA :
http://www.usahamulia.net

Untuk bergabung dalam Milist ini kirim e-mail ke :
[EMAIL PROTECTED]

********************************************************

Kirim email ke