Aku Menyesal Telah Mengatakan Itu

Oleh Muamar Kh.


www.eramuslim.com <http://www.eramuslim.com>  16 Nov 06 06:34 WIB 

Seperti biasa pagi itu sebelum berangkat kerja, aku sempatkan terlebih
dahulu untuk mengantar dua buah hatiku pergi ke sekolah. Si sulung sudah
kelas 1 SD dan adiknya baru TK A di sebuah sekolah Islam Terpadu di daerah
Kranggan Bekasi. Walaupun aku sendiri cukup sibuk dengan persiapan berangkat
kerja, tapi sorot mata pengharapan kedua buah hatiku untuk mengantarnya ke
sekolah membuat aku tak kuasa menolaknya. Dan memang aku lihat ada gairah
tersendiri yang menambah semangat mereka ketika aku sendiri yang
mengantarnya pergi ke sekolah dibanding jika diantar oleh khadimat. 

Di perjalanan pulang setelah mengantar keduanya, secara tidak sengaja aku
berpapasan dengan seorang tukang las karbit keliling. Angan-anganku langsung
melayang teringat akan sebuah meja pingpong (tenis meja) tua yang teronggok
di depan rumahku. Walaupun sudah berkarat di sana-sini dan ada beberapa
bagian yang sudah patah di kaki-kakinya, meja pingpong itu merupakan sarana
silaturrahim kami dengan tetangga sekitar dalam melewatkan hari Sabtu dan
Minggu setelah dalam 5 hari masing-masing disibukkan dengan urusan kerja. 

Kami biasa berolah raga dengan bermain tenis meja pada hari sabtu dan minggu
bahkan terkadang sampai larut malam sambil bertukar pikiran dan berdiskusi
membahas apa saja untuk kebaikan lingkungan dan warga. Maklumlah di situ aku
dipercaya memegang jabatan sebagai ketua RT. Sebuah jabatan yang tidak
populer dan seringkali ditolak oleh sebagian besar orang ketika dipilih
sebagai ketua RT. 

Memang dari awal aku sudah tahu bahwa ketua RT tidak mendapatkan gaji dari
jerih payahnya, harus selalu rajin ke pertemuan warga, ikut kerja bakti,
siap berkorban waktu, tenaga dan pikiran, sering juga harus merogoh kocek
sendiri, dan yang paling sering adalah diprotes warga ketika harus ada
kenaikan iuran sekedar untuk ongkos kebersihan, keamanan atau untuk
peringatan 17 Agustusan. Tetapi yang membuat aku ringan menjalaninya adalah
semua aku niatkan sebagai ibadah dan semoga mendapat ridha Allah SWT. 

"Bang, ke jalan Mawar X bisa?" Tanyaku kepada Abang tukang las itu setelah
menghampirinya. "Oo... bisa, bisa...., Jalan Mawar X sebelah mana ya?" Dia
balik bertanya dengan penuh antusias. "Ke sana Bang, lurus terus belok kanan
dekat lapangan, yaa kira-kira 500 m dari sini," kataku sambil menjelaskan ke
arah rumahku di sebuah kompleks BTN yang cukup padat. 

"Emangnya ngelas apaan sih?" Tanya Abang tukang las itu sambil mengerutkan
keningnya. Dari guratan garis wajahnya terlihat akan beratnya masa lalu dan
kerasnya kehidupan yang telah dilewatinya. "Itu Bang, meja pingpong sudah
banyak yang keropos dan patah," jawabku sambil minta izin untuk mendahului
pulang dengan mobil dinasku yang berplat merah agar aku bisa mempersiapkan
terlebih dahulu meja pingpong itu sebelum dilas. 

Di dalam hati aku berharap, mudah-mudahan tukang las itu bahagia dengan
rejeki pertamanya hari itu, maklum masih pukul tujuh pagi dan yang lebih
penting aku ingin membuat surprise tetangga-tetanggaku sore hari nanti
ketika mereka pulang sudah mendapati meja pingpong telah rapi dan kuat
sehingga menambah semangat mereka untuk berolah raga sambil silaturrahim. 

Sepuluh menit kemudian tampak tukang las itu sudah sampai di ujung Jalan
Mawar X seperti yang aku tunjukkan sebelumnya. Segera saja meja pingpong
kami gelar untuk mengetahui bagian-bagian mana saja yang harus dilas atau
dilapisi dengan plat besi agar lebih kuat. Setelah kami hitung bersama
ternyata ada sepuluh titik yang harus diperbaiki, Menurut perkiraanku, biaya
yang pantas untuk perbaikan itu kurang lebih limapuluh ribu rupiah. 

"Nah... sekarang biayanya kira-kira berapa Bang?" tanyaku. Sejenak abang itu
diam, kelihatannya agak lama dia memutuskan harga yang pas untuk transaksi
itu. "Seratus tujuh puluh lima, Pak" jawabnya singkat. 

Kaget juga aku mendengarnya, karena antara biaya yang aku perkirakan dengan
penawaran tukang las itu sungguh jauh berbeda sehingga aku agak sulit untuk
menawarnya. Namun ekspresiku tidak kutunjukkan padanya agar dia tidak
kecewa. Sekedar untuk meyakinkan aku bertanya lagi, "Seratus tujuh puluh
lima apaan Bang?" "Ya seratus tujuh puluh lima ribu," jawabnya dengan sigap.


Di dalam hati aku beristighfar, mahal amat harga yang ditawarkan Abang itu,
uang Rp 175.000,- bukan jumlah yang kecil bagiku apalagi ini bukan untuk
kepentingan sendiri melainkan untuk kepentingan warga yang rencananya akan
aku talangin sendiri agar tidak membebani kas RT yang menurut laporan
bendahara saat ini sudah minus karena ada beberapa warga yang telat membayar
iuran bulanan. Bahkan ada warga yang sampai 2 tahun tidak mau membayar iuran
bulanan, padahal dia berharap sampahnya diangkat setiap hari, keamanannya
terjaga, urusan administrasi RT beres, dan banyak tuntutan lagi. 

Sejurus kemudian secara spontan aku berkata kepada tukang las itu "Wah
mejanya aja kalau dijual nggak sampai seratus ribu, Bang," Aku menunggu
reaksinya dan berharap dia mau menurunkan harga penawarannya. Tanpa kuduga
sebelumnya, wajah abang itu langsung memerah menampakkan kemarahannya. Aku
kaget karena dari tadi proses pembicaraan kami biasa-biasa saja dan tidak
nampak adanya ketersinggungan. 

Tiba-tiba dia berkata dengan nada yang lebih tinggi, "Bapak ini hanya
mempermainkan saya, saya kan tidak membeli mejanya tapi disuruh ngelas,
kalau begitu ya sudah, Bapak hanya nyapek-nyapekin saya aja. Apa Bapak mau
tinggi-tinggian mentang-mentang berplat merah," sergahnya sambil menunjuk ke
arah mobil dinasku yang dari tadi terparkir di bawah pohon mangga depan
rumahku. 

Tanpa banyak omong lagi tukang las itu memutar kembali gerobak lasnya
menjauhiku. Aku masih berdiri tertegun di samping meja pingpong tua itu.
Jawaban dari tukang las itu serasa menampar wajahku berkali-kali. Aku tidak
menyangka reaksi dari tukang las itu begitu dahsyat. Padahal aku hanya
berusaha menjalankan proses tawar menawar dalam sebuah transaksi, dan itu
adalah hal yang biasa. 

Tidak tahu mengapa ingatanku kemudian melayang kepada berita di televisi
yang memberitakan bahwa hanya gara-gara permasalahan sepele seseorang berani
berbuat nekat dan masih banyak lagi gambaran buruk lainnya, dan tiba-tiba
aku mengkhawatirkan diri dan keluargaku kalau di lain waktu tukang las itu
akan berbuat nekat. Karena menurut beberapa cerita, banyak eks narapidana
ketika di dalam penjara dilatih keterampilan mengelas, menganyam, dan
berbagai keterampilan lainnya agar setelah keluar dari penjara nanti dia
mampu kembali ke masyarakat dan dapat hidup mandiri.

"Astaghfirullahal 'Adzim" ucapku lirih sambil memutus angan-anganku agar
tidak keterusan. Tak kusangka, tidak lama kemudian terlihat lagi abang
tukang las itu sedang menuju ke arahku. Kali ini aku tidak khawatir, justru
aku gembira dalam hati "inilah kesempatanku untuk menebus kekecewaannya dan
meredam amarahnya agar tidak timbul dendam kesumat di hatinya". Memang benar
dia masih marah kepadaku tentang ucapanku terakhir tadi. 

Tetapi segera aku beranikan untuk memotong perkataannya dengan mengajukan
penawaran harga yang tinggi dan aku yakin dia pasti mau menerimanya untuk
pekerjaan yang tidak terlalu berat itu. "Bagaimana kalau seratus ribu,
Bang?" kataku sembari berharap dia mau menerima tawaranku dan segera
selesailah permasalahan ini walaupun sebenarnya aku keberatan dengan harga
itu. 

Benar saja dugaanku, walaupun masih marah abang itu langsung menjawab, "Nah
begitu dong." Dengan cekatan dia mulai mengelas satu persatu bagian yang
perlu diperbaiki. Tak lupa sebatang rokok Dji Sam Soe yang dikeluarkan dari
saku bajunya selalu menemaninya sampai pekerjaan tersebut selesai. Setengah
jam kemudian tuntaslah pekerjaan itu. 

Tiba saatnya aku memberikan upahnya. Untuk memastikan bahwa dia tidak marah
lagi kepadaku, maka aku sempatkan mengambil baju batik dari gantungan
lemari, kemudian aku bungkus rapi dengan koran dan aku berikan kepadanya
seraya berkata, "Bang, ini ada baju batik untuk kenang-kenangan". Dengan
berbasa-basi dia menjawab "Wah ini ridho, saya jadi nggak enak nih?" "Ridho
bang, itu buat Abang" kataku lagi sambil menyerahkan 2 lembar uang limapuluh
ribuan. Sejurus kemudian tukang las itu mengucapkan terima kasih dan segera
pergi untuk melanjutkan mencari rizki guna menafkahi anak isterinya di rumah
dan tak lupa dia melambaikan tangan sembari mengucap salam kepadaku.

Aku bersyukur pada Allah SWT dapat membahagiakannya pagi ini walaupun
sebelumnya aku telah membuatnya tersinggung. Aku teringat akan sebuah
pepatah bijak yang diajarkan oleh ustadz ketika masih sekolah di madrasah di
kampungku kira-kira 25 tahun yang lalu yaitu "Salamatul Insan fii Hifdzil
Lisan" Keselamatan seseorang itu tergantung bagaimana cara menjaga lisannya.


Sekali lagi aku beristighfar dan berucap di dalam hati, "Ya.Allah..
ampunilah hamba Mu yang lemah ini, sesungguhnya dia tidak bersalah, akulah
yang bersalah telah membuat hatinya terluka. Ya... Allah.. aku menyesal
telah mengatakan itu padanya."

[EMAIL PROTECTED]

********************************************************
Mailing List FUPM-EJIP ~ Milistnya Pekerja Muslim dan DKM Di kawasan EJIP
********************************************************
Ingin berpartisipasi dalam da'wah Islam ? Kunjungi situs SAMARADA :
http://www.usahamulia.net

Untuk bergabung dalam Milist ini kirim e-mail ke :
[EMAIL PROTECTED]

********************************************************

Kirim email ke