DEMOKRASI:
MENCIPTAKAN KESENJANGAN
PENGUASA DAN RAKYAT

Buletin Edisi 330

"Bush: Demonstrasi Tanda Sehatnya Demokrasi". Demikian judul salah satu berita 
di Harian Kompas, Senin (20/11) lalu. Presiden Amerika Serikat George W Bush 
mengaku tidak kaget sama sekali dengan besar dan meluasnya demonstrasi 
menentang kebijakan dan kedatangannya ke Indonesia. "Itu adalah kredit untuk 
Indonesia di mana masyarakatnya dapat menyatakan protes dan mengatakan apa yang 
mereka pikirkan…," ujarnya. Bush juga memuji kepemimpinan Presiden Yudhoyono 
dan menyebut Indonesia sebagai contoh mengenai bagaimana demokrasi dan 
modernisasi dapat menghadirkan sebuah alternatif bagi ekstremisme. (Kompas.com, 
20/11/06).

Sementara itu, dalam editorialnya, Harian Media Indonesia (21/11) menulis 
dengan judul, "Mesra di Istana, Mencekam di Jalan," untuk menggambarkan betapa 
bertolakbelakangnya Pemerintah dengan mayoritas rakyat dalam menyikapi 
kedatangan Presiden Bush. Pemerintah tampak berusaha menyambut dengan 
'manis'—bahkan terlalu manis—kedatangan Bush ke negeri ini. Sebaliknya, 
mayoritas rakyat—yang dibuktikan dengan maraknya demontrasi di hampir seluruh 
wilayah negeri ini yang berlangsung lebih dari sepekan—dengan keras menolak 
kedatangannya. Pertanyaannya: apakah arti dari semua ini?

Demokrasi: Sekadar 'Gincu'

Secara teoretis, demokrasi memang menjamin—salah satunya—kebebasan menyatakan 
pendapat. Dalam tataran praktik, meski tidak selalu konsisten, beberapa negara 
yang menganut sistem demokrasi—seperti AS dan Eropa, termasuk Indonesia—juga 
telah menjalankan jaminan atas kebebasan menyatakan pendapat ini bagi 
rakyatnya. Salah satu buktinya adalah dibiarkannya masyarakat oleh pemerintah 
untuk melakukan demonstrasi, terutama dalam merespon/mengkritisi kebijakan 
pemerintah yang dipandang tidak sesuai dengan aspirasi—bahkan merugikan—rakyat. 
Di Amerika, misalnya, rakyat Amerika memang dibiarkan untuk melakukan 
demonstrasi untuk menentang kebijakan Bush soal Perang Irak. Mereka telah lama 
menuntut agar Amerika segera menarik diri dari Perang Irak yang telah 
menewaskan hampir 3000 orang tentara Amerika. Namun, protes rakyat itu tidak 
pernah digubris pemerintahan Bush. Bush bahkan berencana menambah pasukannya di 
Irak. Di Indonesia, rakyat juga dibebaskan oleh Pemerintah untuk berdemonstrasi 
menentang kedatangan Bush yang dianggap sebagai pembual, penjahat perang, 
pelanggar HAM terbesar, bahkan the real terrorist. Namun, Pemerintah SBY, 
termasuk DPR sebagai representasi kedaulatan rakyat, juga tidak menggubrisnya. 
Lalu apalah artinya kebebasan menyatakan pendapat—yang mencerminkan kehendak 
rakyat—ini jika tidak direspon (baca: dituruti) oleh Pemerintah sebagai 
pemegang amanah rakyat? Bukankah Pemerintah merupakan representasi dari 
kedaulatan rakyat karena dipilih langsung oleh rakyat ataupun oleh lembaga 
perwakilan rakyat? Bukankah ini berarti bahwa silakan saja rakyat berteriak, 
tetapi keputusan jalan terus, terserah penguasa, tanpa perlu lagi mendengar 
suara hati masyarakat? 

Namun, semua itu sebetulnya bukan sesuatu yang aneh. Sebab, itulah fakta 
demokrasi sesungguhnya di hampir semua negara yang menerapkan sistem demokrasi; 
selalu ada kesenjangan antara kehendak rakyat dan kehendak penguasa yang 
menjadi pemegang amanah rakyat. Dengan kata lain, secara faktual, demokrasi 
tidaklah mencerminkan kedaulatan rakyat. Demokrasi sering hanya berkomitmen 
pada 'kedaulatan' penguasa sendiri, atau pada kehendak segelintir orang di 
jajaran elit kekuasaan, atau pada kehendak para pemilik modal dengan 
mengatasnamakan rakyat, atau kehendak negara besar tempat para elit penguasa 
bersandar. Walhasil, kedaulatan rakyat sebetulnya hanya ada dalam teori 
demokrasi, tidak dalam praktiknya. Pada akhirnya, demokrasi hanyalah sekadar 
'gincu'! Idiom kedaulatan rakyat hanyalah untuk melanggengkan kekuasaan para 
penguasa yang bersekongkol dengan para pemilik modal. Dengan kata lain, istilah 
kedaulatan rakyat hanyalah cara untuk melanggengkan sistem Kapitalisme.

Omong-Kosong Demokrasi

Presiden AS George W Bush menegaskan bahwa kebijakan yang diambilnya dalam 
konflik di Irak merupakan bagian dari upaya AS untuk mengedepankan demokrasi. 
Presiden Bush dalam konferensi persnya yang didampingi Presiden SBY di Istana 
Bogor, Senin (20/11) malam menegaskan, "Kebijakan saya (di Irak, red.) adalah 
untuk mengedepankan sistem pemerintahan yang menghormati kebebasan…karena 
kebebasan itu universal."

Namun, fakta membuktikan: dengan alasan demokrasi, Amerika membunuh tidak 
kurang dari 600 ribu rakyat Irak; menyebabkan ribuan orang cacat; dan 
menghancurkan ribuan bangunan dan rumah penduduk. Kekebasan tak pernah lahir di 
Irak, baik pada masa Saddam Hussein maupun masa pendudukan AS. Sejak pendudukan 
AS, rasa aman rakyat Irak pun menjadi barang langka karena setiap saat nyawa 
mereka terancam oleh aksi-aksi pembunuhan. Demokrasi yang diciptakan AS di Irak 
terbukti menjadi malapetaka besar bagi rakyat Irak dan sebaliknya hanya 
menguntungkan AS. Buktinya, hanya sepekan setelah Perang Irak selesai, 
perusahaan-perusahaan konstruksi AS langsung mendapat order dari Washington 
untuk membangun kembali Irak. Perusahaan-perusahan konstruksi AS, khususnya 
Halliburton yang sebagian sahamnya dimiliki keluarga Bush, langsung mendapat 
proyek miliaran dolar AS untuk rekonstruksi Irak. Uangnya dari mana? Dari 
pampasan perang Irak. Uang minyak Irak pun dihabiskan untuk membangun 
infrastruktur yang telah dihancurkan AS sendiri dengan biaya yang amat mahal, 
tiga sampai empat kali lipat, jika dikerjakan perusahaan lokal. Uang minyak 
Irak juga dipakai untuk membiayai tentara AS yang kini bercokol di sana. 
Padahal istilah pampasan perang Irak adalah suatu logika yang aneh karena Irak 
tak pernah mengajak perang kepada AS. (Darmansyah Asmoerie, Republika.co.id, 
18/11/06). 

Sementara itu, di Indonesia, Pemerintahan SBY selalu mengulang-ulang 
pernyataannya, bahwa seluruh kebijakan Pemerintah, termasuk yang terkait dengan 
kunjungan Bush, adalah untuk kepentingan rakyat. Namun, fakta membuktikan, 
berbagai kebijakannya sering tidak sesuai dengan kehendak—bahkan 
merugikan—rakyat, dan lebih memihak pada kepentingan para kapitalis, terutama 
pihak asing. Kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM, misalnya, jelas 
tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Buktinya, kebijakan tersebut didemo oleh 
hampir seluruh rakyat. Kebijakan itu juga terbukti merugikan rakyat. Buktinya, 
setelah kenaikan BBM, banyak perusahaan gulung tikar, angka pengangguran 
meningkat, dan kasus gizi buruk juga semakin banyak. 

Demikian pula kebijakan Pemerintah untuk menelorkan UU Migas, yang kemudian 
mendorong terjadinya liberalisasi di sektor migas. Dampaknya, pengelolaan 
minyak Blok Cepu diserahkan ke ExxonMobile ketimbang ke Pertamina; kontrak 
Exxon atas Blok Natuna—yang merupakan salah satu sumber cadangan gas terbesar 
di dunia, dengan potensi mencapai 46 triliun kaki kubik atau 1.270 miliar meter 
kubik gas (sesuai data yang dikeluarkan ExxonMobil)—juga disinyalir akan terus 
dilanjutkan. Padahal, dari kontrak yang ada pun, yang berakhir Januari 2005, 
Pemerintah tidak mendapatkan apa-apa. Semua ini jelas tidak mencerminkan 
keberpihakan Pemerintah kepada rakyat. Walhasil, liberalisasi, khususnya di 
sektor migas, jelas lebih mencerminkan kepentingan para kapitalis, khususnya 
korporat asing.

Yang Tersisa dari Kunjungan Bush 

Pemerintah boleh saja berbusa-busa mengatakan bahwa Bush datang dengan agenda 
soft power seperti pendidikan, kesehatan, sains dan teknologi. Namun, hal ini 
bertolak belakang dengan pernyataan Steve Hadley, Penasihat Keamanan AS, yang 
juga ikut dalam kunjungan Bush ini. Sebelum keberangkatan Bush ke Asia, 
termasuk ke Indonesia, sebagaimana yang dilaporkan dalam situs resmi Gedung 
Putih (www.whitehouse.gov, 9/10/06) dinyatakan bahwa kunjungan ini akan 
digunakan oleh Presiden Bush bagi kepentingan masyarakat Amerika (to advendce 
the interest of American people). 

Lebih lanjut Hadley menjelaskan, kepentingan masyarakat AS itu adalah mencegah 
tantangan yang dihadapi oleh AS, yakni terorisme, dan menjamin bagaimana para 
pebisnis AS bisa meraih keuntungan (to reap benefit) di kawasan ini. Walhasil, 
kunjungan Bush tetap tidak bisa dilepaskan dari dua kebijakan pokok AS selama 
ini dalam politik (demokrasi dan perang melawan terorisme) serta ekonomi 
(liberalisasi ekonomi).

Pemerintah juga boleh saja berulang-ulang mengucapkan terimakasih atas bantuan 
yang telah diberikan oleh AS kepada Indonesia. Namun, semua pihak mengetahui 
bahwa setiap bantuan asing tentulah memiliki motif politik. AS adalah negara 
kapitalis. Bantuan asing yang diberikannya itu tidak bisa dipisahkan dalam 
konteks keuntungan kepentingan kapitalistiknya. Tidak ada makan siang gratis 
dalam sistem kapitalis. Salah satu program bantuan luar negeri AS yang momental 
setelah Perang Dunia II adalah Marshal Plann, yaitu berupa bantuan ekonomi 
besar-besaran kepada negara-negara Eropa. Namun, program tersebut jelas punya 
maksud politik, yakni melemahkan negara-negara Eropa. Di bidang pendidikan, 
pemberian beasiswa seperti Fullbright juga tidak lepas dari kepentingan politik 
AS. Jack Plano, dalam The International Relation Dictionary (1982), menjelaskan 
program ini dikembangkan sejak tahun 1946 untuk mempengaruhi perilaku bangsa 
lain terhadap AS. Senada dengan itu, Joseph S Nye, dalam Soft Power (2004), 
mengutip pernyataan mantan Menlu AS Colin Powel, tentang pentingnya pemberian 
program beasiswa. Mantan Menlu AS ini menyatakan, program beasiswa akan membuat 
para alumni AS menjadi 'diplomat' AS kelak. 

Wahai Kaum Muslim:

Sudah jelas, bahwa kita tidak bisa berharap pada demokrasi yang penuh dengan 
kebohongan. Demokrasi tidak pernah berpihak pada kehendak dan kepentingan 
rakyat. Demokrasi hanya berpihak pada elit penguasa, pengusaha, dan 
negara-negara kapitalis. Kita juga tidak boleh berharap pada negara yang 
mengklaim kampiun demokrasi seperti AS. Kita harus sadar, AS adalah negara 
kapitalis yang tetap menjadikan imperalisme/penjajahan sebagai cara untuk 
menjaga eksistensinya, sekaligus untuk menyeberaluaskan ideologi Kapitalisme 
yang diembannya. Kita harus mulai menyadari bahwa agenda 
demokrasi/demokratisasi di Dunia Islam, termasuk di Indonesia, hakikatnya 
hanyalah 'gincu' sekaligus alat AS untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan 
politik dan ekonominya. Kita juga harus mulai memahami bahwa liberalisasi di 
Dunia Islam adalah agenda AS dalam rangka mempertahankan hegemoninya sekaligus 
memperkuat penjajahannya atas Dunia Islam.

Karena itu, kaum Muslim tidak boleh terjebak hanya dengan ancaman dari sosok 
Bush yang memang jahat. Sebab, Amerika tidak hanya direpresentasikan oleh sosok 
Bush, atau oleh partainya Bush, yakni Partai Republik, tetapi oleh ideologi 
Kapitalisme yang menjadi haluannya. Walhasil, ke depan kaum Muslim harus tetap 
menyadari bahaya sepak terjang Amerika sebagai negara kapitalis terbesar, 
khususnya terhadap Dunia Islam.

Lebih dari itu, agar kita meraih kemuliaan di dunia maupun akhirat, kita jelas 
tidak boleh menggantungkan diri pada negara kafir seperti AS. Kita harus selalu 
menyandarkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya: 

بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا، الَّذِينَ 
يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ 
عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ ِللهِ جَمِيعًا

Sampaikanlah kabar kepada orang-orang munafik, bahwa bagi mereka ada azab yang 
sangat pedih. Mereka itu adalah orang-orang yang mengambil orang-orang kafir 
sebagai teman/penolong dengan meninggalkan kaum Mukmin. Apakah mereka mencari 
kemuliaan di sisi orang kafir itu? Sesungguhnya semua kemuliaan itu kepunyaan 
Allah. (QS an-Nisa' [4]: 138-139).

 


--------------------------------------------------------------------------------


KOMENTAR:

Presiden Yudhoyono: Masalah Irak Bukan Cuma Persoalan (tanggung jawab, red.) 
AS. (Kompas, 21/11/06).

Salah! AS-lah yang memulai secara sepihak menyerang Irak. Jadi, AS-lah yang 
harus bertanggung jawab!
********************************************************
Mailing List FUPM-EJIP ~ Milistnya Pekerja Muslim dan DKM Di kawasan EJIP
********************************************************
Ingin berpartisipasi dalam da'wah Islam ? Kunjungi situs SAMARADA :
http://www.usahamulia.net

Untuk bergabung dalam Milist ini kirim e-mail ke :
[EMAIL PROTECTED]

********************************************************

Kirim email ke