Refleksi : Tulisan ini akan mencoba mengungkap mengapa utang luarnrgri NKRI semakin membengkak.
Ya, sebagai orang awam tidak heran jika utang pemerintah rezim neoliberal Jokowi terus membengkak, ini semua adalah sebagai dampak sistemik dari kebijakan investasi Mega-infrastruktur yang mengejar pertumbuhan secara membabi buta (mabuk pertumbuhan). Mungkin dikiranya dengan mabuk investasi itu tidak beresiko, dan bisa mengangkat kesejahteraan rakyat, itu adalah pikiran yang keblinger; sejak dimulainya Jokowi berkuasa saya sudah pernah menulis bahwa Investasi itu biyayanya sangat mahal. Baiklah sekarang akan saya uraikan mengapa investasi itu berdampak sistemik yang menyentuh APBN. Adalah cukup beralasan dalam kondesi keuangan negara kita yang sekarang ini lemah, dan kondesi sosial kita yang secara signifikan masih diwarnai oleh kemiskinan dan pengangguran (terbuka dan teselubung); kita melangkah pada investasi Mega-infrastruktur, yang mengejar pertumbuhan secara membabi buta, yang sungguh relevan jika disebut mabuk pertumbuhan. Kereta super cepat Jakarta – Bandung, Gamor-glamor teknologi canggih dll. Kegiatan pembangunan Mega-Infrastruktur dalam bentuk program dan proyek itu, dapat diartikan sebagai, tindakan penanaman modal atau investasi dalam arti yang luas, yang ditujukan untuk mencapai sasaran-sasaran tertentu. Harus disadari bahwa kegiatan penanaman modal itu, memerlukan sumber dana untuk membiyayai pelaksanaannya, baik yang berasal dari dalam negeri, yaitu tabungan masyarakat dan pemerintah (APBN), maupun sumber dana luarnegeri yang berasal dari penanaman modal asing secara langsung, dan utang luarnegeri. Kegiatan pembangunan biasaya menyangkut kebutuhan untuk memasukkan barang dan jasa, terutama yang tidak atau belum dapat diprodusi sendiri, seperti kapital dan teknologi dari negara lain. Ini merupakan kegiatan impor, yang harus dibiyayai dengan devisa, yang pada dasarnya dihasilkan oleh kegiatan ekspor. Masalah yang dihadapi dalam hubungan ini adalah adanya kesenjangan antara kebutuhan impor dengan kemampuan membiyayainya, yang ditunjukkan dalam jumlah devisa hasil expor yang diperoleh perekonomian nasional. Dalam konteks ini berarti terdapt´´impor-expor gap``. Sebagai negara berkembang Indonesia menghadapi dua macam kesejangan , seperti juga negara-negara berkembang yang lain pada umumnya. Kasenjangan yang dihadapinya yaitu kesejngan antara investasi dibanding dengan tabungan dan antara impor yang diperlukan dengan ekspor yang bisa dilaksanakan. Semua itu harus dibiyyai, biasanya dengan bantuan dan utang luar negeri. Karena industri-industri ekspor itu tidak jalan tanpa dukungan kuat dari impor, sedangkan impornya harus dibiyayai dari ekspor. Maka terjadilah lingkaran setan. Jadi tidak heran jika utang luarnegeri Indonesia semakin membengkak, karena rezim Jokowi secara emosional dan membabi-buta melakukan pembangunan Megainfrastruktur sebanyak mungkin untuk mengejar pertumbuhan. Tanpa menyadari bahwa menggunakan utang luarnegri sebagai sarana untuk membiyayai investasi atau sarana untuk membiyayai impor itu ada implikasinya, yaitu bahwa pada saatnya pimjaman tersebut harus dibayar kembali dengan kemampuan sendiri , yaitu dengan devisa hasil ekspor. Kalau ini tidak bisa dilakukan, maka pembayaran kembali itu ``terpaksa`` dengan menggunakan utang baru dari negara lain, yang dalam istilah populer disebut``gali lubang tutuplubang´´. Seperti sudah diketahi bahwa dalam konteks utang luarnegeri Indonesia saat ini sudah mengalami suatu situasai yang menurut istilahnya seorang konsultan ekonomi Sritua Arief disebut ``Fisher Paradok`` dalam hubungannya dengan utang luar negerinya, yaitu situasi semakin banyak cicilan utang luar negeri dilakukan, maka semakin besar akumulasi utang luarnegerinya. Ini disebabkan oleh karena cicilan plus bunga utang luar negeri lebih besar dari nilai utang baru, maka terjadilah apa yang disebut ``net transfer`` sumber-sumber keuangan dari Indonesia mengalir kepihak-pihak investor asing. Kutipan : Jakarta, CNN Indonesia -- Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat per akhir Agustus 2016, total utang pemerintah pusat mencapai Rp 3.438,29 triliun atau naik Rp78,47 triliun dibandingkan posisi akhir Juli 2016, Rp 3.359,82 triliun. (kutipan selesai) Roeslan. Von: GELORA45@yahoogroups.com [mailto:GELORA45@yahoogroups.com] Gesendet: Mittwoch, 21. September 2016 11:41 An: GELORA45@yahoogroups.com Betreff: [GELORA45] Utang Pemerintah Bengkak Akibat Pendapatan Negara Seret Utang Pemerintah Bengkak Akibat Pendapatan Negara Seret Safyra Primadhyta, CNN Indonesia Rabu, 21/09/2016 09:43 WIB http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20160921094351-78-159880/utang-pemerintah-bengkak-akibat-pendapatan-negara-seret/ Jakarta, CNN Indonesia -- Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat per akhir Agustus 2016, total utang pemerintah pusat mencapai Rp 3.438,29 triliun atau naik Rp78,47 triliun dibandingkan posisi akhir Juli 2016, Rp 3.359,82 triliun. Realisasi itu setara dengan US$258,52 miliar (kurs Rp13.300 per dolar AS) , naik dari posisi bulan sebelumnya yaitu US$256,59 (kurs Rp13.094 per dolar AS). "Utang terutama merupakan konsekuensi dari postur APBN (yang mengalami defisit), di mana pendapatan Negara lebih kecil daripada Belanja Negara, " dikutip dari paparan DJPPR, Rabu (21/9). Paparan tersebut juga menjelaskan bahwa selain merupakan instrumen utama pembiayaan untuk menutup defisit APBN, utang pemerintah juga untuk membayar kembali utang yang jatuh tempo (debt refinancing). Kenaikan jumlah nominal utang pemerintah berasal dari akumulasi utang masa lalu (legacy debts) yang memerlukan refinancing yang cukup besar, pembiayaan defisit APBN, dan juga dampak krisis ekonomi pada kurun waktu 1997-1998. Jika dirinci, sebagian besar utang pemerintah didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN). Di mana akumulasi nilai penerbitan SBN per akhir bulan kedelapan mencapai Rp2.684,28 triliun (78,1 persen dari total utang pemerintah) atau naik dari posisi akhir Juli 2016 sebesar Rp 2.628,34 triliun. Sebagian besar penerbitan SBN dilakukan dalam denominasi rupiah yaitu sebesar Rp1.962,18 triliun. Sementara SBN dalam denominasi valuta asing tercatat sebesar Rp722,10 triliun atau US$54,29 miliar (kurs Rp13.300 per dolar Amerika Serikat). Berikutnya, utang pemerintah juga berasal dari pinjaman yang berkontribusi sebesar 21,9 persen dari total utang per akhir Agustus 2016 atau sebesar Rp754,01 triliun, naik dari posisi akhir Juli 2016 sebesar Rp731,48 triliun. Mayoritas pinjaman berasal dari pinjaman luar negeri sebesar Rp749,33 triliun sedangkan sisanya berasal dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp4,68 triliun. Secara bilateral, mayoritas pinjaman pemerintah Indonesia berasal dari Jepang sebesar Rp228,57 triliun, kemudian disusul oleh Perancis sebesar Rp24,56 triliun. Secara multilateral, Bank Dunia masih merupakan kreditur terbesar bagi Indonesia dengan total pinjaman pemerintah sebesar Rp224,13 triliun. Sementara, posisi kedua ditempati oleh Bank Pembangunan Asia sebesar Rp122,12 triliun. Sebagai informasi, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016, nilai utang hingga akhir tahun diproyeksikan mencapai Rp3.501 triliun atau 27,7 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) 2016 yang jumlahnya mencapai Rp12.627 triliun. Jika dibandingkan realisasi posisi utang tahun lalu, posisi utang ini meningkat dari Rp3.156 triliun atau 27,4 persen dari PDB 2015. Kendati demikian, rasio utang Indonesia terhadap PDB masih relatif terjaga dibandingkan negara maju seperti AS yang rasio utang terhadap PDB negaranya di atas 100 persen dan Jepang yang mencapai lebih dari 200 persen. (gen) -- ----------------------------------------- LARISIA Katalog: http://www.larisia.com Blog: http://blog.larisia.com -----------------------------------------