http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/10/07/oen0r5396-kontestasi-plutokrat-oligarkis-dan-the-rest

Friday, 07 October 2016, 06:00 WIB
Kontestasi Plutokrat, Oligarkis, dan The Rest
Red: Agus Yulianto
Republika/Daan 
 
Nasihin Masha

Oleh : Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam cerita dongeng tentang sihir, biasanya ada adegan ketika 
kekuatan sihir itu lenyap begitu saja. Tiba-tiba sapu tak bisa terbang, berubah 
ke wujud asli, tangan tak lagi bisa mengeluarkan kekuatan gaib, dan seterusnya. 
Dalam kehidupan politik, sihir itu berupa narasi dan persepsi. Ketika persepsi 
dan narasi tertentu berhasil menyelubungi kehidupan politik maka sihir narasi 
dan persepsi itu menghipnotis seluruh konstituen dalam bahasa yang sama. Nah, 
setiap pihak yang bertarung akan membangun sihir masing-masing. Ada kalanya 
mereka berada dalam satu frekuensi, ada kalanya berbeda frekuensi.

Awalnya, pilkada DKI dipersepsikan bakal berada dalam satu tarikan napas dengan 
gelombang politik negatif seperti yang dilakukan Donald Trump: agresif, 
menyerang, frontal, dan masuk ke wilayah sensitif. Ahok atau Basuki Tjahaja 
Purnama berada dalam frekuensi yang mirip dengan Trump. Dia agresif dan 
menyerang. Secara kebetulan, Ahok beretnis Tionghoa dan beragama Kristen. Etnis 
Tionghoa sering dilihat secara pejoratif. Politik agresif dan ofensif itu 
dibalas lawan-lawannya dengan cara yang agresif dan ofensif juga. Tak hanya 
kebijakannnya – yang menguntungkan pengembang dan berdimensi fisikal serta 
nir-humanitiy -- yang diserang, tapi juga faktor agama dan etnisnya. Dua pihak 
berada dalam satu frekuensi dan berhadap-hadapan. Banyak yang khawatir pilkada 
bakal panas dan bisa ada insiden yang keras.

Karena itu, ada upaya untuk menarik PDIP agar tak ikut mendukung pencalonan 
Ahok. Hal ini selain cara mudah untuk mengalahkan Ahok juga sekaligus untuk 
mengurangi ketegangan politik dan sosial. Jika PDIP tak ikut mendukung Ahok 
maka partai-partai yang mengusung calon penantang Ahok bisa keluar dari sihir 
konfrontasi yang berdimensi SARA. Namun upaya ini gagal. PDIP yang berkali-kali 
dikecewakan manuver Ahok – maju lewat independen dan menyerang partai serta 
menolak untuk mendaftar ke PDIP – akhirnya tetap ikut mendukung Ahok, 
dipasangkan dengan Djarot Saiful Hidayat. Dengan bergabungnya PDIP dalam 
koalisi pengusung Ahok maka kekhawatiran bahwa pilkada akan panas seolah 
menjadi tak terelakkan.

Benar saja. Dalam dua hari, setelah PDIP menyatakan dukungan ke Ahok, isu 
agresif mulai muncul. Partai pendukung Ahok dinilai sebagai partai pluralis – 
Hanura, Nasdem, Golkar, dan PDIP. Ahok disimbolkan sebagai figur pluralis. 
Sihir pluralisme akan dihadapkan dengan sihir “kafir dan Cina”. Klaim 
pluralisme melawan anti-pluralisme sebetulnya gegabah dan simplistis. Namun 
politik adalah soal persepsi. Dan dalam konteks keindonesiaan, jelas sihir 
pluralisme yang akan menang. Namun kejutan itu datang. Upaya mencari lawan 
tanding Ahok yang tidak dalam frekuensi itu mendapat hasilnya. Susilo Bambang 
Yudhoyono memunculkan anaknya sendiri, Agus Harimurti Yudhoyono. Agus yang 
masih berpangkat mayor pun harus pensiun dini dari TNI. Selain didukung 
Demokrat, Agus didukung PAN, PPP, dan PKB. Agus dipasangkan dengan Sylviana 
Murni. Sedangkan Gerindra dan PKS mengusung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.

Figur Agus-Sylvi dan Anies-Sandi tentu tak bisa ditembak dengan isu 
anti-pluralisme. Karena itu sihir tersebut lenyap seketika. Lahirnya Agus dan 
Anies diharapkan bisa menghilangkan kekhawatiran bakal ada insiden pada pilkada 
pada Februari 2017 nanti.

Tak salah dengan penilaian bahwa pilkada DKI ini adalah pilkada rasa pilpres. 
Tak hanya DKI merupakan ibukota negara, tapi juga terjunnya semua kekuatan di 
sini. Empat pusat gravitasi politik nasional ikut terjun langsung: Jokowi, 
Megawati, SBY, dan Prabowo. Ada upaya menarik pertarungan 2019 ke 2017. Tentu 
di luar empat gravitasi itu masih ada pusat-pusat kekuatan yang cair, yang bisa 
in and out ke dalam kelompok-kelompok adhoc. Mereka bisa dari mana saja: 
pengusaha, ormas, LSM, dan seterusnya. Dalam konteks ini, Anies dan Sandi lahir 
berkat adanya kelompok-kelompok adhoc yang secara persisten menolak Ahok. 
Mereka berasal dari civil society. Kelompok itu tak mesti mengenal langsung, 
karena kuatnya dukungan terhadap Anies memang genuine dari masyarakat yang 
merasa tak cocok dengan Ahok. Sebetulnya, tak hanya kepada Anies, mereka juga 
berharap pada Ridwan Kamil dan Tri Rismaharini. Namun Ridwan dan Risma batal 
untuk maju.

Dalam kontestasi ini, Anies dan Sandi bisa maju karena mewakili civil society. 
Tanpa adanya dukungan dari publik, Gerindra dan PKS tak akan mencalonkan 
mereka. Dalam konteks Indonesia yang masih patrimonial dan tingkat ketimpangan 
yang parah sulit sekali ada figur yang lahir tanpa dukungan patron. Namun Anies 
dan Sandi masih bisa menghimpun dukungan civil society yang umumnya tak bisa 
menyatu. Sehingga ia bisa ditangkap Gerindra dan PKS, yang tentu ada dukungan 
dari sedikit pemodal. Mereka inilah the rest, yang tersisa. Civil society 
Indonesia memang tak ada yang mengurus. Semua bancakan sendiri. LSM yang sering 
disebut sebagai wakil civil society kini pun meninggalkan mereka. Kini banyak 
aktivis LSM berada di Istana dan tersebar di BUMN. Tak ada lagi kegempitaan 
menolak penggusuran seperti di masa lalu. Selain itu, Anies-Sandi didukung oleh 
sedikit partai, setelah yang lain sudah lebih dulu beraliansi. Benar-benar the 
rest.

Sedangkan Agus-Sylvi benar-benar mewakili corak pemerintahan SBY di masa lalu: 
oligarkis, persekutuan elite. Agus bisa dicalonkan karena murni anak SBY. 
Namanya tak pernah disurvei. Sylvi juga bukan figur populer. Satu-satunya 
kekuatan adalah karena dia birokrat tulen di Pemprov DKI. Tentu karena dia 
satu-satunya kandidat perempuan, Sylvi memiliki keunggulan dari aspek gender. 
Bisa dipastikan, kekuatan oligarkis – hal ini tecermin benar lewat figur ketua 
tim suksesnya, yakni Wisnu Wardana, pengusaha muda yang besar di masa SBY 
berkuasa -- akan berada di belakang Agus-Sylvi. Faktor birokrasi dan militer 
akan ikut memengaruhi. Benar sekali bahwa figur Agus dan Sylvi punya potensi 
nilai jual. Namun bukan hanya itu yang utama.

Ahok sendiri merupakan tipikal pemerintahan Jokowi. Dia mewakili kaum 
plutokrat, persekutuan pemodal, terutama pengusaha properti. Karena itu benar 
sekali yang dikatakan Ahok bahwa dia tak membayar partai, tak membayar teman 
Ahok, maupun tak membayar tim medsos. Itu bukan urusan Ahok. 
Kebijakan-kebijakannya memberikan keuntungan yang besar terhadap pengusaha 
properti. Salah satu contoh nyata adalah reklamasi Teluk Jakarta. Tagline 
Agus-Sylvi – Jakarta untuk Rakyat -- jelas sekali terarah ke Ahok. Tagline itu 
bisa ditarik menjadi Jakarta bukan untuk pengembang, Jakarta bukan untuk orang 
kaya, dan seterusnya.

Pilkada nanti akan menjadi pertarungan kaum plutokrat, oligarkis, dan the rest. 
Kita saksikan siapa yang akan menjadi pemenangnya.

Kirim email ke